Konsorsium Pembaruan Agraria Sebut FPI Terancam Denda

0

pelita.online-Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria menyebutkan FPI tidak berhak mendapat ganti rugi jika Pesantren Markaz Syariah diambil kembali oleh PTPN VIII. FPI dan para pihak yang bertanggung jawab pada penguasaan lahan milik PTPN VIII bisa dipenjara hingga 4 tahun dan denda hingga Rp 4 miliar.

Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria, Iwan Nurdin mengatakan, dugaan penyerobotan lahan PTPN VIII oleh FPI adalah kasus lama.

“Kasus itu dilaporkan ke Polda Jawa Barat beberapa tahun lalu. Kemudian kasus ini menghilang dan sekarang mencuat lagi,” ujar Iwan Nurdin, Selasa (5/1/2021) dalam keterangan tertulisnya.

Dikatakan Iwan, berdasarkan pernyataan Muhammad Rizieq Syihab dan sejumlah pihak di FPI, menyebut bahwa FPI mengakui lahan yang dikuasainya milik PTPN. “Lahan itu digarap oleh orang perorang lalu dibeli FPI atau MRS,” tambah Iwan Nurdin.

Akad itu, menurut Iwan, tidak dapat dibenarkan menurut hukum Indonesia. Sebab, pemegang hak atas tanah adalah PTPN VIII. Dengan demikian, akad terkait lahan harus dilakukan oleh PTPN VIII.

Alasan FPI bahwa akadnya hanya pengalihan penggarapan juga tidak bisa diterima. Sebab, fakta di lapangan menunjukkan FPI tidak hanya menanami lahan dengan aneka tumbuhan namun juga membuat aneka bangunan.

Iwan menjelaskan sertifkat Hak Guna Bangunan (HGU) diberikan karena lahannya dipakai untuk usaha perkebunan, pertanian, peternakan, tambak perikanan. Sementara untuk bangunan, maka sertifikat dalam bentuk Hak Guna Bangunan (HGB).

Iwan menyarankan agar PTPN VIII segera menunjukkan batas-batas lahan yang dikuasakan kepada perusahaan itu. Badan Pertanahan Nasional juga dapat membantu menjelaskan hal itu. Jika benar ada HGU, maka pihak yang melanggar bisa dikenai sanksi sebagaimana diatur oleh Perpu nomor 51 tahun 1960.

Dalam Perppu tersebut jelas diatur denda Rp 4 miliar dan penjara 4 tahun kepada siapa pun yang mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan; mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan; melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau memanen dan/atau memungut Hasil Perkebunan.

Selanjutnya dalam KUH Pidana Pasal 385 ayat (1) KUHP, jika seseorang dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak (secara tidak sah) menjual, menukar, atau menjadikan tanggungan utang hak orang lain untuk memakai tanah negara, maka dapat dihukum penjara selama 4 (empat) tahun penjara.

Sumber: BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY