Menyoal Wacana Provinsi Sunda di Tengah Pluralitas Identitas

0

Pelita.online – Dorongan perubahan nama Jawa Barat menjadi Provinsi Sunda diduga hanya wacana kaum elite yang ingin lebih eksis di tingkat nasional. Isu itu pun dinilai tak lagi relevan karena Jabar semakin majemuk dan pelestarian budaya terus dilakukan.

Wacana itu sendiri muncul dalam diskusi bertema “Dialog Aspirasi Pengembalian Nama Provinsi Jawa Barat Menjadi Provinsi Sunda” yang diadakan di Perpustakaan Ajip Rosidi, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (12/10).

Ide pergantian nama itu diungkapkan oleh Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Jabar, Eni Sumarni. Dia khawatir nama Sunda akan hilang jika tidak digunakan.

 

“Sunda bisa tergerus dan semakin menghilang. Kita dukung para tokoh Sunda yang ingin mengembalikan nama Sunda ke provinsi,” kata dia.

Ketua SC Kongres Sunda Andri Perkasa Kantaprawira mengaku bakal menyurati Presiden Joko Widodo terkait wacana tersebut.

Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil meminta studi serta kesepakatan lebih jauh soal realisasi wacana tersebut.

Pasalnya, kata mantan Wali Kota Bandung tersebut, Jawa Barat dihuni setidaknya tiga etnis besar yakni Sunda priangan, Cirebonan di wilayah pantai utara (pantura) terutama di perbatasan dengna Jawa Tengah, dan Betawi di sekitar Bekasi, Depok, hingga Kabupaten Bogor.

Selain itu, ada pula Peraturan Daerah (Perda) Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 yang diubah ke Perda 14/2014, yang mengakui tiga suku asli di Jawa Barat yaitu Suku Betawi yang berbahasa Melayu dialek Betawi, Suku Sunda yang berbahasa Sunda, dan Suku Cirebon yang dengan keberagaman dialeknya secara garis besar berbahasa Cirebonan.

“Kalau tidak ada kesepakatan hidup, ini tidak akan maslahat,” ucap Ridwan.

Sosiolog dari Universitas Padjajaran Budi Rajab menuturkan bahwa wacana tersebut merupakan hal yang biasa disampaikan oleh para tokoh elite Sunda.

“[Alasannya] ingin mengembalikan katanya identitas itu, identitas Sundanya karena lebih tua, secara keetnisan tua, secara wilayah juga sebutannya udah tua. Ya itu aja,” tutur dia, kepada CNNIndonesia.com, Kamis (15/10).

Budi menilai wacana pergantian nama itu karena para elite tersebut merasa kurang terwakili di sistem birokrasi negara ini.

“Karena kayaknya tokoh-tokoh Sunda ini kurang terwakili di dalam birokrasi negara Indonesia, itu kayaknya yang menghendaki pergantian,” ujarnya.

Dari sisi etnis, Budi menuturkan Jawa Barat saat ini telah plural dan terdiri dari berbagai macam etnis. Meski memang, etnis Sunda memang masih menjadi mayoritas di wilayah tersebut.

Senada, pemerhati sosial, Yusar, menuturkan wacana pergantian nama itu muncul lantaran elite politik Sunda ingin menunjukan identitasnya.

“Tapi menurut saya sih itu sudah tidak relevan, apa sih arti sebuah nama?” cetusnya.

Pasalnya, kata dia, sebuah wilayah atau provinsi bukanlah milik dari satu etnis tertentu. Meskipun, etnis Sunda memang mayoritas di Jawa Barat.

Yusar sendiri menilai tak perlu ada kekhawatiran soal bakal hilangnya nama Sunda. Selama ini, lanjutnya, pelestarian budaya Sunda tetap dilakukan.

Contohnya, pemakaian pakaian adat Pangsi Sunda, hingga kebijakan penggunaan baju adat dan Bahasa Sunda oleh para PNS di Bandung tiap hari Rabu lewat [program pemerintah daerah Rebo Nyunda.

“Jadi jangan khawatir akan tergerus, memelihara budaya akan selalu ada. Ini [wacana ganti nama] malah menurut saya berpikirnya malah stepback,” kata Yusar.

Infografis 11 Bahasa Daerah Punah, 25 Terancam

Sementara itu, Budayawan sekaligus dosen Budi Setiawan Garda Pandawa atau yang lebih dikarib disapa Budi Dalton melihat masih butuh catatan lebih mendalam jika nama Jawa Barat ingin diganti Sunda atau Tatar Sunda.

“Saya tidak menyatakan setuju atau tidak setuju tetapi harus dilihat perspektifnya dulu. Bahwa pembagian pulau Jawa dibagi ke Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, oleh Belanda karena kepentingan perkebunan (afdeling). Kemudian, saya disebut warga Jawa Barat karena tinggal di Pulau Jawa paling barat. Pada saat Pulau Jawa paling baratnya memisahkan diri dengan nama Banten menurut saya yang paling layak mendapatkan nama Jawa Barat adalah mereka,” ujar Budi Dalton saat CNNIndonesia.com bertamu ke rumahnya di kawasan Buahbatu, Kota Bandung, Kamis (16/10).

Menurutnya agenda pergantian nama provinsi harus memiliki tujuan yang jelas. Misalnya lewat paparan akademisi berkaitan dengan kondisi geografis, sejarah, sosial dan ekonomi.

“Artinya, menurut saya, semua pendapat ditampung dulu. Sehingga pada saat kita menyatakan nama provinsinya juga persepsinya sudah sama. Apakah jadi Provinsi Pasundan, Provinsi Tatar Sunda, atau Provinsi Parahyangan,” kata pria 47 tahun itu.

Budi Dalton sendiri menilai penggantian nama jadi Provinsi Sunda atau Tatar Sunda hanya akan memperkecil sejarah di tataran Sunda jika mengacu pada Sundaland. Sundaland, kata dia, dalam sejarah merupakan wilayah biogeografis di Asia Tenggara dengan daratan yang lebih luas yang pernah ada selama 2,6 juta tahun. Wilayah itu mencakup Semenanjung Malaya di daratan Asia, serta pulau-pulau besar seperti Kalimantan, Jawa, dan Sumatra.

Pengajar/dosen, budayawan, penggemar motor tua, salah satu tokoh Brotherhood Bandung, Budi Setiawan Garda Pandawa alias Budi Dalton. (CNNIndonesia/Huyogo)Budayawan yang juga menjadi dosen di Kota Bandung, Budi Setiawan Garda Pandawa alias Budi Dalton. (CNNIndonesia/Huyogo)

Tak hanya itu, Budi Dalton mengkhawatirkan wacana pergantian nama tersebut juga ditentang sebagian warga di wilayah pantai utara (pantura) meliputi Cirebon dan Indramayu. Bahkan memungkinkan Cirebon akan segera memisahkan diri dari Jawa Barat jika nama Provinsi Jawa Barat diganti.

“Karena kalau Sunda sudah jadi nama etnik, siapa tahu ada resistensi apalagi dianalogikan bahwa yang disebut Sunda itu Jawa Barat. Kejadiannya nanti Depok tidak mau, Cirebon tidak mau, karena sudut pandang mereka dari kultur,” ucap Budi Dalton.

Oleh karena itu, menurutnya usul pergantian nama Provinsi Jawa Barat dengan nama beridentitas Sunda itu perlu dikaji lebih dalam dan hati-hati. Ia menyarankan agar sejumlah pihak lebih menguatkan sosialisasi wacana perubahan nama provinsi dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan.

“Dengan begitu diperlukan pemikir-pemikir. Artinya masih butuh waktu didiskusikan yang lebih panjang agar semua mendukung secara logis bahwa kita memang sudah waktunya berganti nama,” ujarnya.

Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat luas menjadi salah satu kekurangan dalam mewujudkan wacana perubahan nama provinsi. Meski ia mengakui para tokoh di kepanitiaan Kongres Sunda sudah menunjukkan iktikad baik dengan mengundang orang-orang dari berbagai daerah di Jawa Barat.

Budi sendiri mengaku sudah mengetahui ihwal digagasnya Kongres Sunda oleh sejumlah tokoh. Ia bahkan turut diundang bergabung ke dalam grup percakapan elektronik Whatsapp bernama Pakar Kongres Sunda.

“Saya ada juga di dalamnya. Dulu, disebutkan bakal ada Kongres Bangsa Sunda pada 13 Desember 2019 di Gedung Merdeka. Tapi sempat terhenti karena ada isu kemunculan Sunda Empire (yang melemahkan semangat pergerakan), jadi semangatnya turun. Setelah itu mungkin diperluas Andri sampai akhirnya jadi banyak tokoh-tokoh,” ucapnya.

Budi mengungkapkan, dalam kongres itu ia berharap ada satu buah pemikiran yang bisa melegitimasi Kongres Sunda yang diakui secara luas, bahkan dunia.

Selepas rencana Kongres Sunda pada 13 Desember yang urung digelar itu, muncul kembali gagasan menggelar kongres. Namun belum diketahui kapan hajatan tersebut akan dilaksanakan.

Budi mengatakan, momen kongres di tengah pandemi Covid-19 ini akan terasa lebih sulit. Karena di masa sulit seperti saat ini, gagasan mengubah nama provinsi Jawa Barat jadi Sunda atau Tatar Sunda akan lebih memantik tanggapan negatif ketimbang respons positif.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY