Pemberhentian 51 Pegawai KPK Dinilai Bentuk Pembangkangan ke Presiden

0
Gedung Merah Putih KPK (Foto: Andhika Prasetya/detikcom)

Pelita.Online – 51 pegawai KPK diberhentikan usai tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) FH UGM, Zaenur Rohman, menilai hal tersebut sebagai tindakan pembangkangan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Keputusan untuk tetap berencana memecat 51 pegawai KPK dan membuat pembinaan untuk 25 (red-24) lainnya itu adalah bentuk pembangkangan terhadap Presiden Jokowi,” kata Zaenur kepada detikcom, Selasa (25/5/2021).

Zaenur menyebut pidato Jokowi sangat jelas bahwa Jokowi meminta agar tes wawasan kebangsaan untuk tidak dijadikan dasar memberhentikan pegawai KPK. Terlebih, bagi 24 pegawai KPK yang dinyatakan akan dibina kembali, masih ada kemungkinan untuk tidak lolos pendidikan.

“Artinya secara total pidato Presiden Joko Widodo dibangkang sendiri oleh para pembantunya dan juga pemangku kepentingan lain dalam hal ini KPK. Menurut saya ini adalah salah satu bentuk pembangkangan yang serius dari Kemenkumham BKN dan KemenPAN-RB,” tutur Zaenur.

Zaenur menduga upaya untuk ‘menyingkirkan’ 75 pegawai KPK merupakan tekad yang bulat dari KPK sendiri. Sehingga pembangkangan dilakukan secara frontal.

“Akibat pembangkangan ini maka Presiden Jokowi semakin dikukuhkan oleh publik untuk dibaca sebaliknya. Apa yang dikatakan oleh Presiden maka publik harus siap-siap untuk menerima realitas sebaliknya. Jika Presiden Jokowi mengatakan A maka bukan A yang sebenarnya akan terjadi dan itu menurut saya artinya Presiden Jokowi sudah tidak dipatuhi oleh anak buahnya oleh para pembantunya dan itu merupakan suatu bentuk miskoordinasi,” ucap Zaenur.

“Jika presiden masih ingin memiliki kewibawaan di hadapan publik maka Presiden harus memanggil para bawahannya tersebut menertibkan mereka dan meminta mereka untuk melaksanakan apa yang sudah dititahkan pertama kali oleh Presiden,” tutur Zaenur.

Melanggar UU KPK dan Putusan MK

Pegiat anti korupsi sekaligus akademisi Hukum UGM, Oce Madril, mengatakan keputusan pimpinan KPK untuk memberhentikan 51 pegawai tak lolos TWK berpotensi melanggar UU KPK.

“Berpotensi melanggar UU KPK no 19/2019 yg memerintahkan agar dilakukan Peralihan status pegawai KPK menjadi ASN, bukan melakukan seleksi. Berdasarkan revisi UU KPK, yang perlu dilakukan adalah transformasi organisasi KPK menjadi kumpulan jabatan-jabatan dalam ASN dan mengalihkan pegawai tetap dan tidak tetap KPK saat ini menjadi ASN,” tutur Oce.

Selain itu, Oce berpendapat pemberhentian 51 pegawai KPK juga bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Kemudian, keputusan pimpinan KPK itu melanggar putusan MK, bahwa prinsipnya peralihan status ASN tidak boleh merugikan hak pegawai dan keputusan pimpinan KPK itu tidak sesuai dengan amanat Presiden Jokowi perihal bagaimana menyikapi TWK,” lanjutnya.

BKN Tepis Abaikan Perintah Jokowi

Jokowi meminta alih status menjadi aparatur sipil negara tidak boleh merugikan pegawai KPK. BKN menegaskan keputusan mengenai nasib pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat menjadi ASN sudah sesuai dengan undang-undang.

Kepala BKN Bima Haria Wibisana menjelaskan, ‘tidak merugikan pegawai’ tidak berarti pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) bisa menjadi ASN.

‘Tidak merugikan pegawai’, lanjutnya, bisa bermakna bahwa para pegawai tersebut mendapatkan hak-haknya saat nanti diberhentikan.

Tidak merugikan pegawai tidak berarti dia harus menjadi ASN. Tidak merugikan pegawai bisa saja dia mendapat hak-haknya sebagai pegawai ketika diberhentikan dan itu juga tidak akan langsung diberhentikan karena sebagai pegawai KPK mereka punya kontrak kerja, punya masa kerja, dan KPK masih boleh memiliki pegawai non ASN hingga 1 November sesuai dengan undang-undangnya,” tutur Bima dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (25/5/2021).

Bima memastikan keputusan ini sudah sesuai dengan arahan Jokowi dan sejalan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi. Dia menegaskan, keputusan terkait nasib 75 pegawai KPK ini tidak merugikan pegawai.

“Nah kemudian ini juga sudah mengikuti arahan Bapak Presiden bahwa ini tidak merugikan ASN dan dalam keputusan MK tidak merugikan ASN yaitu sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Karena yang digunakan tidak hanya Undang-Undang KPK saja, tetapi ada Undang-Undang Nomor 5 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Pengalihan itu, itu masuk dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. Jadi ini ada dua undang-undang yang harus diikuti, tidak hanya bisa satu saja, dua-duanya harus dipenuhi persyaratannya untuk bisa menjadi aparatur sipil negara,” papar Bima.

 

Sumber : detik.com

 

 

LEAVE A REPLY