Forum Rektor: Waktu Profesor Habis Mengajar Sarjana

0

JAKARTA, Pelita.Online  Anggota Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (FRI), Asep Saifuddin mengakui ada banyak faktor yang membuat banyak profesor mengalami kendala dalam menulis karya ilmiah bereputasi internasional. Hal itu seperti menghabiskan banyak waktu mengajar mahasiswa sarjana.

“Ada banyak faktor yang tidak sederhana. Pertama yakni waktu profesor habis digunakan untuk mengajar mahasiswa sarjana karena tidak semua perguruan tinggi mempunyai program doktoral berbasis riset,” ujar Asep di Jakarta, Jumat (23/2).

Jika sudah banyak mengajar, kata dia, maka yang bersangkutan akan kesulitan menulis karya ilmiah. Padahal menulis karya ilmiah tersebut harus dipelihara secara terus-menerus, jika tidak akan menjadi kaku.

“Kemudian yang kedua, adalah dana riset yang tersedia relatif kecil dan tersedot ke perguruan tinggi yang sudah matang. Dengan demikian, perguruan tinggi yang tertinggal akan terus tertinggal karena kesulitan dalam berkompetisi sehingga kegiatan risetnya minim,” kata dia. Dampaknya, dosen-dosen di perguruan tinggi itu tidak punya materi untuk dijadikan bahan jurnal ilmiah.

Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) itu juga menambahkan para profesor juga mengalami kendala menulis dalam bahasa Inggris yang mudah dibaca. Kondisi itu berbeda dengan dosen-dosen di Malaysia dan Singapura yang sudah mahir menggunakan bahasa asing sejak tingkat Taman Kanak-kanak (TK). “Jadi karya ilmiah kita kalah bersaing dan akhirnya ditolak jurnal, walaupun bisa saja substansinya bagus. Tetapi kalau bahasanya tidak bisa dimengerti maka ditolak,” ujarnya.

Selanjutnya adalah, perguruan tinggi di Tanah Air jarang yang punya lembaga khusus untuk penghalusan karya ilmiah. Pada umumnya, perguruan tinggi menyerahkan menulis karya ilmiah ke individu dosen, tanpa bantuan satu unit alat bantu seperti “Unit Scientific English Writing” yang bertugas membantu menghaluskan bahasa jurnal sebelum dikirim ke jurnal internasional. “Selain itu, banyak juga profesor yang kejebak jabatan struktural. Hal ini juga wajar karena pendapatan mereka tidak cukup untuk hidup tenang,” ujarnya.

Sebelumnya, pemerintah mengeluarkan Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 Tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor. Dalam Permenristekdikti 20/2017 disebutkan bahwa tunjangan kehormatan profesor akan diberikan jika memiliki paling sedikit memiliki satu jurnal internasional bereputasi dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Jika tak memenuhi persyaratan maka tunjangan tersebut akan dihentikan sementara.

Namun ternyata, berdasarkan aplikasi Science and Technology Index (Sinta) Ristekdikti selama tiga tahun terakhir, per akhir 2017 baru ada 1.551 orang profesor yang publikasinya memenuhi syarat sesuai dengan Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017.

Padahal, jumlah profesor yang sudah mendaftar pada aplikasi Sinta sebanyak 4.200 orang. Sedangkan untuk lektor kepala, dari 17.133 orang yang mendaftar Sinta, hanya 2.517 orang yang lolos memenuhi syarat publikasi.

Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) kemudian melakukan revisi mengenai peraturan menteri terkait tunjangan kehormatan profesor atau Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 Tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor. “Kami sedang melakukan revisi terkait Permenristekdikti tersebut, sehingga evaluasi terhadap produktivitas dosen dan profesor tidak dilakukan tahun ini. Dengan demikian sampai saat ini belum ada pemangkasan tunjangan kehormatan profesor,” ujar Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemristekdikti, Ali Ghufron Mukti.

LEAVE A REPLY