Kisah Pilu Warga Wuhan Bertahan Hidup saat Wabah Virus Korona: Lebih Baik Kami Mati di Rumah

0

Pelita.online – Wenjung Wang merupakan warga Wuhan, China, yang menjadi pusat wabah virus korona yang mematikan.

Wang, ibu rumah tangga berusia 33 tahun, serta keluarganya bertahan di Wuhan sejak kota itu ditutup pada 23 Januari.

Sejak saat itu, virus korona baru sudah menginfeksi lebih dari 23.000 orang di seluruh dunia, mengakibatkan sedikitnya 490 orang meninggal dunia.

Dalam wawancara yang langka dari dalam Wuhan, Wang bercerita kepada BBC tentang perjuangan berat keluarganya untuk bertahan hidup.

“Sejak dimulainya wabah virus korona, paman saya meninggal dunia, ayah saya sakit parah, dan ibu serta bibi saya mulai menunjukkan beberapa gejala,” kata Wang, kepada BBC, seperti dilaporkan Rabu (5/2/2020).

“CT scan menunjukkan paru-paru mereka terinfeksi. Adik saya juga batuk-batuk dan kesulitan bernafas. Ayah saya demam tinggi. Suhunya 39,3C kemarin dan dia terus-menerus batuk dan kesulitan bernafas,” kata dia.

Dia pun membelikan sang ayah mesin oksigen di rumah, yang digunakan selama 24 jam sehari, 7 hari sepekan.

“Dia minum obat-obatan China dan Barat saat ini. Tidak ada rumah sakit yang bisa dia kunjungi karena kasusnya belum dikonfirmasi karena kurangnya alat tes,” tuturnya.

Ibu dan bibi Wang berjalan kaki ke rumah sakit setiap hari dengan harapan ayahnya bisa dirawat inap, meskipun mereka juga sedang tidak sehat. Tetapi tidak ada rumah sakit yang mau merawatnya.

Di Wuhan, ada banyak tempat karantina untuk mengakomodasi pasien yang menunjukkan sedikit gejala atau masih dalam masa inkubasi. Ada beberapa fasilitas sederhana dan sangat mendasar di sana.

Tapi tidak ada tempat bagi orang-orang yang sakit kritis seperti ayah Wang.

“Paman saya bahkan meninggal dunia di salah satu tempat karantina karena tidak ada fasilitas medis bagi orang dengan gejala parah. Saya benar-benar berharap ayah saya bisa mendapatkan perawatan yang tepat tapi tidak ada yang menghubungi atau membantu kami saat ini,” kata Wang.

“Saya menemui pekerja komunitas beberapa kali, tapi tanggapan yang saya dapatkan adalah ‘tidak mungkin bagi kami untuk mendapat tempat tidur di rumah sakit’.”

Awalnya, Wang berpikir tempat karantina yang didatangi ayah dan pamannya adalah rumah sakit, tetapi ternyata itu adalah sebuah hotel. Tidak ada perawat atau dokter dan tidak ada alat pemanas.

“Mereka datang pada sore hari dan staf di sana memberi mereka makan malam yang dingin pada malam itu. Paman saya sakit parah, dengan gejala pernapasan parah dan dia mulai kehilangan kesadaran.”

Wang menuturkan, tidak ada dokter yang datang untuk mengobatinya. Paman dan ayahnya tinggal di kamar yang terpisah dan ketika ayahnya pergi menemui sang paman pada pukul 06.30, pamannya sudah meninggal dunia.

“Rumah sakit baru yang sedang dibangun adalah untuk orang-orang yang sudah ada di rumah sakit lain saat ini. Mereka akan dipindahkan ke yang baru. Tapi bagi orang-orang seperti kami, sekarang saja kami tidak bisa mendapatkan tempat tidur, apalagi di rumah sakit baru,” kata dia.

“Jika kami mengikuti pedoman pemerintah, satu-satunya tempat yang bisa kami datangi sekarang adalah tempat-tempat karantina. Tapi jika kami pergi, apa yang terjadi pada paman akan terjadi pada ayah,” lanjutnya.

“Jadi kami lebih baik mati di rumah.”

Wang mengatakan ada banyak keluarga seperti dia di sini, semua menghadapi kesulitan yang sama. Ayah teman Wang bahkan ditolak oleh staf di tempat karantina karena dia demam tinggi.

“Sumber daya terbatas tapi populasi yang terinfeksi sangat besar. Kami takut, kami tidak tahu apa yang akan terjadi berikutnya.”

Wang pun memberi pesan kepada dunia.

“Yang ingin saya katakan adalah, seandainya saya tahu mereka akan menutup kota pada 23 Januari, saya pasti akan membawa seluruh keluarga saya keluar, karena tidak ada bantuan di sini,” kata dia.

“Jika kami berada di tempat lain, mungkin ada harapan. Saya tidak tahu apakah orang-orang seperti kami, yang mendengarkan pemerintah dan tinggal di Wuhan, membuat keputusan yang tepat atau tidak,” paparnya.

“Tetapi saya pikir kematian paman saya telah menjawab pertanyaan itu.”

 

Sumber : iNews.id

LEAVE A REPLY