Samarium, Asa Baru untuk Penderita Kanker dari Teknologi Nuklir

0

Pelita.online – Semangat baru untuk sembuh semakin kuat di dalam diri Ari Setyowati pasien kanker payudara stadium 2B setelah mendapatkan terapi Samarium di RS Kariadi, Semarang. Asa barunya muncul, pascaempat kali mendapatkan terapi dari radiofarmaka hasil teknologi nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) ini.

“Awalnya saya merasa tidak lagi punya harapan, sudah berpikir ke arah sana. Karena saya sudah tidak berdaya mengangkat tubuh pun tidak bisa, semua tulang nyeri dan sakit,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (15/11/2020).

Ari bertutur sekitar 10 tahunan lalu ia merasa ada benjolan yang sama sekali tidak terasa sakit. Saat itu anaknya masih di bangku Taman Kanak-Kanak (TK). Namun setahun lalu, tepatnya 2019 ia merasakan ada perubahan, tangannya tidak bisa digerakkan meski benjolan tidak memunculkan rasa sakit. Akhirnya ia diketahui kanker dengan tindakan biopsi.

Berbekal kartu BPJS Kesehatan, pada Agustus 2019 lalu ia pun dirujuk ke RS Kariadi Semarang. Saat itu ia mengaku tidak bisa bangun dan lemah tak berdaya.

“Setelah terapi sinar 15 kali, akhir 2019 saya mendapat terapi Samarium 1 disuntik di tangan. Setelah itu 12 jam menjalani isolasi,” ucapnya.

Ia menambahkan dari terapi Samarium yang diberikan setiap tiga bulan pada terapi kedua ia bisa memiringkan badannya. Kemudian pada terapi ketiga bisa duduk, berdiri dan berjalan. Selanjutnya dari terapi keempat yang baru-baru ini dilakukan nyeri di seluruh tubuh dan tulangnya berangsur hilang.

“Meski belum normal, saya sudah bisa berjalan dan mandi, bangun dari tidur sendiri. Saya sangat bersyukur setelah mendapat terapi dari Samarium ini,” ungkapnya.

Ia pun berusaha meyakinkan teman pasien lainnya tidak perlu takut menjalani terapi Samarium jika ingin sembuh. Diiringi semangat untuk sembuh, ia pun berharap terus mendapatkan terapi Samarium.

Samarium-153 EDTMP adalah salah satu radiofarmaka untuk terapi paliatif pereda nyeri (pain killer) pada pasien yang mengalami metastase (penyebaran) kanker ke tulang. Kehadiran Samarium ini membuktikan kalau teknologi nuklir punya peran besar dalam dunia kesehatan dan memberikan asa atau harapan baru pasien kanker di Indonesia.

Berdasarkan data yang dirilis dari Global Cancer Observatory pada 2018, jumlah penderita kanker mencapai 18 juta orang dengan jumlah kematian sebesar 9,6 juta kasus setiap tahun. Artinya, setiap 2 detik akan ada 1 orang baru yang menderita kanker dan setiap 3 detik ada 1 orang yang meninggal dunia karena kanker.

Sementara itu, penderita kanker di Indonesia mencapai 348.000 kasus atau 1.362 kasus per 1 juta penduduk, dengan total kematian sebanyak 207.000 kasus. Dari total tersebut, angka kejadian tertinggi pada perempuan adalah kanker payudara dengan total 58.256 kasus (30,9%), disusul kanker serviks sebanyak 32.469 kasus (17,2%), dan kanker ovarium 13.310 kasus (7,1%).

Angka kejadian kanker di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat dari 1,4 per 1.000 penduduk pada tahun 2013 menjadi 1,8 per 1.000 penduduk pada tahun 2018. Mayoritas penderita kanker di Indonesia terdeteksi sudah pada stadium lanjut.

Sertifikat CPOB
Kepala Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka (PTRR) Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Rohadi Awaludin mengatakan, proses pembuatan samarium-153 EDTMP diawali dengan proses iradiasi netron samarium oksida di dalam reaktor G.A Siwabessy di kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan.

Penelitian samarium-153 EDTMP juga sudah dilakukan sejak lama, bahkan sebelum itu pun pernah dilakukan proses awal pengembangan samarium-153. Pada 2008 mulai dibangun sistem cara pembuatan obat yang baik (CPOB) untuk radiofarmaka bekerja sama dengan PT Kimia Farma.

Pada 2012 berhasil mendapat sertifikat CPOB dari Badan POM. Selanjutnya tahun 2016 berhasil mendapatkan nomor izin edar dari Badan POM. Produksi lebih intensif mulai dilakukan tahun 2017 bersama dengan PT Kimia Farma.

Terkait terapi tambahnya, dosis yang diberikan pada kisaran 50-75 mCi (millicuries) bergantung pada berat badan dan kondisi pasien. Dokter spesialis kedokteran nuklir yang akan menentukan besaran dosis untuk masing-masing pasien.

Rohadi menjelaskan, Samarium-153 diberikan melalui intravena, yaitu diberikan melalui pembuluh darah vena. Pemberian ini dilakukan di fasilitas kedokteran nuklir di rumah sakit.

“Ini salah satu kelebihan radiofarmaka, yaitu pergerakan radiofarmaka di dalam tubuh dapat dipantau sehingga dapat dipastikan bahwa obat yang diberikan tersebut menuju lokasi organ atau jaringan yang diharapkan,” tuturnya.

Saat ini lanjutnya, terapi Samarium telah dimanfaatkan oleh lima rumah sakit yaitu RS Hasan Sadikin Bandung, RS Kariadi Semarang, RS Dharmais, RS Cipto Mangun Kusumo dan RS Siloam Semanggi (MRCCC). Sebelumnya RS Sarjito pernah menggunakan samarium-153 EDTMP namun saat ini ada kendala dengan peralatan.

Sumber:BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY