Ahli Jelaskan Garuda dan Lion Gagal Mendarat di Pontianak

0

Pelita.online – Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan sel awan yang sangat besar menjadi penyebab sejumlah pesawat seperti Garuda Indonesia dan Lion Air terbang gagal mendarat di Bandara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (13/1).

Menurut peneliti petir dan atmosfer BMKG Deni Septiadi, sel awan panas yang sangat besar itu memiliki radius sel mencapai 100 kilometer dan suhu puncak awan mencapai -90 derajat Celsius.

“Berdasarkan pantauan satelit IR Himawari terdapat sel awan yang sangat besar dengan radius sel mencapai 100 km dan suhu puncak awan mencapai -90 derajat Celsius,” ujar Deni dalam keterangan resmi, Kamis malam (15/1).

Sebelumnya, pesawat Lion Air (Boeing 737-86N) dan Garuda (Boeing 737-8GP) tujuan Jakarta-Pontianak gagal mendarat di Bandara Supadio meski sebelumnya sempat holding beberapa saat di udara ekuator tersebut.

Pesawat Lion dengan nomor penerbangan JT 684 juga terpaksa beralih ke Batam pada pukul 14.20 WIB. Sementara itu, Garuda dengan nomor penerbangan GA 504 dialihkan ke Palembang pada pukul 15.02 WIB.

Deni menjelaskan inisiasi sel itu terbentuk sejak Selasa (12/1), pukul 23.00 WIB, atau 15 jam sebelumnya. Radius sel awan itu disebut mencapai ukuran maksimum sekitar 180 km pada pukul 10.00 WIB.

Berdasarkan analisis gradien angin permukaan, 850, 700 dan 500 mb juga menunjukkan adanya sirkulasi tertutup di sekitar Kalimantan bagian barat yang mengarah pada fenomena Borneo Vortek.

“Rata-rata kecepatan angin di sekitar sistem awan ini berkisar 20-30 knot (37-56 km/jam),” ujarnya.

Lebih lanjut, Deni menyampaikan pesawat terbang akan berhadapan dengan potensi aliran udara ke bawah secara masif dengan kecepatan aliran mencapai 100 km/jam, bahkan lebih dengan panjang area terdampak dapat mencapai 5 km yang disebut sebagai Microburst.

“Pesawat dapat terjerembap dan kehilangan daya angkat (stall) akibat fenomena ini, ditambah kemungkinan adanya angin samping (crosswind) atau low level windshear disekitar landasan,” ujar Deni.

Petir jenis CG (Cloud to Ground) yang ada pada kondisi awan itu, kata dia juga perlu diwaspadai meskipun pabrikan Boeing ataupun Airbus memiliki static discharge untuk mengatasi arus berlebih petir.

“Namun demikian, satu sambaran petir dengan panas yang dapat mencapai 30.000 derajat Celsius menjadi pertimbangan untuk dihindari apabila tidak ingin celaka,” ujarnya.

Selain itu, Deni menuturkan turbulensi hebat dan petir jenis IC (Intra Cloud) adalah dua fenomena yang mungkin akan dihadapi oleh pilot memaksakan pesawat masuk melewati pusat sistem awan.

Deni menambahkan pada puncak awan di ketinggian sekitar 10-14 km di atas permukaan laut, pesawat juga akan dihadapkan pada fenomena icing akibat adanya partikel solid dalam bentuk es pada puncak awan (di bawah -40 derajat Celsius).

“Dari semua uraian tersebut di atas, kebengisan cuaca mungkin tidak menjadikannya sebagai faktor primer penyebab kecelakaan pesawat. Namun sudah banyak kejadian kecelakaan pesawat yang berasosiasi dengan cuaca buruk (bad weather),” ujar Deni.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY