Karena Menteri Nadiem Bukan Hanya Menteri Sekolah Negeri

0

Pelita.online – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menegaskan bahwa dirinya adalah menteri untuk semua. Pernyataan tegas itu dia kemukakan di depan guru-guru berbagai daerah di Indonesia. Gagasan-gagasan pria usia 35 tahun ini juga didengar para kepala sekolah, baik negeri maupun swasta.

Nadiem berbicara di Simposium Internasional Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah 2019, di Hotel Grand Sahid Jaya, di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Jumat (29/11) kemarin. Awalnya, ada seorang kepala sekolah dari sekolah swasta yang mencurahkan isi hatinya. Kepala sekolah ini khawatir nantinya tidak lagi bisa meneken ijazah, mendapat Bantuan Operasional Sekolah (BOS), hingga tak bisa mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat).

“Sementara kami dari swasta ini agak sulit untuk ikut diklat dan lain lain. Kalau pun ada penguatan kepala sekolah itu diprioritaskan untuk negeri sementara kami swasta nanti dulu periode ke berapa,” ungkap kepala sekolah itu kepada Nadiem.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Nadiem mengaku masih belum mendalami dan akan melihat lebih dalam kasus tersebut. Oleh karena itu, Nadiem tidak bisa berkomentar banyak. Tapi para guru swasta tak perlu khawatir karena Nadiem juga menteri untuk guru swasta juga.

“Tapi satu hal yang pasti, saya di sini berdiri sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia. Saya bukan menteri pendidikan sekolah negeri. Saya adalah menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia,” kata Nadiem menanggapi keluhan kepala sekolah swasta itu.

Kepempimpinan

Gagasan soal reformasi pendidikan dia kemukakan. Reformasi itu bisa dijalankan lewat penanaman nilai kepemimpinan oleh guru kepada siswa. Dia memberikan contoh kepemimpinan saat dia menjabat sebagai salah satu CEO di perusahaan ojek online.

“Dan ini dari pengalaman saya sendiri, memimpin organisasi sebelumnya dengan lebih dari 2 juta member di seluruh Indonesia. Jadi ada beberapa hal yang saya pelajari dan ingin saya terapkan juga di dalam teori kepemimpinan di sistem pendidikan,” kata Nadiem.

Kepempiminan ala Gojek yang dia maksud adalah, pertama, paradigma kepemimpinan harus direformasi dari yang semula sebagai penguasa menjadi pelayan. Pemimpin harus membantu bawahannya. Kedua, kepemimpinan haruslah mengeksekusi kebijakan yang tepat, dalam hal ini berdampak baik bagi siswa.

“Ketiga adalah kepemimpinan 2.0 ini adalah bagaimana pemimpin itu bisa menjadi lebih baik tanpa menciptakan suatu lingkungan yang aman. Aman untuk apa? Aman untuk bawahannya mencetuskan gagasan, aman untuk bawahannya mengkritik atasannya. Kalau ada guru atau kepala sekolah yang mau coba sesuatu yang baru tapi tidak sukses, atau ternyata dampaknya bukan yang diinginkan jangan dimarahin. Itu malah dikasih jempol, ‘oh baik kamu berani lakukan sesuatu yang baru, nggak apa kita coba yang lain’. Itu yang sangat penting,” jelasnya.

Terakhir, dia meminta agar sekolah bisa mengeluarkan terobosan yang kreatif bagi siswa. Hal ini, menurut Nadiem efektif untuk menghasilkan anak-anak yang cerdas dan kreatif. Dia mengajak agar semua guru menerapkan perubahan karakter pendidikan ini.

Inovasi

Nadiem mendukung para guru melakukan inovasi. Nadiem siap melindungi kepala sekolah dan pengawas sekolah yang mengambil terobosan baru menyelesaikan permasalahan. Menurutnya, di era yang baru ini tidak harus selalu menunggu perintah atau kebijakan.

“Ini era baru di mana kita bisa mengambil langkah baru dan saya di sini yang pasang badan untuk bapak ibu,” kata Nadiem.

Nadiem percaya para guru sudah lebih ahli daripada dirinya. Maka tentu saja mereka bisa menangani persoalan di lapangan bila diberi kepercayaan untuk berinovasi.

“Guru tuh lebih tahu dari saya. Mohon berikan mereka kebebasan dan kepercayaan bapak-bapak ibu-ibu untuk melaksanakan tugasnya,” sambungnya.

Jumlah guru

Nadiem menyampaikan pandangannya soal permasalahan guru di Indonesia. Menurutnya, ada hal yang aneh karena ada satu wilayah yang kekurangan guru tapi ada juga yang kebanyakan guru.

“Kenapa kita aneh? Aneh kan di Indonesia, kita kekurangan guru tapi juga kebanyakan guru. Benar nggak? Ini suatu hal yang aneh sekali. Kita kekurangan guru tapi juga kebanyakan guru,” ucap Nadiem

Ini dikemukakannya untuk mendanggapi seorang pengawas sekolah yang berkeluh kesah perihal sekolah di Bekasi yang hendak tutup. Guru-guru di sekolah itu perlu diberikan solusi. Nadiem meminta kesabaran dari para kepala sekolah dan pengawas sekolah untuk menyelesaikan isu ini. Menurutnya semua hal ini saling terkoneksi sehingga perlu cara jitu untuk memperbaiki masalah distribusi guru.

“Jadi harus strategi yang kuat ya dalam melaksanakan perubahan ini,” tutur Nadiem.

UN dihapus, perlu tolok ukur lain

Sebagaimana diketahui, pihak Kemdikbud yang dipimpin Nadiem tengah mengkaji wacana penghapusan Ujian Nasional (UN). Bila saja UN benar-benar dihapuskan, tetap perlu ada tolok ukur lain sebagai penggantinya, entah apa namanya.

“Menurut saya secara esensi masih penting ada tolok ukur,” kata Nadiem dalam sesi tanya jawab di simposium ini.

Namun tolok ukurnya bukan nilai. Justru tolok ukur berupa nilai itulah yang membebani siswa selama ini. Nadiem berniat untuk mengevaluasi tolok ukur berskala nasional dalam pendidikan Indonesia. Nadiem ingin ke depannya tolok ukut tersebut tak membebani siswa maupun guru.

“Jadi itu yang akan kita kaji lagi. Tapi menurut saya secara personal, harus ada tolok ukur dalam skala nasional tapi formatnya jangan membebankan siswa siswi dan jangan membebankan guru ya. Harus berdasarkan apa yang kita cari yaitu sebenarnya kompetensi. Kita mencari kompetensi itu kuncinya, bukannya berapa jumlah informasi yang sudah terserap,” tutur Nadiem.

 

Sumber : Detik.com

LEAVE A REPLY