Sejarah KH Hasyim Ashari, Penggagas Resolusi Jihad yang Jadi Hari Santri

0

Pelita.online – Hari Santri Nasional diperingati setiap tanggal 22 Oktober. Perayaan ini memperingati deklarasi Resolusi Jihad yang digagas oleh tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Ashari pada tahun 1945 sebagai perlawanan untuk mempertahankan kemerdekaan.

Tahun ini Hari Santri Nasional mengambil tema ‘Santri Sehat Indonesia Kuat’. Peringatan ini ditujukan guna mengingatkan masyarakat akan perjuangan kaum santri di zaman revolusi kemerdekaan setelah Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari dideklarasikan.

Isi dari Resolusi Jihad tersebut yakni berperang menolak dan melawan penjajah itu fardhu ain bagi setiap orang Islam di Indonesia. Selain itu disebut pula muslimin yang berada dalam radius 94 km dari posisi kedudukan musuh wajib ikut berperang.

Resolusi ini dikeluarkan dalam pertemuan wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura di Surabaya pada 21-22 Oktober 1945. Para ulama ini menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad atau perang suci.

Berikut sejarah dan biografi KH Hasyim Asy’ari dikutip dari buku ‘Biografi KH Hasyim Asy’ari’ karya Drs Lathful Khuluk:

KH Hasyim Ashari atau yang juga dikenal dengan nama Muhammad Hasyim lahir dari keluarga elit kiai di Jawa pada 14 Februari 1971. Keturunannya merupakan orang yang dihormati karena ayahnya Asy’ari adalah pendiri Pesantren Keras di Jombang dan kakeknya kiai terkenal dan pendiri pesantren Gedang, Kiai Usman.

Dari keluarganya lah, KH Hasyim Ashari memperoleh ilmu agama. Ayahnya juga dikenal sebagai santri terpandai sehingga ia dikawinkan dengan Halimah, ibu dari KH Hasyim Ashari.

Anak ketiga dari sepuluh bersaudara ini menempuh pendidikan di Pesantren milik kakeknya, Gedang. Selama 13 tahun, pendidikannya langsung di bawah bimbingan keluarganya sendiri sehingga tidak diragukan lagi kecerdasan dan perilakunya.

Pada usia 15 tahun, KH Hasyim Ashari memutuskan untuk mencari ilmu agama di pesantren lain. Selama lima tahun ia belajar di Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, Jawa Timur.

Di sana juga, ia bertemu dengan istrinya. Ia memutuskan menikah pada usia 21 tahun setelah dijodohkan dengan seorang putri kiai. Setelah itu, mereka berdua menunaikan ibadah haji ke Mekkah.

Di sana, mereka tinggal selama tujuh bulan lamanya. Sayang, KH Hasyim Ashari harus pulang ke Tanah Air sendirian karena sang Istri meninggal dunia usai melahirkan anaknya, Abdullah yang juga meninggal di usia dua bulan.

Pada tahun 1893, KH Hasyim Ashari memutuskan untuk kembali lagi ke Mekkah bersama saudaranya, Anis yang kemudian juga meninggal di sana. Tak hanya menuntut ilmu, KH Hasyim juga diketahui mengajar di Mekkah selama tujuh tahun.

Ia pun kembali ke rumahnya pada tahun 1900 dan memutuskan menjadi pengajar di pesantren milik ayah dan kakeknya. Di tahun 1903-1906 ia juga mengajar di kediaman mertuanya, Kemudring, (Kediri).

Selama hidupnya, KH Hasyim diketahui menikah selama tujuh kali yang mana semua istrinya merupakan anak dari seorang kiai. Anak-anaknya pun dibekali dengan ilmu agama dengan mengirimkan mereka semua ke pesantren, tak terkecuali untuk anak perempuannya, Nyai Khairiyah.

KH Hasyim akhirnya mendirikan pesantrennya sendiri, yakni Tebuireng. Anak-anaknya pun menikah dengan anak Kiai dan berhasil mendirikan pesantrennya sendiri.

Ia dipercaya memiliki kekuatan yang luar biasa sejak mendirikan Pesantren Tebuireng. Kekuatannya spiritualnya dipercaya berasal dari Allah SWT. Berkat hal itu, ia dihormati masyarakat luas dan juga mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).

Orang-orang selalu mengikuti apa yang dikatakan oleh KH Hasyim Ashari, seperti saat menghadapi kolonial di tahun 1945. Ia memutuskan untuk menyampaikan resolusi jihad melawan kolonial di Jawa Timur.

KH Hasyim Ashari menyampaikan amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam, pria maupun wanita dalam jihad mempertahankan Tanah Air dan bangsanya. Resolusi itu dikenal sebagai ‘Resolusi Jihad Fii Sabilillah’.

Resolusi tersebut berhasil menggerakkan santri, pemuda, bahkan masyarakat untuk berjuang bersama melawan pasukan kolonial yang puncaknya terjadi pada 10 November 1945. Untuk mengenang pergerakan tersebut, pemerintah pun memutuskan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.

 

Sumber : Detik.com

LEAVE A REPLY