Bermula dari UMKM, Sinar Mas Tidak Lupa dari mana Berasal

0

Pelita.online –  Tak lupa dari mana berasal membuat Sinar Mas selalu mengajak usaha kecil tumbuh bersama. “Apa yang kemudian dikenal sebagai Sinar Mas, berawal dari sebuah usaha kecil atau UMKM, bermodalkan kekuatan tekad, serta ketajaman visi,” ujar Managing Director Sinar Mas, Saleh Husin mengawali Webinar Series 82 Tahun Sinar Mas bertema “Inovasi UMKM Tetap Berjaya di Tengah Pandemi”.

Dalam kegiatan yang dihadiri Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Teten Masduki dan anggota Dewan Pertimbangan Asoasi Pengusaha Indonesia, Franky Sibarani ini, Saleh mengilustrasikan jika pendiri Sinar Mas, Eka Tjipta Widjaja di Makassar tahun 1938 merintis bisnisnya pada masa krisis sebagai imbas dari kolonialisme dan Perang Dunia ke-2. “Sejarah selalu berulang, saat krisis menghantam bangunan kehidupan kita, UMKM-lah yang mampu bergerak lebih gesit, memanfaatkan kesempatan yang ada, berinovasi memutar roda perekonomian dalam skala terbatas, namun bergerak meluas,” ungkapnya.

Itu membuat Sinar Mas di usia lebih dari delapan dasawarsa tak lupa menggandeng UMKM, melalui beragam inisiatif pilar bisnisnya. “APP Sinar Mas dan Sinar Mas Agribusiness & Food membawa UMKM setempat masuk ke dalam rantai pasok mereka, melalui Program Desa Makmur Peduli Api atau DMPA,” kata Saleh mencontohkan. Dalam webinar, bergabung para mitra perusahaan,0 yakni Supari pendiri Kelompok Tani Mekar Jaya, Tanjung Jabung Barat dan Rita, Ketua Kelompok Wanita Tani Mekar Wangi Desa Dataran Kempas, Jambi.

Guna menangkal dampak krisis pandemi Covid-19, pemerintah menurut Menkop UKM, Teten Masduki mengupayakan0 solusi baik dari sini penawaran maupun permintaan. “Di sisi supply, melalui dukungan restrukturisasi pembiayaan dan subsidi bunga. Sementara bagi UMKM yang belum bankable, tersedia hibah modal kerja. Sementara dari sisi demand, bantuan menjaga daya beli masyarakat antara lain dilakukan melalui penyerapan belanja pemerintah yang tahun ini dialokasikan mencapai Rp321 triliun.”

Melalui UU Cipta Kerja, Teten menyampaikan jika pemerintah mendorong UMKM yang sebelumnya informal, untuk bertransformasi menjadi formal dengan berbagai kemudahan usaha, perizinan sekaligus pendanaan. Selain itu, pemerintah juga mengupayakan UMKM dapat bertransformasi, ke ranah digital. “Akan besar manfaatnya guna mengakses pasar yang lebih luas, juga mengakses pembiayaan. Karena sekarang semakin banyak lembaga pembiayaan yang menggunakan rekam jejak kesehatan keuangan digital sebagai landasan verifikasi,” ungkapnya mencontohkan.

Berada dalam rantai pasok disinggung pula oleh Staf Khusus Menkop UKM, Riza A. Damanik yang berpendapat, pada sisi produksi, UMKM di Indonesia meskipun memiliki banyak kemewahan karena populasi sumber daya manusia yang besar serta sumber daya alam cukup kaya, namun memiliki persoalan pada keterhubungan dengan industri besar. “Mereka tidak berada dalam rantai pasok yang sama. Jika kita lihat dari krisis yang terjadi, baik di tahun 1998 maupun 2008, yang semakin besar adalah usaha mikro, bukan usaha kecil dan menengah. Ada ketidakterhubungan antara pengembangan industri nasional dengan usaha menengah.” Langkah pengembangan yang akan dilakukan pemerintah, menurutnya adalah menempatkan UMKM dan industri besar dalam gelanggang yang sama.

Riza mengambil contoh sektor pangan yang selama pandemi tetap menunjukkan pertumbuhan yang baik. “Di sisi hulu praktis tidak ada masalah, namun penyerapannya mengalami pelambatan karena adanya pembatasan aktivitas, serta imbas perubahan pola konsumsi kelas menengah. Terjadi ketidakpastian penyerapan produk usaha kecil kita.” Kemenkop UKM menurut Riza tengah berupaya memperluas peran koperasi guna menyerap produk UMKM, dan pada saat bersamaan menghubungkannya dengan perusahaan, baik BUMN maupun swasta.

Teten – meminjam sebutan dari Presiden Joko Widodo – menyebut langkah ini sebagai korporatisasi UMKM. “Kami coba memulai di sektor pangan, di mana pemerintah mendorong para petani, peternak maupun nelayan untuk membentuk kelompok, mengelola lahan dengan skala ekonomi yang memadai, dengan pengonsolidasian menggunakan kelembagaan koperasi. Harapannya para petani akan mampu mengolah hasil pertaniannya sehingga memiliki nilai tambah, dapat terhubung ke pasar melalui koperasi, smentara off taker-nya dapat berasal dari swasta maupun pemerintah.”

Sementara Franky Sibarani menyampaikan, Indeks Kebijakan UMKM Indonesia yang masih tertinggal dari sejumlah negara tetangga di Asia Tenggara menunjukkan pentingnya penanganan terpadu dari pemerintah, berikut pendampingan intensif. Dengan jumlah petani mencapai 33 juta orang, berikut UMKM sebanyk 64 juta, dirinya menyarankan ketersediaan insentif bagi para pihak seperti dunia usaha atau perguruan tinggi yang berkomitmen melakukan pendampingan, atau mengakselarasi. Ia mengambil contoh kemitraan dalam rantai bisnis antara perusahaan dengan para petani kelapa sawit, yang skalanya besar, berlangsung lama dan berhasil baik, hingga direplikasi oleh sektor pangan lainnya.

“Mereka terkendala pada sisi permodalan, pengetahuan, dukungan teknologi, serta akses pasar. Kehadiran UU Cipta Kerja yang memberikan kemudahan berusaha, dapat menjadi karpet merah bagi UMKM untuk berjaya.”

Kaesang Pangarep pendiri akselarator UMKM, GK Hebat menduga rendahnya angka kewirausahaan di Indonesia karena sulitnya akses pendanaan. Berdasarkan pengalamannya, ia menyarankan para calon pengusaha muda mengeksplorasi setiap bidang maupun celah bisnis yang ada, hingga di masa 10 hingga 15 tahun mendatang benar-benar dapat mengetahui, kemudian menetapkan fokus pada bidang usaha yang diminati.

Sumber:BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY