KPK: Swasta dan Legislator Paling Banyak Terjerat Korupsi

0

Pelita.online – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron membeberkan data pelaku tindak pidana korupsi sejak 2004 hingga 2020 berdasarkan profesi dan jabatan. Dari data yang dibeberkan Ghufron, swasta dan anggota dewan, baik DPR maupun DPRD, menjadi profesi yang paling banyak terjerat kasus korupsi.

Ghufron menjelaskan bahwa, pihak swasta paling banyak tersandung kasus korupsi lantaran memiliki kepentingan dengan penyelenggara negara. Sementara, penyelenggara negara yang paling banyak “didekati” pihak swasta adalah anggota dewan baik di tingkat pusat maupun daerah.

“Ternyata yang terbanyak profesinya adalah swasta. Kenapa swasta? Karena memang swasta yang punya kepentingan kepada penyelenggara negara, yang butuh diutamakan. siapa yang ‘ditembak’?, biasanya anggota dewan yang banyak, perwakilan daerah maupun provinsi dan kabupaten/kota,” kata Ghufron dalam Anti-Corruption Summit-4 yang disiarkan di kanal YouTube KPK, Rabu (18/11/2020).

Dari data yang dibeberkan Ghufron, terdapat 297 orang dari pihak swasta yang terjerat kasus korupsi. Sementara untuk anggota dewan, baik DPR maupun DPRD, ada sebanyak 257 orang. Kemudian, pejabat eselon I/II/III sebanyak 142 orang. Sisanya, Wali Kota, Hakim, Jaksa, Gubernur, hingga Pengacara.

“Bahkan, ada komisioner lembaga, termasuk juga APH, ini hasil dari pemberantasan korupsi dari 2004 sampai Juli 2020,” kata Ghufron.

Tak hanya itu, Ghufron juga mengungkapkan jenis atau area yang paling banyak terjadi tindak pidana korupsi. Diantaranya, terkait pengadaan barang dan jasa, perizinan, hingga penyuapan.

“Area yang paling banyak kami temukan adalah dalam pengadaan barang dan jasa, ada 206 kasus. Di perizinan ada 23 kasus, di penyuapan ada 683 kasus, 60 persen ada di kasus suap, 20 persen di pengadaan barang dan jasa, selebihnya tersebar,” katanya.

Dikatakan, kejahatan korupsi terjadi hampir merata di seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Latar belakang pelaku kejahatan luar biasa ini berasal dari berbagai partai politik, suku bangsa atau agama. Ironisnya sebagian besar atau tepatnya 64 persen pelaku korupsi yang dijerat KPK merupakan orang berpendidikan dan banyak juga pelaku yang masih berusia muda.

“Bacaan KPK, korupsi bukan penyakit partai, agama, dan suku bangsa karena hampir sama, partainya warna warni merah kuning hijau tetapi perilaku korupsinya sama. Tingkat pendidikannya ternyata tidak linier dengan kesadaran antikorupsinya. Harapannya tingkat pendidikan tinggi maka tingkat korupsinya rendah, mestinya berbanding terbalik. Ternyata ini enggak, makin tinggi ternyata semakin inovasi dalam berkorupsi itu. Mari kita kemudian bacaan ini perlu kita kritisi,” katanya.

Dari data penanganan perkara yang dilakukan KPK selama ini, Ghufron menyatakan korupsi bukan hanya persoalan orang per orang atau personal melainkan persoalan sistemik. Ghufron menyebut persoalan korupsi disebabkan terutama karena sistem politik di Indonesia yang masih berbiaya tinggi.

“Bacaan KPK saat ini bahwa tindak pidana korupsi bukan penyakit personal, bukan hanya penyakit personal orang perorang tetapi masalah sistemik. Faktor yang paling menentukan lahirnya tindak pidana korupsi adalah faktor politik karena politik di Indonesia berbiaya tinggi,” kata Ghufron.

Dikatakan, politik berbiaya tinggi mengakibatkan penyelenggara negara, terutama yang dipilih melalui pemilihan umum berupaya mengembalikan “modal” yang dikeluarkannya saat proses pemilihan. Akibatnya, para penyelenggara negara tidak fokus melayani masyarakat, melainkan sibuk memperjualbelikan kewenangan, fasilitas dan keuangan negara agar dapat “balik modal”.

“Ketika menjabat pada jabatan-jabatan politik karena berbiaya tinggi maka kemudian dia termotivasi untuk mengembalikan modalnya pada saat termotivasi untuk mengembalikan modal maka yang terjadi adalah menjualbelikan jabatannya wewenangnya dan fasilitas dan keuangan negaranya,” kata Ghufron.

Hal ini menjadi ironis lantaran tingkat demokrasi Indonesia relatif baik. Seharusnya, semakin demokratis suatu negara semakin transparan tata kelola pemerintahannya yang berdampak pada rendahnya tingkat korupsi. Namun, nyatanya, tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi hingga saat ini.

“Idealnya demokrasi semakin bagus, rakyat semakin menemukan pemimpin-pemimpin yang baik berintegritas maka kemudian harapannya tindak pidana korupsi semakin rendah.” katanya.

Sumber:BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY