Pukat UGM Sebut Istri Edhy Prabowo Bisa Dijerat Pasal Suap

0
Anggota DPR Fraksi Partai Gerindra Iis Rosita Dewi berjalan meninggalkan gedung KPK usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Selasa (22/12/2020). Iis Rosita Dewi dimintai keterangan sebagai saksi untuk kasus dugaan suap penetapan dan perizinan calon Eksportir benih Lobster (benur), pengelolaan perikanan atau komoditas perairan lainnya tahun 2020 yang menjerat suaminya, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. ANTARA FOTO/ Reno Esnir/wsj. *** Local Caption ***

pelita.online-Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindaklanjuti dan mendalami dugaan keterlibatan Iis Rosita Dewi, istri dari mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo terkait kasus dugaan suap perizinan ekspor benih Lobster yang menjerat sang suami. Hal ini mengingat status Iis sebagai penyelenggara negara, yakni anggota Komisi V DPR dari Fraksi Gerindra.

“Dugaan keterlibatan istri EP (Edhy Prabowo) ini harus ditindaklanjuti KPK secara mendalam, kenapa? karena status istri EP ini adalah seorang pejabat negara dalam hal ini adalah seorang anggota DPR,” kata Zaenur saat dihubungi awak media, Jumat (29/1/2021).

Sebelumnya, KPK mengungkapkan menemukan adanya dugaan aliran uang suap izin ekspor benur yang diterima Iis. Uang tersebut diterima Iis dari Edhy dan sekretaris pribadinya Amiril Mukminin melalui staf ahli Iis bernama Alayk Mubarrok. Zenur menyatakan, KPK perlu mendalami kapasitas Iis menerima uang tersebut.

“Nah jika ada dugaan Istri EP (Edhy Prabowo) ini menerima aliran, maka yang perlu didalami KPK adalah, pertama, apakah penerimaan tersebut terkait atau tidak terkait dengan jabatannya sebagai anggota DPR,” ujarnya.

Kalaupun penerimaan uang itu tidak terkait jabatan Iis sebagai anggota DPR, KPK harus didalami adanya dugaan perdagangan pengaruh. KPK sendiri pernah menangani sejumlah perkara yang berkaitan dengan perdagangan pengaruh seperti kasus mantan Presiden Luthfi Hasan Ishaaq dan mantan Ketua DPD Irman Gusman. Kedua nama itu menjual pengaruhnya sebagai pejabat negara untuk membantu suatu urusan yang bukan kewenangannya.

“Nah, itu harus didalami KPK karena berdasarkan kasus yang pernah ditangani KPK, kasus Irman Gusman dan Luthfi Hasan, yang sebenarnya dalam konteks konvesi PBB adalah trading influence bisa dijerat soal suap atau gratifikasi. Nah tetapi ini kembali apakah benar soal adanya aliran tersebut, atau alirannya benar-benar hanya penerimaan atas nama EP, jadi sifatnya dia (Iis) hanya menerima,” kata Zaenur.

Lebih jauh Zaenur mengatakan, KPK juga tetap harus mendalami jika Iis menerima uang tersebut dalam kapasitasnya sebagai istri Edhy. Dikatakan, KPK harus mendalami adanya kemungkinan menjerat Iis menggunakan pasal suap atau gratifaksi ataupun TPPU.

“Yang jadi jadi concern di sini, istri EP ini adalah pejabat negara, di mana di situ unsur yang bisa diarahkan ke bersangkutan karena pejabat negara dilarang menerima pemberian atas dasar apapun. Tapi kalau itu pemberian dari suaminya secara langsung, nah itu mungkin TPPU, tetapi kalau pemberian dari orang lain menurut saya bisa dilihat peluang dijerat suap atau gratifikasi,” kata Zaenur

Untuk itu, Zaenur meminta agar KPK mendalami aliran uang kepada Iis ini secara teliti. Dengan demikian, KPK dapat menerapkan pasal yang sesuai jika ditemukan adanya bukti aliran dana kepada Iis terkait kasus suap izin ekspor benur.

“Jadi harus dilihat konsepsi hukumnya secara mendalam. Apakah pemberian suami maka dikejar TPPU, kalau pemberian orang lain meskipun tanda kutip jatah suaminya tapi diterima yang bersangkutan sedangkan yang bersangkutan merupakan anggota DPR, maka harus gunakan peluang gunakan pasal suap dan gratifikasi,” katanya.

Iis sebelumnya sempat diamankan saat tim Satgas KPK menggelar OTT pada 25 November 2020. Saat itu, Iis dan Edhy baru tiba di Bandara Soekarno-Hatta setelah kunjungan ke Amerika Serikat. Di Hawaii, Iis dan Edhy sempat berbelanja sejumlah barang mewah yang diduga menggunakan uang suap dari eksportir benur. Tak hanya itu, KPK juga telah meminta Ditjen Imigrasi untuk mencegah Iis dan tiga saksi lainnya bepergian ke luar negeri.

Belakangan peran Iis semakin terungkap seiring dengan proses penyidikan yang dilakukan KPK. Iis diduga turut kecipratan aliran dana suap yang diterima sang suami dari eksportir benur. Aliran uang itu diterima Iis melalui staf ahlinya, Alayk Mubarrok. Dugaan itu didalami penyidik saat memeriksa Alayk pada Rabu (27/1/2021) kemarin. Bahkan, salah seorang staf Iis bernama Ainul Faqih yang telah ditetapkan sebagai tersangka diduga turut menampung uang suap yang diterima Edhy dari para eksportir benur.

Diketahui, KPK menetapkan Edhy Prabowo selaku Menteri Kelautan dan Perikanan bersama dua stafsusnya Safri dan Andreau Pribadi Misata; pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK) bernama Siswadi; staf istri Menteri Kelautan dan Perikanan bernama Ainul Faqih; dan Amiril Mukminin sebagai tersangka penerima suap terkait izin ekspor benur. Sementara tersangka pemberi suap adalah Chairman PT Dua Putra Perkasa Pratama (PT DPPP), Suharjito.

Edhy Prabowo dan lima orang lainnya diduga menerima suap dari Suharjito dan sejumlah eksportir terkait izin ekspor benur yang jasa pengangkutannya hanya dapat menggunakan PT Aero Citra Kargo.

Kasus ini bermula pada 14 Mei 2020. Saat itu, Edhy Prabowo menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster, dengan menunjuk kedua stafsusnya, Andreau Pribadi Misata dan Safri sebagai Ketua dan Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence). Salah satu tugas dari Tim ini adalah memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang diajukan oleh calon eksportir benur.

Selanjutnya, pada awal bulan Oktober 2020, Suharjito datang ke lantai 16 kantor KKP dan bertemu dengan Safri. Dalam pertemuan tersebut, terungkap untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT ACK (Aero Citra Kargo) dengan biaya angkut Rp 1.800/ekor.

Atas kegiatan ekspor benih lobster yang dilakukannya, PT DPPP diduga melakukan transfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total sebesar Rp731.573.564. Berdasarkan data kepemilikan, pemegang PT ACK terdiri dari Amri dan Ahmad Bahtiar yang diduga merupakan nominee dari pihak Edhy Prabowo serta Yudi Surya Atmaja.

Atas uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster tersebut, selanjutnya ditarik dan masuk ke rekening Amri dan Ahmad Bahtiar masing-masing dengan total Rp 9,8 miliar.

Selanjutnya pada 5 November 2020, sebagian uang tersebut, yakni sebesar Rp 3,4 miliar ditransfer dari rekening Ahmad Bahtiar ke rekening salah satu bank atas nama Ainul Faqih selaku staf khusus istri menteri Edhy. Uang itu, diperuntukkan bagi keperluan Edhy Prabowo, istrinya IIs Rosita Dewi, Safri, dan Andreu Pribadi Misata. Uang itu digunakan untuk belanja barang mewah oleh Edhy Prabowo dan Iis Rosita Dewi di Honolulu AS pada 21 sampai dengan 23 November 2020 sejumlah sekitar Rp750 juta. Sejumlah barang mewah yang dibeli Edhy dan istrinya di Hawaii, di antaranya jam tangan rolex, tas Tumi dan LV, baju Old Navy.

Sumber: BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY