PSBB Kembali Mematikan Pelaku Usaha Ritel dan Mal

0

Pelita.online – Sempat bangkit sejak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi diberlakukan awal Juni 2020, usaha pelaku bisnis ritel modern dan mal kembali tergerus saat PSBB ketat diterapkan lagi mulai 14 September 2020. Pemprov DKI Jakarta bahkan telah memutuskan PSBB diperpanjang hingga 11 Oktober 2020. Kondisi ini dikhawatirkan membuat bisnis ritel modern dan mal akan habis tergerus.

“Perusahaan ritel modern dan mal siap menjalankan protokol kesehatan yang lebih ketat asalkan mal bisa kembali beroperasi normal,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey kepada Beritasatu.com, Kamis (24/9/2020).

Mal termasuk bisnis yang boleh dibuka kembali selama PSBB ketat setelah tiga bulan masa transisi. Tapi, dengan larangan pengunjung makan di restoran dan minum dan kafe yang ada di mal, pengunjung nyaris tidak ada. Sejak online shopping berkembang, mal menjadi meeting point, tempat warga bertemu, berekreasi, dan belanja.

Dengan melarang pengunjung makan di mal dan nongkrong di kafe, restoran dan kafe menjadi sepi. Kondisi ini memengaruhi pengunjung mal dan gerai-gerai yang ada di mal.

Kondisi ini pula, kata Roy, yang membuat ritel modern dan mal tidak beroperasi dengan baik dalam menyediakan kebutuhan pokok bagi masyarakat. Dampak lanjutnya adalah tersendatnya distribusi bahan pokok dan kebutuhan masyarakat sehari-hari.

Konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB), yakni mencapai 57.85% pada semester pertama 2020. Jika ritel modern dan mal tergerus, demikian Roy, PDB akan ikut tergerus pada semester kedua tahun ini.

Ritel modern merupakan akses pasar bagi lebih dari 7 juta UMKM dan supplier dalam menjual produknya. Jika PSBB ketat terus diberlakukan bagi mal, ekonomi Indonesia akan mengalami kontraksi lebih serius dalam waktu yang panjang.

Usaha ritel modern dan mal menyerap tenaga kerja dalam jumlah signifikan, mulai dari jaringan distribusi hingga gerai ritel modern dan mal yang berjumlah 3,5 juta pekerja. Jumlah ini akan mengalami eskalasi, mulai dari dirumahkan hingga penghentian kontrak kerja dan PHK bertahap.

Tergerusnya konsumsi di ritel modern, demikian Roy, akan meruntuhkan pula Indeks Manufaktur Indonesia (PMI), khususnya indeks manufaktur makanan dan minuman, yang pada Agustus 2020 telah mulai menggeliat ke level 50,8. Pada bulan Juni dan Juli 2020, MPI berada di level 39,1 dan 46,9.

Selain itu, Indeks Penjualan Riil (IPR), yang senantiasa di survei oleh BI, telah menunjukkan tren positif, yakni membaik dari minus 17.3% bulan Juni menjadi minus 12.1% bulan Juli, dan minus 10% pada Agustus. “Meski masih negatif, tapi menunjukkan perbaikan. Nah, dengan PSBB ketat, tren positif ini akan berbalik arah di bulan September dan bulan-bulan berikut,” kata Roy.

Menurut Roy, IPR memiliki relevansi yang kuat dengan Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK). Di awal kuartal ketiga, IKK sudah membaik di kisaran 84 menuju level normal, 100. Tapi, dengan PSBB ketat, capaian ini akan kembali pupus.

Pengetatan Protokol
Untuk dapat mempertahankan konsumsi di masa pandemi, Aprindo menyampaikan sejumlah saran. Pertama, bantuan langsung tunai (BLT) lebih baik dari pada bantuan sembako, khususnya bagi masyarakat marginal atau masyarakat ekonomi lemah.

“Bantuan ini hendaknya dipertahankan, bahkan ditingkatkan seiring dengan angka positif baru Covid-19 yang terus meningkat. Saat ini, mereka sangat menderita karena kehilangan daya beli,” ungkap Roy.

Kedua, kredit korporasi non-UMKM yang telah diluncurkan pemerintah pada 27 Juli 2020, kata Roy, masih “jauh panggang dari api” bagi peritel modern. Bank penyalur masih terus menyatakan belum ada juklak dan juknis, sebuah alasan klasik.

Kredit korporasi, lanjut Roy, bisa berdampak positif dan bermanfaat untuk “menyambung nyawa” peritel jika disalurkan pada waktunya. Pemerintah dan OJK semestinya menjaga agar usaha ritel dan mal tetap beroperasi dan tidak melakukan PHK dengan memberikan payung hukum yang jelas kepada bank penyalur untuk melakukan restrukturisasi.

Pelaku bisnis ritel dan mal mengharapkan realisasi restrukturisasi secepatnya. Suku bunga yang saat ini masih tinggi, 12%-14% setahun, bisa dipangkas.

Roy menegaskan, peritel modern dan pengelola mal mendukung penuh upaya pemerintah memotong mata rantai penyebaran Covid-19. Apalagi, berdasarkan data, mal bukan klaster penyebaran pandemi Covid-19.

Guna menghentikan penyebaran Covid-19, Aprindo setuju protokol kesehatan di mal diperketat asalkan mal tetap dibuka dan pengunjung boleh makan di restoran dan minum di kafe. “Peritel modern dan mal mengharapkan, pelaksanaan protokol kesehatan harus diikuti dengan tindakan tegas agar disiplin bukan sekadar imbauan, tapi berdasar hukum dan peraturan yang ditetapkan Pemda setempat,” ujar Roy.

Pemetaan wilayah perlu dilakukan lebih teliti dan kebijakan diambil berdasarkan hasil pemetaan yang objektif. Penyebaran Covid-19 tidak sama di setiap wilayah dan sektor. “PSBB ketat tidak boleh diberlakukan sama rata. Wilayah dan sektor yang sudah menerapkan protokol kesehatan dengan baik tak perlu diberlakukan PSBB ketat,” ujar Roy.

Sumber:BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY