Pakar: Pembangkangan Sipil Langkah Inkonstitusional

0
Pengunjuk rasa terlibat bentrok dengan aparat saat aksi di Jalan Daan Mogot, Kota Tangerang, Banten, Kamis (8/10/2020).Aksi tersebut sebagai bentuk perlawanan atas penahanan massa yang akan menuju gedung DPR untuk menggelar aksi penolakan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja. ANTARA FOTO/Fauzan/nz

Pelita.online – Pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf tidak sepakat dengan istilah pembangkangan sipil yang diembuskan sejumlah pihak. Sebab hal tersebut merupakan langkah inkonstitusional dalam sebuah negara demokrasi.

“Pembangkangan sipil itu artinya ada kewajiban (warga negara) yang tidak ditaati dan tidak dijalankan,” kata Asep, Minggu (25/10/2020).

Menurut Asep, ruang konstitusional bagi publik untuk menyampaikan keberatannya terhadap produk undang-undang hanya melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mekanisme unjuk rasa juga bisa ditempuh sebagai bentuk demokrasi partisipatoris publik.

“Ke MK sebagai saluran formal konstitusional dan demonstrasi sebagai jalur untuk menekan secara politik kepada pemerintah untuk mendengarkan aspirasi dan membuka jalur dialog dengan para pengunjuk rasa,” ujar Asep.

Asep menyatakan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja memang menuai pro dan kontra di publik. Namun, Asep menegaskan UU Cipta Kerja memiliki nilai positif seperti hambatan birokrasi dalam perizinan dunia usaha yang dihilangkan.

Selain itu, investor yang akan menginvestasikan modalnya di Indonesia dipermudah. Dengan demikian, lapangan kerja akan tercipta lantaran investor bisa membangun usaha dengan maksimal.

“Tetapi hal-hal positif tersebut tidak mengemuka karena minimnya ruang dialog pemerintah dengan publik. Dialog tidak melulu untuk mengejar titik temu, tetapi paling tidak dialog itu bisa meminimalkan kesalahpahaman antarpihak,” imbuh Asep.

Hal senada disampaikan pengamat hukum tata negara dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Wiwin Suwandi. Menurut Wiwin, pembangkangan sipil tidak tepat dilakukan dalam sebuah negara demokrasi dan menjunjung supremasi hukum.

Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan pengujian formal jauh lebih penting daripada uji materiil. Performa MK akan dibuktikan melalui itu, sebagai pengawal demokrasi dan negara hukum dalam proses pembentukan perundang-undangan.

Jimly berharap, perjuangan penolakan beralih semua ke MK. “Alihkan mekanisme proses perjuangan secara melembaga di MK. Sudah cukup ekspresi kekecewaan. Kita hargai dan itu sesuatu yang baik. Tapi cukup, tidak usah berjilid-jilid lagi,” tegas Jimly.

Sumber:BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY