Menghapus Baduy sebagai Destinasi Wisata Bukan Berarti Menutup Diri dari Kunjungan Orang Luar

0

Pelita.online – Surat terbuka adat suku Baduy kepada Presiden Joko Widodo perihal permintaan untuk menutup kawasan Baduy dan menghapus wilayah adat Baduy sebagai destinasi wisata kembali mengemuka. Keempat penulis surat terbuka Heru Nugroho, Henri Nurcahyo, Anton Nugroho, dan Fajar Yugaswara mengatakan menghapus Baduy sebagai destinasi wisata bukan berarti menutup Baduy dari kunjungan orang luar.

“Kalau pemerintah secara yuridis formal menghapuskan Baduy sebagai destinasi wisata maka konsekuensi logisnya bahwa masyarakat luar Baduy yang berkunjung ke sana tidak dalam rangka berwisata. Hal ini sama saja dengan kunjungan keluarga atau mengunjungi sanak saudara dan handai tolan yang tinggal di luar daerahnya sendiri,” kata mereka dalam siaran pers yang diterima Liputan6.com, Rabu (15/7/2020).

Selain tak ada lagi promosi wisata, kata mereka, tak ada lagi ambisi untuk mendatangkan wisatawan sampai ke tingkat dunia sebagaimana yang menjadi ambisi pemerintah Lebak. “Posisi Baduy harus dikembalikan sebagai pusaka budaya yang harus dihormati, dijaga kelestariannya, dan bukan dijadikan semacam kebon binatang di mana warga Baduy sebagai tontonannya,” sambung tim penulis.

Tim penulis surat terbuka itu juga menjelaskan, soal citra satelit melalui Google Maps yang sanggu memotret wilayah Baduy Dalam sehingga tersebar foto-fotonya secara bebas. Tidak bisa ditolak bahwa kemajuan teknologi telah memungkinkan pengambilan foto di wilayah Baduy Dalam, meski secara fisik tidak memasukinya.

Menurut mereka, hal itu tentu saja melanggar pantangan warga Baduy yang dengan susah payah ditegakkan selama ratusan tahun. Namun atas nama kemajuan teknologi pula bahwa kemampuan citra satelit itu seharusnya dapat dicegah.

“Bukankah hal yang sama sudah berlaku untuk kawasan militer dan objek vital serta strategis. Bahkan di wilayah keraton yang sakral dapat dilakukan pencegahan untuk tidak dapat diambil gambarnya melalui citra satelit. Jadi, apakah salah kalau kemudian surat terbuka itu meminta Presiden Republik Indonesia untuk melakukan pencegahan pengambilan gambar citra satelit ini?” tanya mereka.

Tim penulis juga merasa tidak nyaman disebut oleh pihak-pihak tertentu bahwa mereka tidak memberi tahu isi surat yang terbuka yang kemudian dicap jempol oleh tiga tokoh adat Baduy. Tentang Jaro Saidi memberi cap jempol juga pada pernyataan “pengingkaran pemberian mandat” tersebut.

Saya udah ketemu beliau, Sabtu tanggal 11 Juli,” tulis salah seorang tim penulis dalam pesan singkat.

Kepedulian Terhadap Warga Baduy

Kata tim penulis, kemunculan surat terbuka ini seharusnya menjadi introspeksi para pejabat pemerintah di semua tingkatan. Surat ini adalah sebuah surat cinta untuk mengingatkan, bukan malah spontan membantahnya.

Tim penulis juga menegaskan bahwa surat terbuka tersebut sebagai bentuk kepedulian terhadap Baduy, sebuah pusaka budaya Nusantara yang tidak ternilai yang dimiliki warga Lebak, Banten, dan juga masyarakat Indonesia. Jika surat tersebut menimbulkan keresahan baru dan polemik, mereka berharap tak melibatkan para Jaro dan warga Baduy lainnya.

“Biarkan mereka tenang dengan keasrian lingkungan dan tatanan adat budayanya. Kami mohon dengan sangat kepada kalangan media massa, jangan melibatkan warga Baduy dalam keriuhan ini,” imbuhnya.

Tim penulis juga mengajak untuk melakukan perenungan diri. Bukan hanya pemerintah, tetapi kita semua, yang mengaku cinta Baduy, peduli Baduy, yang mengaku sudah puluhan tahun akrab dengan Baduy, sarjana Baduy dan sebagainya, untuk melakukan perenungan diri. “Introspeksi atas apa yang telah kita lakukan selama ini terhadap warga Baduy,” tulisnya.

 

Sumber : liputan6.com

LEAVE A REPLY