Reformasi Partai Politik Dinilai Masih Jadi Tantangan di Era Jokowi-Ma’ruf

0

Pelita.online – Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menilai, persoalan reformasi partai politik masih menjadi tantangan di era pemerintahan baru, yakni di Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Hal itu dipaparkan Khoirunnisa dalam diskusi “Proyeksi Masyarakat Sipil atas Situasi Indonesia 5 Tahun ke Depan”, di Upnormal Coffee Roasters, Jakarta, Selasa (15/10/2019).

“Di tengah rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik, partai politik menghadapi tantangan demonstrasi mahasiswa bersama elemen sipil lainnya di sejumlah daerah menentang produk legislasi. Bukan tak mungkin terjadi lagi di kemudian hari dalam jumlah yang lebih besar,” kata Khoirunnisa.

Selain itu, gerakan tagar #ReformasiDikorupsi yang muncul belakangan ini, menurut dia, salah satunya disebabkan karakter koruptif partai politik Indonesía.

“Dalam gelombang protes yang terus membesar, agenda perubahan dan perbaikan partai politik harus segera dirumuskan dan dilaksanakan,” kata dia.

Ada beberapa rekomendasi yang diungkap Khoirunnisa dalam reformasi partai politik.

Pertama, mengubah syarat pembentukan dan kepesertaan partai politik dalam pemilu secara proporsional.

Menurut dia, penyebab partai politik dan parlemen yang oligarkis di antaranya karena terlalu beratnya syarat pembentukan partai politik dan kepesertaannya di pemilu.

“Misalnya kepemilikan kantor dan kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten /kota, 50 persen kecamatan,” ucap Khoirunnisa.

“Hasilnya, makin jauh panggang dari api pengertian dan fungsi parpol sebagai kelembagaan demokrasi yang mewakili ideologi aspirasi rakyat untuk diagregasikan menjadi kebijakan untuk rakyat,” kata dia.

Syarat seperti itu harus diubah dengan syarat yang proporsional dengan pilihan daerah pembentukan dan kompetisi yang membebaskan secara berjenjang dengan cakupan luas.

” Parpol boleh dibentuk dan ikut pemilu tak harus menasional sehingga bisa memilih di tingkat kabupaten/kota saja dengan satu, beberapa, atau semua kabupaten/kota. Pun begitu dengan tingkat provinsi,” kata dia.

Kedua, kata dia, soal perluasan keberadaan dan kepesertaan partai lokal di Pemilu. Ia memaparkan, partai lokal saat ini ada di Provinsi Aceh. Keberadaan partai lokal ini dinilai patut diterapkan di wilayah lain.

Tingkat kesertaannya pun tak harus di provinsi tapi juga bisa di kabupaten/kota. Sistem jenjang ini dinilai bisa menyehatkan partai berbasis massa. Misalnya, partai buruh yang punya basis massa di beberapa kabupaten daerah industri, bisa dibentuk dan mengikuti Pemilu di tingkat kabupaten/kota atau provinsi.

“PR besar lainnya soal demokratisasi rekrutmen kandidat peserta Pemilu dan Pilkada di partai politik kita. Karena partai politik kita sulit mengetahui ya misalnya kenapa orang ini direkrut?” kata dia.

Sistem rekrutmen yang belum tertata dinilai menimbulkan politik transaksional dalam perekrutan.

Misalnya, mengesampingkan orang yang sudah berkarier lama di partai dan malah merekrut orang baru dengan modal dan popularitas kuat untuk ikut pilkada atau pemilu.

“Belum lagi soal mau ditempatkan di dapil mana, nomor urut berapa. Kadang-kadang kan kalau kita dengar cerita caleg, misalnya, mereka dimintai oleh oknum partainya, oh kalau mau dapat nomor strategis, dapat di Dapil bagus harus ada bayaran tertentu,” kata dia.

Dengan demikian, perlu perbaikan sistem rekrutmen partai politik yang mengedepankan penilaian berbasis kualitas, integritas, keterbukaan, hingga gagasan setiap kader.

“Selanjutnya soal transparansi keuangan parpol, kami mendorong partai politik untuk menjadi peserta Pemilu harus mampu membuktikan dong laporan keuangannya dengan baik, partai politik yang dapat kursi kan dapat bantuan keuangan negara,” ujar Khoirunnisa.

Ia juga menekankan pentingnya membangun koordinasi antara Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan pihak perbankan dalam audit dana partai politik.

“Tujuannya, mencegah terjadinya politik transaksional. PPATK dapat mengawasi rekening partai politik dan rekening khusus dana kampanye, dan apabila ditemukan transaksi ganjil, PPATK dapat melaporkan ke Bawaslu atau lembaga yang diberikan wewenang mengawasi keuangan partai untuk kemudian ditindaklanjuti,” ujarnya.

 

Sumber : kompas.com

LEAVE A REPLY