Persoalan Bahan Baku Kertas Daur Ulang Jadi Perhatian Wamendag

0

Pelita.online – Kertas menjadi salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor kertas menempati urutan ke-9 dari keseluruhan nilai ekspor Indonesia. Selain itu, Indonesia juga dikenal sebagai produsen kertas terbaik di dunia sehingga permintaan selalu naik di pasaran internasional.

Namun, pasar yang menjanjikan itu belum bisa dipenuhi karena berbagai kendala, khususnya di penghasil kertas kemasan yang berbahan baku kertas bekas. Untuk itu, Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Jerry Sambuaga, belum lama ini, berinisiatif menemui pengusaha dan asosiasi pulp dan kertas untuk mengurai persoalan yang ada. Dari kunjungan tersebut Wamendag mencatat ada dua masalah yang penting dan mendesak untuk diselesaikan.

Pertama, perlu kepastian regulasi terkait pasokan bahan baku industri kertas kemasan. Pasalnya, lebih 50% bahan baku kertas kemasan adalah kertas daur ulang. Oleh karenanya, perlu pasokan kertas daur ulang kertas yang berkelanjutan dan dipermudah.

Masalah yang dihadapi produsen, pasokan kertas bekas dari dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar separuh dari kebutuhan bahan baku, sisanya harus diimpor. Di sini ada perbedaan persepsi antara pengusaha dan pemerintah yang harus segera diselesaikan.

Di satu sisi, pemerintah menginginkan adanya homogenitas atau kemurnian barang yang diimpor, termasuk bahan baku kertas bekas. “Ini sesuai dengan regulasi yang ada dan untuk memudahkan proses dalam importasi barang,” ujarnya.

Pada kenyataannya, pengusaha menilai syarat itu membuat industri kertas daur ulang Indonesia menjadi tidak kompetitif. Ini karena kertas campuran (mix paper) yang harganya sangat ekonomis justru tidak diperbolehkan masuk. Padahal di negara-negara pesaing Indonesia, seperti Vietnam dan Thailand, mix paper justru diperbolehkan.

“Kita pelajari memang perbedaan harganya sangat mencolok. Harga mix paper hanya setengah dari harga bahan baku yang diperbolehkan untuk diimpor. Ini yang membuat harga kita makin tidak kompetitif di pasar internasional. Jika ini dibiarkan, kemungkinan pangsa pasar ekspor kertas Kemasan dari Indonesia kalah dengan Vietnam dan Thailand. Bisa jadi bahkan untuk pasar dalam negeri kita juga akan kalah dengan mereka,” katanya.

Untuk menyelesaikan itu, Wamendag Jerry Sambuaga mengatakan, perlu ada komunikasi intensif lintas kementerian dan lembaga, khususnya antara Kemperin, Kemdag, KemenLHK, Kemkeu, dan surveyor impor. Sebenarnya saat ini sudah ada Surat Keputusan Bersama 3 Menteri (SKB) mengenai hal ini. Tetapi SKB itu belum diturunkan dalam petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis sehingga belum ada standar yang menjadi pegangan oleh pelaksana di lapangan. Untuk itu, Wamendag memastikan untuk menjembatani kepentingan masing-masing pihak agar bisa diakomodasi.

Kedua, ketentuan Bukti Eksportir Terdaftar (BET) yang mulai berlaku 1 Oktober 2020. BET adalah aturan yang menyatakan bahwa eksportir bahan baku kertas harus terdaftar dan diverifikasi oleh perwakilan Indonesia di luar negeri, dalam hal ini Kedutaan Besar RI. Ketentuan ini, menurut Wamendag, diperlukan sebagai antisipasi masalah jika ternyata ada ketidaksesuaian dalam proses impor.

Tetapi, ketentuan ini juga berdampak pada kepastian mengenai pasokan bahan baku, khususnya, dalam jangka pendek. Untuk itu, Wamendag juga berjanji untuk mengkomunikasikannya dengan berbagai pihak.

“Kita memahami bahwa memang masih ada kendala di lapangan untuk implementasi ketentuan BET ini. Ini yang harus diselesaikan sehingga efek samping ketentuan ini dalam jangka pendek bisa kita minimalisasi. Intinya kita memahami kesulitan yang dialami para pengusaha, tetapi pada saat yang sama kita juga harus memahami maksud dari pemberlakuan ketentuan ini,” jelas Jerry.

 

Sumber : Sindonews.com

LEAVE A REPLY