AJB Bumiputera 1912 Salah Urus?

0

Pelita.online – Pembenahan Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 terganjal pada tiga hal, mulai dari praktik incest, tata kelola yang buruk, serta gonta-ganti direksi. Semakin lama Bumiputera berkutat pada persoalan tersebut, semakin lama nasabah menderita tanpa tahu siapa yang mesti bertanggung jawab.

Ketiga sandungan pada AJB Bumiputera itu secara komprehensif dibahas pada buku berjudul Robohnya Asuransi Kami (2020) karya Irvan Rahardjo.

Kepada Investor Daily, Irvan menyampaikan buku itu menjadi bagian pertama dari empat seri yang membahas perusahaan asuransi bermasalah. Dalam bukunya, Irvan menjelaskan, salah satu prinsip tata kelola yang baik pada perusahaan adalah pemisahan fungsi otorisasi dan fungsi eksekusi.

Dalam praktik di Bumiputera, kedua fungsi otorisasi dan fungsi eksekusi dilakukan pada satu tangan wewenang Badan Perwakilan Anggota (BPA) dalam banyak aksi korporasi. Hal ini juga yang memicu pengunduran diri Cholil Hasan sebagai direktur utama (2012-2013) karena tidak efektifnya check and balances antara ketiga organ perusahaan.

Permasalahan itu, kata Irvan, merupakan praktik incest yang pertama kali dilontarkan oleh Cholil Hasan pada suatu kesempatan diskusi dengannya. Dalam hubungan BPA, dewan komisaris dan direksi AJB Bumiputera, incest berarti hubungan organisatoris antara ketiga organ tersebut yang seharusnya terpisah satu sama lain dan bekerjanya check and balances sesuai dengan fungsi masing-masing justru berkelindan satu sama lain dan mengaburkan fungsi pengawasan dan perencanaan.

“Tidak adanya akuntabilitas dan transparansi di tingkat BPA dengan diskresi kekuasaan yang demikian besar berpotensi menjadi ajang salah urus dan inefisiensi,” tulis Irvan.

Saat ini, Bumiputera menganut sistem two board system yang diatur pada anggaran dasar (AD). Ketentuan itu pun menimbulkan komplikasi tersendiri, terutama jika mengingat bentuk badan usaha AJB Bumiputera 1912 bukan perseroan terbatas (PT), melainkan badan usaha bersama (mutual). BPA bukanlah pemegang saham dalam arti saham pengendali (controlling shareholders), melainkan hanya wakil dari para anggota yang lebih bersifat ketokohan politis ketimbang kompetensi dan kapasitas dalam urusan korporasi.

Adanya unsur BPA di dalam dewan komisaris mengandung konflik kepentingan, karena BPA mengangkat dan memberhentikan dewan komisaris yang di dalamnya juga terdapat unsur BPA. Baik dewan komisaris maupun direksi bersama-sama bertanggung jawab langsung kepada BPA, diangkat dan diberhentikan oleh sidang BPA. Hal itu membuat keberadaan dewan komisaris tidak sekuat organ dewan pembina (outstanding directors) yang terdapat pada Anggaran Dasar 1955 yang menganut model Anglo Saxon dengan sistem single board system.

Organ BPA bukanlah lembaga pemegang saham dalam arti yang sebenarnya, karena sifat mutual bukanlah persekutuan modal melainkan persekutuan orang yang bersifat gotong royong. “Sosok yang duduk BPA pada dasarnya tidak berkepentingan untuk meningkatkan nilai perusahaan, melainkan untuk mendapatkan fasilitas layaknya eksekutif perusahaan. Karena mereka hanya mewakili anggota pemegang polis dalam kurun waktu yang terbatas,” terangnya.

Terkait tata kelola, Irvan menilai dalih ketiadaan aturan mutual bukan menjadi faktor penentu buruknya tata kelola Bumiputera. Faktanya, pemerintah melalui Bapepam-LK hingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak hentinya melakukan pembinaan dan pengawasan, bahkan surat peringatan berkali-kali secara khusus kepada AJB Bumiputera 1912 agar mematuhi segala ketentuan yang berlaku tentang perasuransian. Bahkan, sejumlah dispensasi mengenai kesehatan keuangan pun disodorkan melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 504/2004.

KMK tersebut memberi relaksasi bagi Bumiputera sebagai perusahaan nonperseroan memperoleh kelonggaran waktu memenuhi ketentuan kesehatan keuangan. Namun sampai berakhirnya KMK tersebut, Bumiputera tidak mampu memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan. Pada periode 2009-2010 Bumiputera mendapatkan 10 surat peringatan (SP) dari regulator Bapepam LK.

Substansi surat surat peringatan tersebut sangat beragam, antara lain surat peringatan terkait pengelolaan investasi (dua SP), kontrak pengelolaan dana (dua SP), perimbangan kekayaan dan kewajiban (dua SP) penyampaian laporan perhitungan solvabilitas dan operasional (satu SP). Selain itu, penyampaian laporan auditor 2009 (satu SP dan sanksi denda).

Kemudian, perusahaan mutual itu juga mendapatkan SP terkait izin pembukaan kantor cabang karena tanpa tenaga ahli bersertifikat. Bumiputera bahkan mendapat SP 3 terkait dengan penempatan investasi serta perimbangan kekayaan dan kewajiban.

Belum lama ini, Bumiputera kembali mendapat peringatan OJK akibat menggelar sidang luar biasa yang ternyata menyalahi ketentuan.

Sulit Dibenahi
Sementara itu, tata kelola dan praktik tidak semestinya yang terjadi di perusahaan mutual itu pun sulit dibenahi, karena elemen pengeksekusi atau direksi terus datang dan pergi. Bumiputera sudah demikian sering mengalami pergantian direksi sebelum masa jabatan berakhir dalam hitungan waktu yang sangat pendek, bahkan dalam hitungan bulan.

Dalam kurun waktu delapan tahun, setidaknya AJB Bumiputera 1912 telah berganti direktur utama sebanyak tujuh kali. Terhitung sejak Cholil Hasan (2012-2013) hingga saat ini era Faizal Karim hasil sidang luar biasa BPA yang sebelumnya dinilai OJK turut menyalahi aturan. Pergantian bukan hanya posisi direktur utama, sering kali terkait satu atau dua direktur, baik karena mengundurkan diri, tidak lulus fit and proper test, sampai terkait masalah hukum.

Demikian pula di tingkat dewan komisaris. Pergantian direksi dan dewan komisaris AJB Bumiputera terjadi dengan berbagai alasan, peristiwa, bahkan kasus yang melatarbelakangi.

Menurut Irvan hal itu mencerminkan bukan saja rendahnya keberlanjutan manajemen perusahaan dalam mewujudkan program dan target yang ditetapkan, juga besarnya wewenang BPA sebagai pemegang kekuasan tertinggi di AJB Bumiputera yang tidak selalu sejalan dengan pihak regulator.

Selain implikasi terhadap keberlanjutan program perusahaan, ternyata banyak temuan OJK yang membuat proses pergantian direksi memunculkan moral hazard. Sering kali terjadi direksi dan dewan komisaris yang telah dipilih dan ditetapkan oleh sidang BPA belakangan ternyata tidak lulus fit and proper test.

Dari pemaparan Irvan, terdapat benang merah bahwa permasalahan dalam upaya pembenahan terletak pada terbenturnya berbagai kepentingan di tubuh Bumiputera. Jangankan untuk kembali sehat atau kembali mendapat kepercayaan publik sebagai perusahaan asuransi tertua, setiap langkah awal perbaikan selalu gagal dan timbul permasalahan lain.

Dampak signifikan tentu dirasakan oleh 4 juta nasabah, bukan para elite Bumiputera. Lantas kepada siapa lagi nasabah mesti berharap? kepada elite, regulator, atau kepada pemerintah? atau bahkan nasabah mesti pasrah saja?

Investor Daily mencoba menghubungi pihak Bumiputera untuk mengonfirmasi sejumlah hal terkait permasalahan dan pembenahan asuransi mutual itu. Namun, sampai tulisan ini dimuat, pihak Bumiputera tak kunjung merespons.

Adapun total klaim perusahaan pada 2019 dan potensi klaim tahun ini mencapai Rp 9,6 triliun. Dari jumlah Rp 9,6 triliun tersebut jika diperinci, outstanding klaim tahun 2019 sebesar Rp 4,2 triliun dan untuk potensi klaim tahun ini senilai Rp 5,4 triliun. Perkiraan itu belum memperhitungkan dampak pandemi Covid-19.

Pada Rabu (21/10), sejumlah pemegang polis Bumiputera yang menuntut pencairan klaim bertemu dengan dirut baru Faizal Karim. Janji terbaru, Faizal akan membayarkan klaim para pemegang polis menggunakan dana cadangan perusahaan pada November 2020. Total dana cadangan ini mencapai Rp 100 miliar.

Rugi dan RBC Anjlok
Berdasarkan data keuangan tahun 2019, Bumiputera mencatatkan rugi bersih Rp 48,98 miliar, lebih rendah dibanding periode sebelumnya rugi bersih sebesar Rp 1,99 triliun. Hal tersebut di antaranya dipengaruhi total manfaat klaim dan manfaat dibayar yang cenderung menurun.

Kinerja pendapatan premi pada 2019 tercatat Rp 2,99 triliun, turun 10,65% secara tahunan (year on year/yoy) dari periode sebelumnya sebesar Rp 3,35 triliun. Sampai akhir 2019, total pendapatan terpangkas 9,85% (yoy) menjadi Rp 3,15 triliun. Dari sisi beban, jumlah beban klaim dan manfaat tahun 2019 sebesar Rp 2,38 triliun, turun 48,07% (yoy) dari periode sebelumnya Rp 4,58 triliun.

Pos manfaat dan klaim dibayarkan sebesar Rp 4,59 triliun atau menurun sebesar 32,15% (yoy). Dalam hal ini, perusahaan juga mencatat penurunan cadangan premi Rp 2,21 triliun yang turut berkontribusi memangkas total beban klaim dan manfaat dibayar.

Sementara itu, total aset tergerus 4,59% (yoy) menjadi Rp 9,97 triliun, total liabilitas turun 1,58% (yoy) menjadi Rp 30,42 triliun. Dengan kondisi tersebut perusahaan mengalami negatif ekuitas sebesar Rp 20,44 triliun, sedikit lebih rendah dibandingkan periode sama tahun sebelumnya Rp 20,45 triliun.

Adapun risk based capital (RBC) Bumiputera tahun 2019 anjlok menjadi negatif 1.182,39%, atau terperosok lebih dalam jika dibandingkan tahun 2018 sebesar negatif 640,14%. Rasio lain, di antaranya rasio likuiditas turun dari 51,60% pada 2018 menjadi 25,69%. Rasio kecukupan investasi pun turun dari 22,94% pada 2018 menjadi 13,58%.

Angka atau nilai yang disajikan pada laporan posisi keuangan (neraca) dan laporan laba rugi berdasarkan SAK (audit report), yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik Kanaka Puradiredja Suhartono itu menyandang opini tidak wajar.

Pola Komprehensif
Sebelumnya, Kepala Departemen Pengawasan IKNB II A Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ahmad Nasrullah menyatakan penyelesaian persoalan Bumiputera mesti dirancang dan dijalankan dengan komprehensif. Artinya tidak hanya memperhatikan nasabah dengan polis yang sudah jatuh tempo, juga jutaan nasabah lainnya.

“Kalau pola penyelesaian yang ditempuh, katakanlah, mereka jual aset yang ada sekarang Rp 6,5 triliun dan laku sebesar Rp 7 triliun. Jatuh temponya sekarang saja akhir tahun sebesar Rp 9 triliun. Itu kan tidak cukup, lalu nasabah yang lain bagaimana? Kami mau penyelesaian yang komprehensif,” katanya.

Nasrullah menuturkan pola penyelesaian yang tidak komprehensif sampai sekarang tidak disampaikan pihak Bumiputera. Hal tersebut tercermin dari rencana penyehatan keuangan (RPK) yang telah disampaikan perseroan selama ini sebanyak enam kali, tetapi tidak satu pun yang berorientasi pada penyelesaian secara komprehensif.

Dia mengungkapkan manajemen perseroan selalu menawarkan penyelesaian jangka pendek dengan menjual aset. Hal tersebut dinilai tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru menambah masalah baru. Sebab, kewajiban saat ini mungkin bisa terpenuhi, tetapi kewajiban yang lebih besar di masa mendatang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

 

Sumber : Beritasatu.com

LEAVE A REPLY