Praktisi Hukum Ini Sesali Penahanan Ahok, Mengapa?

0
Terpidana kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok keluar dari mobil tahanan saat tiba di rumah tahanan LP Cipinang, Jakarta, Selasa (9/5)./ Sumber foto : Antara/ Sarminto

JAKARTA, Pelita.Online – praktisi hukum Alungsyah menganggap vonis terhadap Basuki Tjahaja Purnama merupakan bagian dari independensi majelis hakim yang menerima, memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang ditanganinya, sebagaimana pasal 24 UUD 1945. Menurut dia, yang jelas atas vonis tersebut adalah keadilan yang sesungguhnya pada tingkat pertama.

“Walaupun pada tingkat selanjutnya tidak menutup kemungkinan juga akan tetap atau malah sebaliknya, karena proses hukum terus berjalan,” ujar Alungsyah, Rabu (10/5).

Terkait penahanan langsung terdakwa Ahok di Lapas Cipinang, menurut Alung adalah sah dan tidak menyalahi hukum. Menurut dia, Ahok telah terbukti melakukan perbuatan pidana. Maka kepadanya dapat dilakukan penahanan oleh majelis hakim yang bersangkutan. Namun di balik itu, dia mengungkapkan cukup menyesali penahanan itu. Mengapa demikian?

Dalam pandangan hukum, dia mengatakan, penahanan terhadap Gubernur DKI itu merupakan perintah langsung dari KUHAP, karena pada prinsipnya dalam pasal 193 ayat 2 huruf a KUHAP sudah jelas diatur pengadilan dalam menjatuhkan putusan. Jika terdakwa tidak ditahan, lanjut dia dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, walaupun ketentuan ini “menyambut” pasal 21 KUHAP, akan tetapi semuanya tetap saja dikembalikan kepada majelis hakim yang memutus.

“Jadi sederhanaya Ahok ditahan karena hukum yang menentukan,” jelas dia.

Pasal 21 KUHAP, menurut dia bernuansa subjektif dalam penerapannya. Namun ketentuan pasal tersebut juga merupakan wilayah kekuasaan bagi majelis hakim untuk melakukan perintah penahanan terhadap terdakwa.

“Menurut saya, mestinya harus ada penetapan terlebih dahulu untuk melakukan penahanan terhadap terdakwa sebelum adanya putusan,” saran dia.

Alung berandai, jika majelis hakim tidak melakukan perintah penahanan terhadap terdakwa, maka putusan hakim tersebut disinyalir akan batal demi hukum sebagaimana ketentuan pasal 197 KUHAP. Menurut dia, ini yang sesungguhnya menjadi dilema berat bagi majelis hakim, tetapi lagi-lagi apapun hasil dari putusan tersebut tetap dianggap benar selama tidak dibatalkan oleh putusan pengadilan yang lebih tinggi.

“Putusan ini adalah ultra petita, karena melebihi atau tidak sesuai dengan tuntutan JPU yang asal muasalnya berangkat dari dakwaan JPU itu sendiri,” ungkap dia.

Dia berpendapat, perbedaannya hanya terletak pada waktu dibacakannya saja antara dakwaan dan tuntutan. Walaupun ada juga yang mengatakan bahwa dalam hukum pidana tidak dikenal kata ultra petita. Setidaknya kata itulah yang tepat untuk menggambarkan kata melebihi dan tidak sesuai tersebut.

Karena kalau di cermati, dia mengatakan, secara filosofis surat tuntutan JPU itu memiliki kesesuaian dengan surat dakwaan. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 182 ayat 4 KUHAP jelas menyatakan bawah musyawarah tersebut harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Namun dia menambahkan, walaupun juga ada yang mengatakan putusan ini tidak ultra petita karena putusannya tetap berada dalam pasal yang didakwakan oleh JPU.

“Tetapi mestinya yang menjadi acuan ialah lebih kepada pasal yang dituntut sebagaimana tuntutan JPU yaitu pasal 156, tapi bukan dengan pasal 156a, karena tuntutan JPU itu lagi-lagi merupakan “pengerucutan” dari dakwaan itu sendiri,” jelas dia.

Meski demikian, dia tetap mengimbau agar masyarakat dapat hormati dan patuhi segala kuputusan hukum. Menurut dia, bagaimana pun putusan tersebut tetap dianggap benar selama tidak dibatalkan atau dicabut oleh pengadilan di atasnya.

“Sehingga dengan demikian upaya banding terhadap putusan tersebut sudah tepat dan sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku,” tambah dia.

Republika.co.id

LEAVE A REPLY