Pakar Sarankan POP Ditunda Hingga Ada Konsep yang Kokoh

0

Pelita.online – Guru Besar Statistika Institut Pertanian Bogor (IPB) Asep Saefudin menyarankan agar Program Organisasi Penggerak (POP) yang diluncurkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) ditunda sampai ada konsep lain yang lebih kokoh.

Menurut Asep, Program Organisasi Penggerak(POP) diluncurkan sekitar awal Maret 2020 itu secara gagasan bagus. Setidaknya ada keinginan Kemdikbud melibatkan masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.

Sayangnya, POP ini secara konsep belum kokoh. Untuk itu, Asep menyarankan sebaiknya ditunda hingga ada konsep yang kokoh dari Kemdikbud. “Gagasan berbasis gotong royong ini tentu perlu diacungi jempol. Tetapi mengapa Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Lembaga Pendidikan Maarif NU, dan Persatuan Guru Republik Indonesia mundur? Tentunya ini bukan persoalan sederhana, “ kata Asep dalam siaran pers diterima Beritasatu.com, Senin(27/7).

Asep menuturkan, ketiga organisasi kemasyarakatan (ormas) yang mundur ini sudah malang melintang di dunia pendidikan sebelum kemerdekaan. Artinya sumbangsih ketiga organisasi besar itu terhadap dunia pendidikan Indonesia itu luar biasa.

Untuk itu, Dewan Penasihat Forum Rektor Indonesia (FRI) ini juga menilai, Kemdikbud perlu lakukan kajian yang mendalam terhadap problematika pendidikan nasional. Pasalnya, secara ide, organisasi penggerak dengan konsep gotong royong bisa menjadi salah satu solusi. Akan tetapi, hal tersebut harus jelas terlebih dahulu secara holistik 2W1H-nya, yakni Why, What, dan How.

Tanpa kajian yang mendalam, kata Asep, tentu akan lahir kebijakan yang tidak matang, yakni akan lahir konsep yang tanggung. Akibatnya memunculkan ketidakpuasan.

“Dibungkus dengan dalih profesional apapun sama sekali tidak akan menutup kelemahan konsep. Profesionalitas itu sifatnya di lapisan luar. Yang lebih penting adalah kedalaman dan kekuatan konsep. Tanpa itu, perbaikan hanya terjadi di lapisan kulit,”ujar Asep.

Asep menjelaskan, di tataran Why, Kemdikbud harus mampu mengkaji sampai ke akar-akarnya. Boleh saja Programme for International Student Assessment  (PISA) atau Program Penilaian Pelajar Internasional dijadikan sebagai indikator tetapi jangan terlalu parsial dan terpotong-potong atau fragmented. Dengan kedalaman, ketajaman, dan keluasan analisis tentunya berdampak pada W (what) dan H (how).

“Kalaulah dari Why itu lahir POP, harus jelas juga bentuk what dan how-nya. Apakah pernah dikaji kelembagaan dan metodenya? Bila persoalan untuk sekadar perbaikan PISA, bisa saja tidak dalam bentuk POP seperti yang digagas Kemdikbud. Bisa terjadi konsep POP tidak menuju perbaikan PISA atau kinerja pendidikan lainnya. Ini semua harus jelas. Jangan-jangan kita menggaruk kaki padahal tangan yang gatal,” ucap Asep.

Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) ini menambahkan, seandainya POP adalah what yang benar, apakah how-nya tepat? Termasuk how dari proses seleksi. Namun yang terjadi, organisasi besar seperti PGRI, Muhammadiyah, dan NU dianggap sama dengan organisasi yang baru lahir.

“Tentu ini tidak baik. Konsep independensi dan blind reviewer belum tentu sebuah how yang benar untuk masalah ini. Harus dibedakan dengan proses penilaian paper untuk jurnal yang menggunakan pola independensi dan blind reviewer. Semua itu ada how yang berbeda-beda. Termasuk juga perbedaan negara. Belum tentu how yang bagus di sebuah negara itu otomatis bagus di Indonesia,” terang Asep.

Asep melanjutkan, bila semuanya serba tidak jelas, wajar bila tiga organisasi pendidikan itu mundur. Dalam hal ini bukan berarti mereka tidak peduli terhadap pendidikan, tetapi mereka mau melangkah secara baik dan benar, sejak tahap awal.

“Saya rasa, Kemdikbud harus belajar dari kejadian POP itu. Pendidikan juga bukan sekadar mengejar ketertinggalan teknologi disrupsi dan inovasi. Terapi jauh lebih mendasar dari hak itu,” ujarnya.

Asep menegaskan, masalah dalam dunia pendidikan jangan dilihat terlalu sempit di level permukaan. Pendidikan intinya berkaitan kemanusiaan. Bukan sekadar inovasi, IQ, dan teknologi. Pembenahannya harus dilakukan secara holistik. Sehingga sumber daya manusia (SDM) mempunyai daya imajinasi yang tinggi yang berefek pada tumbuhnya inovasi.

“Juga kolaborasi yang diperlukan agar inovasi itu bermanfaat untuk masyarakat. Belum lagi unsur religi dan spiritualitas. Dan banyak lagi unsur-unsur mendasar lainnya yang perlu dikaji secara mendalam dan holistik. Bukan sekedar perbaikan permukaan,” pungkasnya.

 

Sumber : beritasatu.com

LEAVE A REPLY