Kekerasan dan Potret Suram Perempuan Indonesia di Era Pandemi

0

Pelita.online – Pandemi memang jadi situasi tidak menguntungkan bagi semua lapisan masyarakat. Jangan hanya bicara soal kesehatan fisik, tapi juga soal kekerasan pada perempuan dan anak yang mengintai banyak rumah tangga.

Namun jika mau dilihat lagi, raut wajah suram ditampilkan kaum perempuan. Komnas Perempuan mencatat, kekerasan banyak terjadi di ranah personal. Kemudian seiring penggunaan platform digital yang meningkat, rupanya kekerasan berbasis gender siber (online) pun meningkat.

Dari kajian Covid-19 dan perempuan, Komnas Perempuan menemukan jumlah kasus terlapor di periode Maret-akhir Oktober 2020 ada sebanyak 1.459 kasus. Kasus ini baik kekerasan terhadap perempuan maupun terhadap anak perempuan.

“Jumlah ini ternyata kalau dihitung hampir mendekati jumlah kasus terlapor dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2019. Di Catahu, kasus terlapor ada 1.419 kasus. Padahal itu kasus selama 12 bulan, sedangkan kajian Covid-19 baru terhitung selama 8 bulan,” kata Bahrul Fuad, komisioner Komnas Perempuan pada CNNIndonesia.com melalui telepon, Rabu (25/11).

Dilihat dari bentuk kekerasannya, jumlah tertinggi merupakan kekerasan seksual (405 kasus) dan kekerasan psikis (225 kasus). Namun Bahrul menambahkan sebagian korban tidak hanya mengalami kekerasan tunggal tetapi juga berlapis.

Sedangkan melihat ranahnya, kasus didominasi kekerasan di ranah privat. Dari kajian ditemukan sebanyak 66 persen kekerasan terjadi di ranah privat, 21 persen di ranah publik, 11 persen platform digital (online).

“Kita melihat memang ada persoalan multi isu. Artinya, penyebab tidak tunggal. Covid-19 memang wadah penyebab utama kemudian muncul kebijakan PSBB, WFH, PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh), istri yang biasanya bisa bepergian kini juga di rumah terus. Kemudian timbul interaksi intens, ada rasa takut akan penularan, semuanya terakumulasi menimbulkan percikan konflik,” jelas dia.

Dari kajian, perempuan mengalami tambahan beban. Selain kerja domestik juga ditambah dengan mendampingi anak belajar. Bahrul melanjutkan kondisi ini pun diperparah dengan konstruksi sosial juga kultur yang menempatkan perempuan sebagai pelayan suami.

Selain kekerasan dalam ranah privat, Komnas Perempuan juga menyorot peningkatan kasus kekerasan di platform digital. Bahrul menyebut hingga Oktober 2020, laporan kekerasan berbasis gender siber (KGBS) mencapai 659 kasus. Padahal dalam Catahu 2019, lembaga ini ‘hanya’ menerima laporan sebanyak 281 kasus. Dengan kata lain, ada 300 persen kenaikan padahal belum sampai akhir tahun.

Dia mengira kemajuan teknologi dan peningkatan penggunaan platform media digital jadi wahana kekerasan berbasis gender. Peningkatan kasus pun ditunjang minimnya pengetahuan dan pemahaman pengguna platform digital akan dampak dari unggahannya. Bahrul pun melihat korban yang kebanyakan anak muda ini kurang sadar akan risiko unggahan foto atau video privat mereka.

“Kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan banyak berupa KBGS oleh pacar, mantan pasangan hidup, ini cukup tinggi. Ada yang berupa ancaman menyebarkan foto atau video privat, bahkan ada yang sudah menyebarkan,” imbuhnya.

Desakan pengesahan RUU PKS

Komnas Perempuan mencatat, angka kasus kekerasan terhadap perempuan terus mengalami peningkatan. Bahkan bentuk kekerasan pun makin beragam. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) keberadaannya semakin penting untuk mengakomodir kepentingan perempuan.

“Akhir-akhir ini ada laporan kekerasan seksual yang berbasis pinjaman online (online). Ini banyak menjerat perempuan. Kalau mereka tidak bisa bayar, melunasi, penagih minta hubungan seksual,” kata Bahrul.

Menurutnya, peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun ini juga selayaknya jadi desakan untuk pengesahan RUU PKS. Dia berkata ada dua aspek penting dalam RUU PKS yakni:

Aspek pencegahan, dalam RUU PKS aspek preventif ditekankan sehingga ada edukasi untuk perempuan tentang bentuk kekerasan seksual. Perempuan, kata Bahrul, sering tidak mengenali dan sadar akan kekerasan yang dialami.

Untuk pencegahan ini juga berkaitan dengan literasi digital, kemudian dorongan untuk memasukkan pendidikan seksualitas ke kurikulum pelajaran sekolah.

Aspek pemulihan, selama ini penanganan kasus kekerasan dengan KUHP atau UU lain tidak berpihak pada korban. Bahkan korban malah mengalami penderitaan ganda ditambah stigma negatif dari masyarakat.

“Perempuan jadi korban kekerasan seksual malah disalahkan bajunya, gara-gara pergi sendirian, sehingga dijauhi. Dalam RUU PKS ini diatur bagaimana pemerintah sejak korban melapor harus dilindungi dan dipulihkan. Trauma psikologis berbeda dengan trauma fisik, perlu ada dukungan psikologis dan sosial,” katanya.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY