Faisal Basri Ingin Jokowi Turun Tangan Kerek Harga Rokok

0

Pelita.Online – Ekonom Senior Faisal Basri berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan agar harga rokok naik. Intervensi ini diharapkan serupa dengan apa yang kepala negara lakukan saat memerintahkan penurunan harga tes covid-19 PCR.
“Kan tidak ada di dunia ya presiden tentukan harga, masa tunggu Pak Jokowi ngomong gitu dulu, tapi ya sudah, kita desakkan saja, meski kalau tunggu Pak Jokowi berarti tidak ada gunanya kementerian/lembaga negara ini, tapi ini realistis saja,” ujar Faisal di acara diskusi virtual bertajuk 1.095 Hari Advokasi Harga Rokok di Indonesia, Selasa (2/11).

Menurut Faisal, kebijakan pemerintah terkait tarif cukai dan harga rokok di masyarakat selama ini tidak pernah membuahkan hasil. Padahal, sambungnya, tarif cukai dan harga rokok perlu naik karena selama ini tidak pernah berhasil menurunkan prevalensi konsumsi merokok di masyarakat.

“Dari berbagai studi, kita bisa lihat sampai sekarang kebijakan-kebijakan dari pemerintah masih mandul. Padahal ini sama seperti climate change yang lagi dibahas, kalau tidak sungguh-sungguh kita akan dihadapkan pada bencana,” ucapnya.

Menurutnya, kebijakan pemerintah selama ini cenderung normatif, di mana penetapan tarif cukai dan dampaknya ke harga rokok selalu berusaha dilakukan dengan mempertimbangkan semua sektor. Mulai dari industri, tenaga kerja, hingga kesehatan itu sendiri.

Tapi, menurutnya, kebijakan tersebut seharusnya sudah tidak perlu terlalu berat pada dampak kenaikan tarif cukai dan harga rokok ke industri dan tenaga kerja. Toh, menurutnya, dampak ke industri bisa dicari solusi dengan mengalihkannya ke industri lain.

Begitu juga dengan dampak kebijakan terhadap tenaga kerja. “Terus terang saya kecewa karena keseimbangan tenaga kerja, petani tembakau, itu semua suka ‘dijual-jual’, padahal kalau mereka tanam singkong, keuntungannya lebih besar kok, jadi jangan dibelenggu dengan mitos-mitos seperti itu,” ungkapnya.

Tak hanya dari kebijakan yang normatif, penindakan rokok ilegal oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan pun dinilainya masih kurang. Padahal, peredaran rokok ilegal terus meningkat di tengah kenaikan tarif cukai.

“Masa di Indonesia masih ada rokok yang harganya Rp10 ribu per kemasan? Rokok-rokok ilegal itu tidak ditangkap Bea Cukai,” imbuhnya.

Untuk itu, menurutnya, kebijakan yang paling realistis terhadap tarif cukai dan harga rokok adalah berharap ke Jokowi agar segera menaikkannya. Sebab, kalau tidak konsumsi rokok masih akan terus meningkat di dalam negeri.

Bahkan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikantonginya, jumlah konsumsi rokok masyarakat memang meningkat dalam setahun terakhir. Tepatnya, selama pandemi covid-19.

Hal ini tercermin dari nilai pengeluaran masyarakat untuk konsumsi rokok yang meningkat dari Rp70.537 per kapita per bulan pada 2019 menjadi Rp73.442 per kapita per bulan pada 2020, meski porsi pengeluaran untuk rokok sedikit menurun.

Tercatat, porsi pengeluaran masyarakat untuk rokok turun dari 12,3 persen menjadi 12,2 persen dari total pengeluaran pada periode yang sama.

“Jadi share rokok menurun, tapi nilai konsumsinya per kapita per bulan di Indonesia di era pandemi tetap naik,” tuturnya.

Terkait pandangan Faisal, Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Pungkas Bahjuri Ali mengakui bahwa harga rokok di Indonesia memang belum ideal. Namun, penyesuaian harganya tetap perlu dilakukan secara bertahap seperti yang sudah diterapkan pemerintah selama ini.

“Soal ideal atau tidak, saya sepakat dengan Pak Faisal, tapi ideal ini relatif siapa yang menilai? Tapi memang tujuan cukai bukan untuk pendapatan, tapi pengendalian dan cukai memang harus dinaikkan, tapi bertahap, berapa kenaikannya? Kalau industri tutup, maka kita harus siapkan juga mitigasinya,” kata Pungkas pada kesempatan yang sama.

Sementara, Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Atong Soekirman mengatakan pemerintah tetap konsisten berpegangan bahwa kenaikan tarif cukai dilakukan bukan semata-mata untuk mengerek penerimaan. Maka, keseimbangan kebijakan terhadap dampak ke industri tetap perlu diperhitungkan.

“Ketika tarif cukai dinaikkan bukan berarti langsung penerimaan negara meningkat, tidak. Kami tetap ingin ada dampak pada pengendaliannya,” ujar Atong.

Di sisi lain, menurutnya, memang perlu ada kebijakan yang membuat hasil produksi rokok di dalam negeri lebih diutamakan untuk pasar ekspor ketimbang konsumsi di dalam negeri. “Kita harap produk rokok ini diekspor, ke Jepang misalnya, itu banyak perokok di sana,” pungkasnya.

sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY