Make in India, Sisi Lain Upaya Diskriminasi Muslim Secara Ekonomi

0

Pelita.Online –  “Make in India” pada dasarnya merupakan kampanye yang bertujuan untuk menjadikan India sebagai pabrik dunia. Namun di samping tujuan ekonominya, branding “Make in India” untuk audiens domestik kerap diliputi ornamen nasionalis Hindu.

India telah membuka pasar untuk merek-merek asing pada 1991. Sejak saat itu pula, India kerap menggunakan slogan seperti “Make in India” dan “India Mandiri” untuk mengkomodifikasi bangsa.

Identitas nasional menjadi fondasi yang efektif dan bertahan lama dalam pembentukan suatu brand atau merek. Aliran investasi yang masuk ke India dianggap sebagai tanda kekuasaan dan prestise negara.

“Namun pada gilirannya, (aliran investasi) tersebut digunakan oleh Modi (Perdana Menteri India) dan BJP (Parta Bharatiya Janata) untuk mendongkrak proyek budaya-politik Hindutva mereka,” ungkap analis Christian Kurzydlowski, seperti dilansir EuroAsia Review.

Hindutva atau Kehinduan pada dasarnya merupakan istilah untuk sebuah ideologi politik yang dibuat Vinayak Damodar. Hindutva dikenal sebagai bentuk nasionalisme Hindu yang dominan di India dan direpresentasikan oleh Partai Bharatiya Janata atau Bharatiya Janata Party (BJP). Hindutva kerap mengacu pada masa kejayaan Hindu yang ahistoris, yang telah dihancurkan oleh Mughal dan Inggris.

Branding tenaga kerja yang produktif, tanah dengan sumber daya yang belum dimanfaatkan, serta patriotisme, semua keunggulan “Make in India”, mempromosikan utopia Hindu yang artifisial dan indah,” jelas Kurzydlowski.

Di satu sisi, Kurzydlowski mengatakan Perdana Menteri India Narendra Modi memiliki cita-cita untuk menjadikan India sebagai pusat manufaktur global yang inklusif.

Namun ironisnya, di dalam negeri, pemerintahan Modi justru membangun pengucilan terhadap warga Muslim, yang mencakup 14 persen dari populasi India.

Dengan menggunakan konstruksi identitas agama era kolonial, Kurzydlowski mengatakan sejarah versi BJP memprioritaskan komunitas Hindu di India.

“Langkah ini penuh dengan konsekuensi mengerikan bagi India, baik secara ekonomi, politik, dan sosial,” jelas Kurzydlowski.

Sebagai senjata instrumentalisasi, fokus kampanye “Make in India” pada ekonomi nasional juga mendelegitimasi Muslim India dengan cara tidak mengakui kontribusi dan kehadiran Muslim India pada ekonomi negara.

Menurut Sensus India ke-15, 31 persen Muslim India hidup dalam kemiskinan dan hanya 8,5 persen yang memiliki pekerjaan di pemerintahan.

“Banyak orang dalam BJP percaya bahwa ummat Muslim lebih dipromosikan secara tidak adil, padahal kenyataannya, hampir sebagian besar (umat Muslim) tidak diuntungkan,” ujar Kurzydlowski yang juga merupakan peneliti independen berbasis di Toronto, Kanada, dan ahli di bidang sejarah.

Menurut Kurzydlowski, BJP perlu mengubah kebijakannya dan melibatkan semua warga India, termasuk populasi Muslim, dalam skema “Make in India”. Keterlibatan semua pihak akan sangat membantu branding internasional India sebagai tempat kerja yang produktif.

Selain itu, pemerintah di semua level juga perlu menyediakan program spesifik dan membangun infrastruktur untuk mempromosikan inklusivitas bagi warga Muslim. Di saat yang sama, pemerintah juga perlu menyediakan askes pekerjaan, layanan, hingga rumah bagi mereka.

“Dengan banyaknya Muslim India yang semakin tidak terlibat dalam inisiatif pemerintah, BJP tertinggal dalam penyediaan edukasi dan pelatihan bagi warganya dalam porsi yang signifikan,” ujar Kurzydlowski.

Naiknya BJP ke tampuk kekuasaan pada 2014, di mana Perdana Menteri Narendra Modi menjabat dan pemilihan kembali pada 2019 telah menyebabkan lonjakan serangan terhadap Muslim dan kelompok minoritas lainnya. Di India, terdapat sekitar 14 persen umat Islam dari 1,4 miliar penduduk negara itu.

Dalam sebuah video yang menunjukkan konferensi di mana Giri menyerukan kebencian terhadap umat Islam, ada beberapa biksu Hindu yang turut ikut serta. Bahkan, salah satunya adalah Pooja Shakun Pandey yang erupakan seorang pemimpin nasionalis Hindu mengatakan bahwa India siap menjadi negara Hindu.

Baca juga: Mualaf Erik Riyanto, Kalimat Tahlil yang Getarkan Hati Sang Pemurtad

“Jika 100 dari kita siap untuk membunuh dua juta dari mereka, maka kita akan menang dan menjadikan India sebagai negara Hindu,” ujar Pandey, merujuk pada populasi Muslim di negara itu, dilansir Aljazirah, Selasa (18/1).

Seruannya untuk pembantaian disambut dengan tepuk tangan dari para hadirin. Saat ini Pandey sedang diselidiki oleh polisi karena menghina keyakinan agama.

sumber : republika.co.id

LEAVE A REPLY