Polri dan Kejagung Tak Dapat Tolak Keinginan KPK Ambil Alih Perkara Korupsi

0

Pelita.online – Kepolisian dan Kejaksaan Agung (Kejagung) tak lagi dapat menolak jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutuskan mengambil alih penanganan kasus korupsi yang dilakukan kedua institusi penegak hukum tersebut.

Hal ini setelah terbit Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 tentang Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perpres ini menjadi landasan KPK menjalankan tugas koordinasi dan supervisi (korsup) penanganan perkara korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung dan Kepolisian sebagaimana amanah UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Pasal 10 ayat (1) UU KPK menyebutkan, “Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”

Sementara Pasal 10 A ayat (2) mengatur syarat-syarat suatu perkara dapat diambil alih KPK, yakni laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; proses penanganan tindak pidana korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur tindak pidana korupsi; hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Sedangkan Pasal 9 Perpres Nomor 102/2020 menegaskan, “Berdasarkan hasil Supervisi terhadap perkara yang sedang ditangani oleh instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengambilalih perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh Kepolisian Negara Republik Indonesiadan/ atau Kejaksaan Republik Indonesia.”

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana Indriyanto Seno Adji menyatakan, berdasarkan Pasal 10A UU KPK dan Pasal 9 Perpres 102/2020, KPK dapat mengambil alih perkara korupsi setelah menelaah hasil penelitian dan rekomendasi dengan melakukan gelar perkara terhadap hasil pengawasan dan laporan hasil penelitian di instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan korupsi, yakni Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Setelah KPK memutuskan mengambil alih perkara, Kepolisian dan Kejaksaan tidak dapat menolak.

“Maka aparat penegak hukum lain tidak bisa menolak pengambilalihan perkaranya dan ini memang amanah dan perintah UU yang imperatif sifatnya,” kata Indriyanto Seno Adji kepada Beritasatu.com, Minggu (1/11/2020).

Indriyanto mengatakan, substansi Perpres Nomor 102/2020 merupakan implementasi praktik yang sudah terjadi dalam proses supervisi dan pengambilalihan perkara dari Polri maupun Kejaksaan yang sekarang dituangkan sebagai regulasi ketatanegaraan melalui Perpres ini.

Dikatakan oleh Indrayanto, rumusan-rumusan Perpres memang sama dan bersifat implementatif dari UU KPK termasuk makna dan pengertian pengawasan, penelitian dan penelaahan. Dengan demikian, Perpres ini menjadi dasar legitimasi KPK menjalankan tugas supervisi dan pengambilalihan kasus yang ditangani Kepolisian dan Kejaksaan di tahap penyidikan dan penuntutan.

“Memang Perpres ini memberikan dan memperkuat basis legitimatif KPK terhadap soal supervisi dan pengambilalihan kasus yang sudah diatur pd Pasal 10A UU KPK, walau implementasi Pasal 9 Perpres, dasar dan alasan pengambilalihan masih memerlukan koordinasi kelembagaan yang bisa dilakukan melalui MoU (Memorandum of Understanding) ketiga lembaga tersebut,” katanya.

Indriyanto menekankan pelaksanaan Perpres 102/2020 harus tetap mempertahankan dan menjaga spirit sinergisitas dalam melakukan kordinasi dan supervisi di antara KPK, Polri dan Kejaksaan.

Sebelumnya KPK menyambut baik terbitnya Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 tentang Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan terbitnya Perpres ini, KPK berharap Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman antara KPK, Kejaksaan Agung dan Kepolisian terkait mekanisme koordinasi dan supervisi dapat segera ditandatangani.

“Nanti dalam waktu singkat MoU pelaksanaan korsup ini akan segera ditandatangani sehingga bisa dioperasionalkan,” kata Deputi Penindakan KPK Karyoto di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (29/10/2020) malam.

Karyoto mengatakan, Perpres yang ditandangani Presiden Joko Widodo sangat membantu lembaga antirasuah untuk melakukan supervisi terhadap instansi yang juga berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan Perpres itu, dapat memberikan pemahaman kepada Kepolisian dan Kejaksaan Agung mengenai koridor dalam menangani kasus-kasus korupsi.

“Perpres supervisi amanah UU. Setelah UU 19 Tahun 2019 tentang KPK disahkan mewajibkan adanya Perpres yang mengatur pelaksanaannya, yang kemarin memang aparat penegak hukum lain masih menunggu perpres ini untuk sebagai landasan adanya MoU. Sehingga terus terang saja dengan adanya Perpres ini membantu bagaimana pemahaman rekan-rekan penegak hukum lain dalam hal penindakan tindak pidana korupsi sehingga tahu batasan-batasannya,” kata Karyoto.

Sementara Indonesia Corruption Watch (ICW) mengingatkan KPK fokus menjalankan tugas supervisi kasus mangkrak yang ditangani Kepolisian dan Kejaksaan Agung setelah terbitnya Peraturan Presiden Nomr 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, KPK tak perlu segan berinisiatif mengambil alih penanganan perkara korupsi di Kepolisian dan Kejagung jika memang tidak ada perkembangan yang signifikan terkait kasus-kasus yang mangkrak tersebut.

ICW pun mendorong KPK menggunakan Perpres tersebut untuk melakukan supervisi proses penanganan skandal terpidana perkara pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali, Djoko Tjandra yang ditangani Kejaksaan Agung dan Kepolisian.

Apalagi, KPK telah menerbitkan surat perintah supervisi terkait penanganan skandal yang menjerat sejumlah aparat penegak hukum, pengusaha dan politikus tersebut.

“Sebab, pada awal September lalu KPK telah resmi mengeluarkan surat perintah supervisi utk kasus itu,” kata Kurnia.

Supervisi penanganan skandal Djoko Tjandra dinilai penting lantaran terdapat sejumlah hal yang belum terungkap dalam penanganan kasus yang ditangani Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Beberapa di antaranya mengenai dugaan peran jaksa lain di kasus pengurusan fatwa bebas untuk Djoko Tjandra.

Selain itu, ICW menilai belum terungkap juga dugaan adanya peran pihak di internal Mahkamah Agung dan peran politikus lain, selain Andi Irfan Jaya.

Menurut Kurnia, sejumlah poin itu harus didalami oleh KPK dengan menanyakannya ke Kejaksaan dan Kepolisian. ICW meminta KPK mengambil alih penanganan skandal Joko Tjandrs jika jawaban yang didapatkan terkait sejumlah poin itu tidak memuaskan dan terkesan melindungi pihak tertentu.

“Jika jawaban yang didapat sekadar normatif atau ada upaya untuk melindungi pihak tertentu, maka selayaknya KPK dapat mengambil alih seluruh penanganan yang ada pada Kejaksaan Agung atau pun Kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Perpres Supervisi,” katanya.

Tak hanya mengenai penanganan skandal Djoko Tjandra, dengan terbitnya Perpres tersebut, ICW mengingatkan pimpinan Kejaksaan Agung dan kepolisian lebih kooperatif saat KPK melakukan supervisi terhadap penanganan suatu perkara. ICW berharap peristiwa Kejaksaan tidak berkoordinasi dengan KPK saat melimpahkan perkara Jaksa Pinangki ke tahap penuntutan tidak terulang kembali.

“ICW tidak berharap hal yang dilakukan Kejaksaan Agung saat menangani perkara Pinangki kembali berulang. Satu contohnya ketika Kejaksaan Agung diduga tidak melakukan koordinasi kepada KPK saat melimpahkan perkara ke Pengadilan. Praktik ini ke depannya tidakk boleh lagi terjadi,” tegasnya.

Sumber:BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY