‘Dunia Persekolahan di Indonesia Perlu Ekosistem Baru’

0

Pelita.online – Dunia persekolahan di Indonesia dinilai sudah tidak relevan dengan tantangan zaman. Jika ingin tetap bertahan di masa depan, maka sekolah disarankan untuk membuat ekosistem dan kondisi baru di mana anak atau murid bisa menjadi dirinya sendiri agar bisa mengeluarkan talenta terbaiknya.

Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal, mengupas mengenai persoalan paradigma dan fokus pendidikan di Indonesia dalam mengantisipasi laporan World Economic Forum tersebut dalam seminar “Menyiapkan SMK yang kondusif dan hebat melalui ekosistem Gerakan Sekolah Menyenangkan” di Solo pada 23 dan 26 Oktober 2020. Seminar dihadiri oleh ketua BKK SMK se-Indonesia.

Rizal mengungkapkan untuk menjawab tantangan tersebut, maka pembuat kebijakan dan guru sekolah harus mampu menciptakan ekosistem dan konten baru dengan pendekatan keseluruhan sekolah. Bukan hanya dengan menawarkan program baru seperti Dunia Usaha Dunia Industri (DUDI) serta kurikulum baru yang sesuai kebutuhan industri.

“Melainkan menciptakan ekosistem dan kondisi di mana anak bisa menjadi dirinya sendiri agar bisa mengeluarkan talenta terbaiknya karena punya gairah (passion) selama belajar di sekolah. Lingkungan belajar yang bisa membuat anak berani memiliki 3D yakni dream, design, and deliver,” katanya.

Agar bergairah, lanjut dia, anak tidak diseragamkan kemampuan dan keminatannya. Namun diberi ruang untuk punya mimpinya sendiri bagi masa depannya. Caranya dengan diberikan banyak pilihan dalam meracik kurikulum dan target belajarnya di sekolah, serta berbagai skenario bagaimana mereka belajar sesuai kekuatan yang dimiliki. Skenario ini akan meningkatkan ketrampilan anak dalam mendesain dan menjalankan proses belajar untuk mencapai mimpinya secara sistematis dan konsisten.

Ekosistem persekolahan 3D diharapkan memberikan iklim baru bagi anak untuk melakukan meningkatkan atau mengasah keterampilan sesuai tuntutan industri masa depan. Dimana porsi penguasaan konten pengetahuan hanya diperlukan 10 persen, dibandingkan 90 persen penguasaan pada ketrampilan pengelolaan diri, emosi dan empati sosial serta berpikir kritis-analitis dan kreatif dalam memecahkan persoalan kompleks.

Selain menyangkut aspek ekonomi, ekosistem 3D diklaim dapat memjawab tantangan pembelajaran yang mengedepankan kodrat individu (personalised learning). Rizal menyebut ada tiga kodrat manusia yang termatikan oleh budaya pendidikan saat ini yang terlalu didominasi oleh standarisasi, konformitas dan linearitas akibat tuntutan revolusi industri 2.0. Tiga kodrat itu adalah curiosity, creativity, and diversity.

“Budaya sekolah di SMK punya peluang lebih besar dibandingkan di SMA dalam menerapkan ekosistem 3D karena sifatnya lebih kejuruan yang semestinya lebih “hands on” dalam proses belajarnya. Sayangnya, program kejuruan saat ini lebih ditujukan pada penyiapan tenaga kerja untuk kebutuhan dunia industri yang didominasi low level skills,” imbuhnya.

Padahal pekerjaan dengan level rendah tersebut yang paling cepat tergantikan oleh percepatan otomatisasi akibat resesi ekonomi oleh kasus pandemi Covid-19.

Oleh sebab itu, lanjutnya, mau tidak mau perlu dipikirkan kembali desain program agar SMK lebih menciptakan budaya wirausaha bagi siswanya agar dapat mengukur kekuatan yang dimilikinya, sekaligus bisa memberikan pengaruh di sosial yang berkontribusi pada perkembangan personal dan ekonomi secara keseluruhan.

Rizal mengutip laporkan di “The Future Jobs 2020” di mana sekitar 88 persen pengusaha memandang persoalan pengembangan pribadi harus mendapat perhatian serius di dunia pendidikan.

“Semoga ekosistem 3D (dream, design and deliver) yang ditawarkan oleh Gerakan Sekolah Menyenangkan dapat memberikan kontribusi nyata bagi kualitas sumber daya manusia di Indonesia melalui perubahan pendidikan di akar rumput,” katanya.

Sebelumnya, World Economic Forum memprediksi dalam laporan terbarunya 2020 tentang “The Future Jobs” dalam lima tahun ke depan akan ada 85 juta pekerjaan saat ini hilang dengan cepat, dan lahir 97 juta pekerjaan baru muncul akan tetapi dalam laju yang sangat lambat.

“Dalam situasi itu, 50 persen pekerja bakal membutuhkan reskilling dengan 40 persen keterampilan inti bakal berubah,” kata Rizal.

Laporan tersebut juga menjelaskan sekitar 43 persen pengusaha yang disurvei akan mengurangi tenaga kerja manusia dan digantikan integrasi teknologi. Bahkan, 97 persen pemimpin bisnis mengharapkan pekerjanya memiliki keterampilan baru yang belum pernah ada sebelumnya agar bisnisnya bisa bertahan.

“Dampak wabah Covid-19 akan mempercepat proses untuk menggantikan tenaga kerja manusia dengan proses digitalisasi dan remote working sebesar 84 persen,” katanya.

 

Sumber : republika.co.id

LEAVE A REPLY