Kuasa Hukum Terdakwa Jiwasraya Nilai Putusan Hakim Bombastis

0

Pelita.online – Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (tipikor) Jakarta dalam kasus perkara korupsi Jiwasraya sangat bombastis, bahkan terkesan sekadar menyenangkan publik. Majelis Hakim mengabaikan fakta yang terjadi selama persidangan, termasuk mengangkangi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 25/PUU-XIV/2016 soal perhitungan kerugian negara.

Demikian disampaikan Dion Pongkor selaku kuasa hukum mantan direksi PT Jiwasraya yang menjadi terdakwa perkara korupsi Jiwasraya, Rabu (14/10/2020). “Kita sayangkan karena hakim tidak melihat secara objektif bukti-bukti yang kita sampaikan, termasuk sejumlah fakta yang terjadi di persidangan,” kata Dion.

Diketahui, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman seumur hidup terhadap tiga mantan direksi PT Jiwasraya. Ketiganya yakni mantan Dirut PT Jiwasraya Hendrismam Rahim, mantan Direktur Keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo, dan mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Syahmirwan.

Hukuman seumur hidup juga dijatuhkan Majelis Hakim terhadap Direktur PT Maxima Integra, Joko Hartono Tirto. Dion menilai banyak kejanggalan yang terjadi sejak awal kasus Jiwasraya mencuat. Dion menyebut kasus tersebut, bahkan terkesan dipaksakan. Salah satu kejanggalan yakni terkait perhitungan kerugian negara.

Dikatakan, putusan MK 25/PUU-XIV/2016 mencabut kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang (UU) 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor.

Putusan MK ini menafsirkan bahwa frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss), bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss).

Dengan demikian, kata Dion, kerugian negara tidak dapat diartikan sebagai perkiraan kerugian, tapi harus benar-benar sudah nyata atau terjadi akibat tindak pidana yang dilakukan sehingga kata “dapat” dicabut oleh MK. “Unsur kerugian negara harus benar-benar terjadi atau nyata dan bukan hanya potensi apalagi hanya sekedar halusinasi,” ujar Dion.

Akan tetapi, menurut Dion, dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum, perhitungan nilai kerugian dalam perkara Jiwasraya masih bersifat potential loss dan belum actual loss. Untuk itu, perhitungan tersebut tidak bisa dikatakan kerugian, apalagi berbagai portofolio saham dan reksadana PT Asuransi Jiwasraya berpotensi terkerek naik jika sentimen pasar positif.

Hal ini mengingat naik turunya saham sangat tergantung isu-isu yang berkembang di pasar keuangan Indonesia. “Saham-sahamnya masih ada sehingga belum bisa dikatakan kerugian rill,” ucap Dion.

Dion menegaskan, perhitungan kerugian negara dalam kasus Jiwasraya ini tidak jelas. Hal ini lantaran, dalam tuntutan Jaksa maupun putusan Hakim tidak menunjukkan secara nyata tindakan terdakwa yang mengakibatkan kerugian negara.

“Nah, dalam kasus Jiwasraya ini, tindakan terdakwa mana yang secara nyata menunjukkan kerugian negara? Ini kan enggak jelas. Jadi, unsur kerugian negara yang dinyatakan terbukti oleh Hakim, jelas tidak sesuai dengan Putusan MK 25/PUU-XIV/2016 yang telah menghapuskan kata ‘dapat’ dalam pasal 2 (1) dan 3 UU Tipikor,” ungkap Dion.

Dikatakan, konsekuensi dari putusan MK yang mencabut kata “dapat” dalam Pasal 2 (1) dan 3 UU Tipikor adalah mengubah pasal tersebut dari delik formil menjadi delik materiil, yang mensyaratkan adanya unsur kerugian negara harus dihitung secara nyata atau riil.

Sementara, dalam perkara Jiwasraya, Dion menilai Jaksa tidak dapat membuktikan berapa nilai kerugian keuangan negara secara riil (actual loss). “Majelis Hakim pun setali tiga uang Jaksa. Putusannya copy paste dari tuntutan Jaksa,” kata Dion.

Sumber:BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY