Pandemi Memburuk, WHO: Banyak Negara Bergerak ke Arah yang Salah

0

Pelita.online – Direktur Badan Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan banyak negara kini bergerak menuju ke arah yang salah. Dia mengungkapkan, pandemi corona kini di seluruh dunia justru memburuk karena gagal memberlakukan prosedur kesehatan yang ketat.

“Terlalu banyak negara bergerak menuju arah yang salah. Virus tetap menjadi musuh nomor satu publik,” kata Ghebreyesus dilansir Reuters.

“Jika dasarnya saja tidak dipenuhi, maka pandemi pun akan berjalan terus dan semakin memburuk dan memburuk dan memburuk,” katanya.

Dia pun mengatakan jumlah kasus meningkat di tempat yang tidak mengikuti langkah-langkah yang sudah terbukti ampuh. Benua Amerika saat ini menjadi pusat pandemi. AS mencatat peningkatan jumlah kasus di tengah ketegangan antara para pakar kesehatan dan Presiden Donald Trump. Sebagai negara yang terkena dampak terburuk, AS memiliki lebih dari 3,3 juta kasus Covid-19 yang dikonfirmasi dan lebih dari 135.000 kasus kematian.

Dalam rapat pengarahan di Jenewa pada Senin (13/7/2020), Tedros mengatakan “pesan campur aduk dari para pemimpin” merongrong kepercayaan publik dalam mengendalikan pandemi. “Virus masih menjadi musuh masyarakat nomor satu, namun tindakan banyak pemerintah dan orang tidak mencerminkan hal ini,” tuturnya.

Tedros mengatakan, langkah-langkah seperti menjaga jarak, mencuci tangan, dan mengenakan masker dalam situasi yang tepat perlu ditanggapi dengan serius. Ia memperingatkan bahwa tidak akan ada lagi “kembali ke normal lama di masa mendatang”.

Sementara itu, Mike Ryan, direktur kedaruratan WHO, mengatakan pelonggaran beberapa langkah pembatasan di Amerika dan pembukaan sejumlah daerah telah menyebabkan “penularan yang intens”. WHO mengatakan jumlah kasus Covid-19 meningkat di tempat langkah-langkah yang sudah terbukti ampuh tidak diadopsi atau diikuti, misalnya Brasil, yang presidennya Jair Bolsonaro menentang langkah-langkah pembatasan untuk menekan penyebaran virus.

Amerika Latin sudah mengonfirmasi lebih dari 145.000 kasus kematian terkait virus korona, meskipun jumlah sebenarnya diyakini lebih tinggi karena jumlah pengujian tidak memadai. Setengah dari kematian itu terjadi di Brasil, yang presidennya, Jair Bolsonaro, menentang langkah-langkah tegas untuk menekan penyebaran virus.

Ryan mengatakan, penutupan wilayah secara luas akan mengakibatkan konsekuensi ekonomi yang besar, tapi karantina lokal di tempat-tempat tertentu mungkin diperlukan untuk memitigasi penyebaran virus. Dia mendesak pemerintah menerapkan strategi yang jelas dan “kuat”.

“Warga harus memahaminya dan harus mudah bagi mereka untuk mematuhinya,” kata Ryan. “Kita perlu belajar untuk hidup dengan virus ini,” katanya, memperingatkan bahwa harapan virus bisa diberantas atau bahwa vaksin yang efektif bisa siap dalam beberapa bulan ke depan ialah “tidak realistis”.

Dia mengatakan, belum diketahui apakah pemulihan dari virus korona akan menyebabkan kekebalan atau jika memang demikian, berapa lama kekebalan itu akan bertahan. Sebuah studi terpisah yang dirilis pada Senin lalu oleh para ilmuwan di King’s College, London, menunjukkan bahwa kekebalan terhadap virus corona mungkin berumur pendek. Para ilmuwan di kampus mempelajari 96 orang untuk memahami cara tubuh melawan virus corona secara alami dengan membuat antibodi dan berapa lama ia bertahan selama berminggu-minggu serta berbulan-bulan setelah pemulihan.

Meskipun hampir semua dari pasien yang berpartisipasi memiliki antibodi mampu menetralkan dan menghentikan virus corona, tapi kadarnya mulai berkurang selama tiga bulan penelitian. Pada rapat pengarahan WHO, para ahli kesehatan juga mengatakan, ada bukti yang menunjukkan bahwa anak-anak di bawah usia 10 tahun hanya dipengaruhi secara sangat ringan oleh Covid-19, sedangkan mereka yang berusia di atas 10 tahun tampaknya menderita gejala ringan serupa dengan orang dewasa muda.

 

Sumber : Sindonews.com

LEAVE A REPLY