Debat Legal Standing Pencapresan Gatot dan Hakim MK, Pakar Buka Suara

0

Pelita.Online – Syarat pencalonan presiden atau presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu kerap kali digugat ke Mahkamah Konstitusi. Sudah 14 kali digugat dan semuanya ditolak.
Sebanyak 4 dari gugatan itu ditolak dengan alasan tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing, sementara sisanya ditolak karena tidak beralasan menurut hukum, pokok permohonan yang dinilai prematur, dan permohonan sudah diputus pada permohonan sebelumnya.

Mengenai legal standing ini juga menjadi perdebatan dalam sidang uji materi Pasal 222 dengan penggugat Gatot Nurmantyo. Hakim MK Enny Nurbaningsih meminta penggugat untuk mengelaborasi bentuk kerugian yang dialami sehingga sistem presidential threshold harus dihapus.

Enny menjelaskan dalam latar belakang dan legal standing Gatot Nurmantyo, tidak menjelaskan rinci bentuk kerugian yang mungkin dialami dengan sistem presidential threshold. Pasalnya, Gatot tidak terbukti mencalonkan diri atau dicalonkan oleh partai politik untuk maju dalam pemilu.

“Kemudian berikutnya, yang saya belum bisa melihat bentuk kerugian konstitusional dari pemohon ini apa sesungguhnya? Apa pemohon ini pernah dicalonkan atau mencalonkan diri dari gabungan parpol seperti itu?” tanya Enny dalam persidangan tersebut, Selasa (11/1).

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan (Unpar) Asep Warlan Yusuf menilai pasal syarat pencalonan presiden di UU No. 7 Tahun 2017 perlu digugat oleh kader partai politik. Dengan demikian, legal standing tidak bisa lagi jadi alasan hakim MK untuk menolak gugatan.

“Kalau misalnya soal legal standing, disebut tidak ada hubungan hukum hak konstitusional yang dilanggar, maka strateginya adalah [pemohon] dari partai politik yang tidak setuju dengan itu. Misalnya kader partai menggugat itu ke MK,” kata Asep saat dihubungi Rabu (12/1).

Legal standing merupakan keadaan di mana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat. Oleh karena itu memiliki hak untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi.

Menurut Asep, jika pemohon berasal dari partai kecil atau partai yang tidak banyak memiliki kursi DPR, maka jadi memiliki legal standing.

Alasannya, pencalonan presiden dalam UU No. 7 tahun 2017 itu mensyaratkan 20 persen kursi DPR atau meraih 25 persen suara nasional dari pemilu sebelumnya. Ketentuan itu, kata Asep, melanggar hak konstitusional kader partai kecil yang ingin menjadi capres.

“MK kan ingin bukti bahwa ada hak konstitusionalnya dilanggar, maka kalau dia kader partai itu bisa. Jadi ‘karena saya berkepentingan, saya sebagai kader, saya bisa diusulkan oleh partai saya, tapi karena partai saya kecil jadi hilang kesempatan saya untuk jadi presiden atau wapres’, seperti itu,” jelas Asep.

Sejauh ini, Partai Gelora dan Partai Ummat telah mengajukan gugatan terhadap syarat pencalonan presiden dalam UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.

Asep juga meminta agar MK melihat persoalan Pasal 222 UU Pemilu 2017 tentang pencalonan presiden dengan kuasa melanggengkan kekuasaan oleh para oligarki.

Dengan syarat yang berlaku saat ini, jalan menuju kursi presiden menjadi sangat terbatas.

“Gugatan ini juga diperlukan untuk menghilangkan oligarki, jadi mereka yang berkelompok itu yang akan jadi penentu pemimpin bangsa. Pemimpin pemerintahan jadi tergantung pada kompromi elite,” tuturnya.

sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY