Menghidupkan GBHN untuk Memperjelas Arah Pembangunan

0

GARIS-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) mulai dilirik kembali. Sebab, banyak kalangan menilai arah pembangunan nasional saat ini semakin kabur.  Dalam diskusi “Reformulasi Model GBHN”, di Hotel Phoenix Yogyakarta, Kamis awal September, Guru Besar Filsafat UGM Kaelan mengatakan setelah GBHN—yang menjadi pedoman pembangunan nasional pada masa Orde Baru—dihapuskan, tak ada standar pasti untuk mengukur kinerja pemerintah, apakah telah sesuai dengan rencana pembangunan atau tidak. Itu karena agenda rencana pembangunan nasional ditentukan lewat undang-undang serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional yang ditentukan dengan Peraturan Presiden. Sementara pelaksananya juga presiden.

“Karena ditentukan dengan peraturan yang dibuat oleh kekuasaan presiden itu sendiri, maka tak ada tanggung jawab yuridis,” imbuh Kaelan.

Berbeda dengan Pemerintahan Orde Baru. Pada masa itu, GBHN ditetapkan oleh MPR. Presiden pun menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) berdasarkan GBHN. Sehingga rancangan dan kinerja Pemerintah bisa dinilai dan diukur dengan GBHN. Karena itu, Kaelan menambahkan, kondisi tanpa GBHN saat ini menyebabkan pembangunan nasional mengalami kemunduran di berbagai sektor.

Guru Besar Ilmu Hukum, Sudjito, punya pendapat sama. Dia menilai GBHN pada masa Orde Baru berfungsi sebagai sarana kontrol sosial Pemerintah. Muatan moral dan prinsip pembangunan yang dimuat dalam GBHN pun bisa menjadi kompas bagi penyelenggara Negara dalam berperilaku. “Muatan moral yang terkandunng dalam GBHN tidak bisa dimain-mainkan melalui tafsir politis,” tandasnya.

Selanjutnya, Guru Besar Ilmu Pemerintahan UGM Purwo Santoso menilai saat ini Indonesia menjalankan empat sistem perencanaan pembangunan, yakni perencanan tingkat desa, kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Namun, lanjut Purwo, keempat lapis perencanaan itu tidak saling bersinggungan karena mengalami benturan logika proses pemerintahan.

“Atas nama nasional, Pemerintah pusat ingin rencananya dijadikan acuan pemerintah daerah, sebaliknya pemerintah daerah atas nama apirasi rakyat merasa mendapat izin untuk menutup mata terhadap agenda nasional.”

Namun, ide mengembalikan GBHN bakal menumbuk tembok amandemen UUD 1945. Pasalnya, pasca perubahan UUD 1945, MPR bukan lagi lembaga tertinggi Negara selaku pemegang kedaulatan rakyat. MPR juga tak lagi memiliki tugas menetapkan GBHN. Selain itu, karena dipilih langsung rakyat, Presiden tak lagi bertanggung jawab kepada MPR.

GBHN dan RPJPN

Pada era Orde Baru, siapa yang tak mengenal Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan oleh MPR sebagai patokan untuk pembangunan Negara. Setiap sekolah bahkan aktif menyosialisasikan GBHN kepada siswa. Pejabat pemerintah di tiap tingkatan pun wajib memahami GBHN.

Sekarang GBHN sudah almarhum. Pasca reformasi, GBHN diganti dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 yang mengatur Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, biasa disebut RJPP atau RJPPN. Sesungguhnya GBHN dan RPJP memiliki fungsi sama, yaitu sebagai patokan arah pembangunan baik pusat dan daerah. RPJP ini dibuat turunannya per lima tahun dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah atau RPJM . Lima tahun diambil dari masa kerja seorang presiden. Daerah juga tak ketinggalan, harus membuat RPJP dan RPJM masing-masing, yang mengacu kepada RPJPN. Terkesan semua tertata dengan baik dan benar. Kini tinggal pelaksanaannya.

Sejak 2005, Negara ini sudah memiliki RPJPN 2005-2025. Artinya, Pemerintah telah memiliki rencana pembangunan untuk 20 tahun ke depan. Isinya sangat indah. Misalnya, Indonesia bervisi harus mandiri, maju, adil dan makmur. Juga ada sederet misi antara lain: mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia dan bermoral, mewujudkan bangsa yang berdaya saing, mewujudkan masyarakat yang demokrastis dan berlandaskan hukum, mewujudkan Indonesia yang aman, damai dan bersatu.

Namun tak seperti GBHN, RPJPN sangat jarang dibicarakan dan disosialisasikan, apalagi diperkenalkan dalam mata pelajaran di sekolah. Akibatnya, sebagian besar—minus birokrat tentu saja—masyarakat tidak tahu apa yang mau dikerjakan, apa yang sedang dibangun, dan kapan semua itu selesai. Tak heran pula jika banyak masyarakat yang merasa Negara ini tidak memiliki agenda pembangunan. Sepertinya semua berjalan sesuai keinginan politisi-birokrat. Sedikit sekali sosialisasi dan penjelasan tentang RPJPN.

Ini sangat berbeda dengan era Orde Baru. GBHN sangat sering dibahas. Bahkan, GBHN selalu menjadi materi soal ujian di sekolah dan universitas. Segenap masyarakat setidaknya mengetahui apa dan ke mana arah pembangunan Negara.

Selain itu, saat ini sepertinya tak ada kontrol dari DPR terhadap pemerintah, apakah RPJP telah dijalankan dengan baik dan benar. Apakah Pemerintah ditegur jika terlambat apalagi menyimpang. Padahal, RPJPN adalah amanat undang-undang.

Setidaknya, mari kita sedikit mengobservasi apakah setelah tujuh tahun berjalan, RPJPN telah dilaksanakan sesuai target atau justru menyimpang. Jika misi pembangunan adalah menciptakan Indonesia yang mandiri, maju, dan makmur, tetapi kenapakah kita semakin rajin mengimpor beras, bawang, cabai, dan juga garam, atau bahkan ikan laut. Tujuha tahun berlalu, mengapa swasembada pangan tak tercapai. Artinya yang berkembang justru jiwa dagang ketimbang jiwa kemandirian. Yang penting untung walaupun impor.

Pembangunan juga dikatakn hendak menjadikan Indonesia yang berakhlak mulia. Lantas, bagaimana kenyataannya? Korupsi malah semakin merajalela. Tawuran dan anarkisme semakin marak. Mafia hukum dan pajak masih mantap. Kebebasan seks, narkoba, dan minuman keras tak pernah berkurang. Peranan pemuka agama dan masyarakat semakin dipinggirkan. Pelaku zina malah jadi idola. Koruptor masih tersenyum dan melambaikan tangan seperti orang mulia. Mengaku demokratis tetapi berbeda sedikit, malah membuat kerusuhan. Jadi adakah pergerakan dan kemajuan dari pelaksanaan misi RPJPN?

Indonesia damai dan bersatu? Tapi mengapa otonomi daerah justru menyebabkan terpecah belahnya Negara. Para raja kecil lahir di banyak daerah. Hutan dan kekayaan alam dijadikan bancakan layaknya milik sendir. Papua tak kunjung selesai. Lantas di manakah kedamaian dan persatuan itu? Bukankah gerak gesekan semakin keras terasa di banyak wilayah?

Jadi semua ada di tangan DPR yang mengawasi dan Presiden yang melaksanakan undang-undang. Jika keduanya berjalan sendiri-sendiri, maka RPJPN tidak akan pernah berujung manis. Apalagi 2014 Indonesia akan memiliki presiden baru. pertanyaannya, adakah pemimpin baru nanti mau menjamin akan melaksanakan RPJPN 2005-2025 hingga akhir. Ataukah justru dia malah melahirkan RPJPN 2014-2039 sebagai gantinya

LEAVE A REPLY