‘La Ilaha Illallah’, Ideologi Kebangkitan Islam

0

Pelita.Online – Tidaklah suatu peradaban bangkit di permukaan bumi kecuali memiliki ideologi yang menjadi pijakan peradabannya. Peradaban Barat misalnya, bangkit dari kegelapan dengan ideologi sekularismenya, yaitu sebuah ideologi yang memisahkan agama dari urusan negara. Demikian juga dengan Uni Soviet yang bangkit dengan ideologi Marxisme dan Leninismenya. Ideologi inilah yang menjadi landasan kedua peradaban di atas.

Maka, kebangkitan suatu peradaban ditandai dengan meningkatnya taraf pemikiran kaum tersebut. Tak terkecuali dengan Islam yang sangat cepat era kebangkitannya. Berawal dari keterpurukan Jahiliyah di Arab menjadi bangsa yang menenggelamkan Persia di timur dan Romawi di barat. Prinsip dari kebangkitan Islam adalah kalimat ‘La Ilaha Illallah’, yaitu bersih dari semua kesyirikan dan hanya menghambakan diri kepada Allah.

Asas Idelogi Islam

Setelah runtuhnya khilafah Utsmaniyah, banyak para pemikir-pemikir muslim merumuskan prinsip-prinsip kebangkitan Islam. Ada yang berfikir bahwa kebangkitan Islam harus dimulai dari gerakan dakwah, ada juga dari ilmu pengetahuan, ada juga dari ekonomi dan sebagainya. Namun Islam hingga kini tidak kuncung bangkit, maka prinsip kebangkitan tersebut harus dievaluasi, apakah demikian cara Islam untuk bangkit sebagaimana dahulu?

Kebangkitan Islam yang dimulai dari dakwah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallamtidaklah parsial. Padahal, di tengah keterpurukan Jahiliyah bisa saja Rasul menawarkan solusi kebangkitan di bidang pendidikan atau ekonomi atau yang lain. Namun Rasul tidak demikian, beliau bukanlah tokoh daerah atau pemimpin Nasional, Rasul menawarkan solusi kebangkitan adalah dengan kalimat syahadat dan tidak ada kompromi dengan kesyirikan.

Jika ingin melihat apa yang diserukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallamkepada umat manusia, maka lihatlah pesan beliau yang dibawa oleh Rib’i bin Amir radhiyallahu ‘anhu kepada raja Persia. Rib’i bin Amir radhiyallahu ‘anhumengatakan kepada Rustum, komandan Persia :

اللَّهُ ابْتَعَثْنَا لِنُخْرِجَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ إِلَى عِبَادَةِ اللَّهِ، وَمِنْ ضِيقِ الدُّنْيَا إِلَى سِعَتِهَا، وَمِنْ جَوْرِ الْأَدْيَانِ إِلَى عَدْلِ الْإِسْلَامِ

“Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan terhadap sesama hamba kepada penghambaan hanya kepada Allah, dari kesempitan dunia kepada keluasannya, dari kezhaliman agama-agama kepada keadilan Al-Islam.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 7/39)

Inilah prinsip ideologi Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersaing dengan semua peradaban di dunia. Yaitu kebersihan tauhid dari segala sesuatu yang merusaknya. Bisa jadi ideologi ini belum ada pada diri pemikir-pemikir Islam dan gerakan-gerakan Islam di dunia. Atau prinsip ini belum seutuhnya dijalankan, sehingga masih berkompromi dengan kesyirikan-kesyirikan barat maupun timur, walau sedikit. Maka, akibatnya Islam tak kunjung bangkit sebagaimana dahulu.

BACA JUGA  Tim Pembela Kemanusiaan Ajukan Praperadilan Kasus Pembunuhan Siyono

Bukankan Islam mengajarkan bahwa tidak boleh menghapus kebathilan dengan kebathilan? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

“Sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (halal).” (HR. Muslim no. 1015)

Pelajaran yang tersirat dari hadist ini bahwa Allah tidak menerima usaha kita jika masih bercampur dengan yang haram. Bisa jadi Allah belum meridhai umat Islam untuk memperoleh kejayaan karena umat Islam belum murni perjuangannya mengikuti perintah Allah. Mereka belum murni tunduk pada perintah Allah, bahkan masih tergoda dengan kedudukan atau bagian dari dunia. Itulah sebabnya Allah menimpakan kehinaan pada umat Islam.

Semangat Memenangkan Islam

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa sebab kehinaan umat Islam karena mereka belum murni berjuang untuk Allah dan Rasul-Nya, masih tergiur dengan harta dan kedudukan. Beliau bersabda :

يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا الْوَهْنُ ؟ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ

“Nyaris tiba saatnya umat-umat lain memperebutkan kalian, seperti orang-orang yang makan memperebutkan hidangannya.” Ada seseorang bertanya, “Apakah karena jumlah kami sedikit pada hari itu?” Beliau menjawab, “Justru jumlah kalian banyak pada hari itu, tetapi ibarat buih di atas air. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut kepada kalian dari dada musuh kalian dan menimpakan kepada kalian penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Ahmad no. 21891 dan Abu Daud no. 4297)

Dalam hadist lain, beliau bersabda :

BACA JUGA  Munas NU Putuskan Non Muslim Bukan Kafir, Dinilai Ada Permainan Kelompok Liberal

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُـمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَيَنْزِعُهُ شَيْئٌ حَتَّى تَرْجِعُواْ إِلَى دِيْنِكُمْ

“Apabila kalian melakukan jual beli dengan cara ‘inah, berpegang pada ekor sapi, kalian ridha dengan hasil tanaman dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan membuat kalian dikuasai oleh kehinaan yang tidak ada sesuatu pun yang mampu mencabut kehinaan tersebut (dari kalian) sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3462)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memahami hal ini, bahwa kesyirikan hanya akan menghinakan Islam dan umatnya. Maka selama tiga belas tahun Rasul hanya menanamkan ‘la ilaha illallah’.  Hasilnya lahir manusia-manusia berperadaban yang tidak pernah lelah berjuang untuk Islam. Sebagai contoh adalah sahabat Abu Ayyub al-Anshari yang semangatnya menggetarkan daratan Romawi.

Saat Abu Ayyub usianya menginjak 80-an tahun, tidak gengsi untuk berada di bawah kepemimpinan anak muda yang bernama Yazid. Beliau tetap bersemangat memperjuangkan Islam untuk merebut kota Konstantinopel. Baru saja menginjakkan kaki di sedikit wilayah musuh, ia jatuh sakit. Sehingga tak dapat turut serta lagi dalam peperangan.

Yazid menjenguknya dan bertanya:

ألك من حاجة يا أبا أيوب؟ فقال: اقرأ عني السلام على جنود المسلمين، وقل لهم: يوصيكم أبو أيوب أن توغلوا في أرض العدو إلى أبعد غاية، وأن تحملوه معكم، وأن تدفنوه تحت أقدامكم عند أسوار القسطنطينية

Apakah Anda memiliki keinginan?” ia menjawab : “Sampaikan salamku kepada pasukan kaum muslimin. Katakan pada mereka tempuhlah wilayah musuh sejauh mungkin dan bawa jasadku bersama kalian. Agar kalian menguburkannya di bawah kaki kalian di sisi benteng Konstantinopel.”

Bagaimana mungkin Islam tidak bangkit jika manusia-manusianya demikian. Mereka tidak pernah lelah memperjuangkan kejayaan Islam. Matinya saja minta di medan jihad dan dikuburkan di tanah perang, lalu bagaimana hidupnya. Semangat itu tidak lain karena prinsip yang ada dalam dada mereka, yaitu ‘La Ilaha Illallah’yang telah memenuhi pemikiran dan hati mereka. Mereka ingin hanya kalimat Allah yang ditinggikan. Maka terwujudlah peradaban dan kejayaan Islam dalam waktu yang tidak lama. Wallahu ‘alam bish showab.

Kiblat.net

LEAVE A REPLY