KPK Sidik Panitra dan Hakim Terkait Korupsi RSUD Bengkulu

0

Jakarta, PelitaOnline.id  – KPK memanggil hakim, panitera serta sejumlah staf Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bengkulu terkait penyidikan perkara dugaan penerimaan suap untuk mempengaruhi putusan terkait kasus Tipikor penyalahgunaan honor Dewan Pembina RSUD Bengkulu tahun 2011.

KPK memanggil panitera PN Tipikor Zailani Syihab, anggota majelis hakim PN Bengkulu Toton yang juga menjadi tersangka dalam kasus ini, staf perdata pada PN Bengkulu Joni Aprizal, penasihat hukum A Yamin, jaksa bernama Novita, seorang pihak swasta Idram Kholik serta supir Hendriansyah.

“Ketujuh saksi tersebut diperiksa untuk tersangka ES (Edi Santroni),” kata pelaksana harian (Plh) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati di Jakarta, Senin, 6/6.

Dalam perkara ini, KPK menetapkan lima orang tersangka yaitu Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang sekaligus hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) Janner Purba, hakim ad hoc PN kota Bengkulu Toton, panitera PN Kota Bengkulu Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy, mantan Kepala Bagian Keuangan rumah sakit Muhammad Yunus Syafri Syafii, mantan Wakil Direktur Umum dan Keuangan RS Muhammad Yunus Edi Santroni.

Kasus ini bermula dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap lima orang tersebut pada Senin (23/5) di beberapa lokasi di Kepahiang Bengkulu. Dalam OTT tersebut KPK menyita uang sebesar Rp150 juta yang diberikan oleh Syafri kepada Janner setelah sebelumnya Edi memberikan Rp500 juta kepada Janner pada 17 Mei 2016 sehingga total uang yang sudah diterima Janner sekitar Rp650 juta.

“Kalau dikatakan kita banyak (mengusut) di hakim-hakim, ini saya katakan itu ‘economic of scale’ saja, karena (hakim) itu banyak kegiatannya, kemudian accesibility-nya. KPK kan bekerja berdasarkan laporan masyarakat. Laporan-laporan itu membantu kita, tapi kadang ada laporan dari orang terdekatnya,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang pada Jumat (3/6).

Saut pun mengaku bahwa KPK melakukan peran “trigger mechanism” untuk memperbaiki lembaga peradilan.

“Kita ada kerja sama dengan penegak hukum lain, kalau di UU KPK itu disebutnya ‘trigger mechanism’. Kita mendorong orang untuk memperbaiki institusinya, jadi kerja sama dengan kehakiman, kejaksaan, kepolisian untuk melihat ‘behavior’ aparat mereka, kita dorong itu,” tambah Saut.

KPK menduga uang Rp650 juta tersebut diberikan agar majelis hakim yang dipimpin oleh Janner Purba dengan anggota majjelis Toton dan Siti Ansyiria membebaskan Edi dan Syafri selaku terdakwa yang masing-masing dituntut 3,5 tahun penjara dalam kasus penyalahgunaan honor Dewan Pembina Rumah Sakit Umum Daerah Bengkulu Muhammad Yunus. Vonis kasus itu rencananya akan dibacakan pada Selasa (24/5).

Kasus tersebut berawal dari Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor Z. 17 XXXVIII Tahun 2011 Tentang Tim Pembina Manajemen RSMY mengenai honor tim pembina RSUD M Yunus termasuk honor gubernur Bengkulu saat itu Junaidi Hamsyah.

Padahal SK itu bertentangan dengan Permendagri No 61 Tahun 2007 mengenai Dewan Pengawas yang menyebutkan bahwa Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) tidak mengenal tim pembina.

KPK menyangkakan Janner dan Toton berdasarkan pasal 12 huruf a atau b atau c atau pasal 6 ayat 2 atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Badaruddin Amsori Bachsin disangkakan berdasarkan pasal 12 huruf a atau b atau c atau pasal 6 ayat 2 atau pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP sehingga ia diduga sebagai penerima sekaligus pemberi hadiah atau janji kepada penyelenggara negara dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sementara Syafri Syafii dan Yunus Edi disangkakan melanggar pasal 6 ayat 1 atau pasal 6 ayat 1 huruf a atau b dan atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP mengenai memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta. (Ant)

LEAVE A REPLY