Pilkada NTB Jadi Perhatian Khusus KPK

0
SP/Ruht Semiono RDP Komisi III DPR - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (kiri) bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri saling beri salam pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (31/8/2020). Rapat tersebut membahas laporan keuangan Pemerintah Pusat APBN TA 2019 dan tindak lanjut Hapsem BPK semester I dan II TA 2019.

Pelita.online – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan bakal mengawasi pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Salah satunya gelaran pilkada di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang merupakan salah satu dari 26 provinsi yang pernah terjadi tindak pidana korupsi berdasarkan data KPK dalam kurun waktu 2004-2020.

Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri menyebut di NTB sendiri terdapat 12 kasus korupsi, baik yang sudah maupun sedang diusut lembaga penegak hukum. Sebagian besar kasus melibatkan kepala daerah. Oleh karena itu, KPK pun prihatin dan memantau penuh gelaran Pilkada serentak, termasuk di NTB.

“Ini memprihatinkan bagi kita,” kata Firli Bahuri, Minggu (25/10/2020).

Selain NTB, Firli membeberkan 25 provinsi lain yang memiliki rekam jejak kasus korupsi. Dipaparkan, di Jawa Barat terdapat 101 kasus, Jawa Timur 93 kasus, kemudian 73 kasus di Sumatera Utara. Kemudian di Riau dan Kepulauan Riau sebanyak 64 kasus, DKI Jakarta 61, Jawa Tengah 49, Lampung 30, Sumatera Selatan 24, Banten 24, Papua 22 kasus, Kalimantan Timur 22, Bengkulu 22, Aceh 14, Nusa Tenggara Barat 12, Jambi 12 dan Sulawesi Utara. Selanjutnya, Kalimantan Barat 10 kasus, Sulawesi Tenggara 10, Maluku enam, Sulawesi Tengah lima, Sulawesi Selatan lima, Nusa Tenggara Timur lima, Kalimantan Tengah lima, Bali lima, dan Sumatera Barat sebanyak tiga kasus.

“Dari sebaran 34 provinsi, 26 daerah itu pernah terlibat korupsi,” kata Firli.

Firli berharap delapan provinsi lain yang belum ditemukan tindak pidana korupsi oleh KPK dapat mempertahankan prestasinya dengan terus berbenah diri untuk mencegah terjadinya korupsi. Pembenahan juga harus dilakukan di daerah-daerah yang pernah diusut KPK.

Firli menambahkan, sejak 2004 hingga 2020, kasus kepala daerah paling banyak adalah kasus suap, sebanyak 704 kasus.

“Jadi kasus korupsi yang terjadi 2004 sampai 2020 itu paling banyak karena kasus suap, itu 704 kasus. Di proyek 224 perkara, penyalahgunaan anggaran 48 kasus dan TPPU sebanyak 36. Ini kasus-kasus yang melibatkan kepala daerah,” kata Firli.

Dalam kesempatan ini, Firli juga mengingatkan potensi tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan Pilkada. Berdasar hasil Survei Benturan Kepentingan dalam Pendanaan Pilkada oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK pada tahun 2015, 2017, dan 2018, ditemukan potensi adanya benturan kepentingan berkaitan erat dengan profil penyumbang atau donatur. Hasil survei KPK menemukan, sebesar 82,3 persen dari seluruh calon kepala daerah dan wakil kepala daerah mengakui adanya donatur dalam pendanaan pilkada. Hadirnya donatur disebabkan adanya gap antara biaya pilkada dan kemampuan harta calon, di mana harta pasangan calon tidak mencukupi untuk membiayai pilkada. Berdasar survei KPK, total harta rata-rata pasangan calon adalah Rp18,03 miliar. Bahkan, ditemukan pula ada satu pasangan calon yang hartanya minus Rp15,17 juta. Padahal, berdasar wawancara mendalam dari survei KPK itu, diperoleh informasi bahwa untuk bisa mengikuti tahapan Pilkada, pasangan calon di tingkat Kabupaten/Kota harus memegang uang antara Rp 5-10 miliar, dan jika ingin menang idealnya musti mempunyai uang Rp 65 miliar.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menilai KPK memang perlu mengawasi jalannya Pilkada, seperti di NTB. Apalagi di Pilkada Sumbawa, NTB terdapat calon yang merupakan adik gubernur.

“Tentu bisa berpotensi adanya dinasti politik. Potensi penggunaan anggaran dan fasilitas gubernur untuk calon pilkada juga harus mendapat perhatian. KPK juga perlu memasang mata mengawasi di sana,” katanya.

Uchok meminta seluruh pihak untuk mengawasi penyelenggaraan Pilkada. Jangan sampai terdapat kecurangan atau permainan yang dapat menguntungkan salah satu paslon. “Itu sangat dilarang jika sampai terjadi,” katanya.

Sumber:BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY