Sejarah Pemindahan Ibu Kota Sejak Era Hindia Belanda

0
Rencana pemindahan ibu kota kini menjadi isu strategis nasional.

Pelita.online – Status Jakarta sebagai ibu kota negara kembali diusik. Hari ini, Senin (29/4), Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas di Istana Negara membahas rencana pemindahan ibu kota.

Pemerintahan Jokowi telah membahas pemindahan ibu kota ini sejak 2017 lalu. Namun, jika ditarik ke belakang, posisi Jakarta sebagai ibu kota atau pusat pemerintahan memang tak pernah sepi dari pro dan kontra.

Perdebatan telah terjadi sejak era kolonial.

Salah satu wacana paling awal terkait pemindahan ibu kota dari Batavia –nama lain Jakarta– ke daerah lain, muncul pada era Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels (1762-1818).

Pada masanya Deandels ingin memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia ke Surabaya.

Mengutip Historia, sejarawan Universitas Indonesia Achmad Sunjayadi mengatakan dua faktor yang membuat Daendels ingin memindahkan pusat pemerintahan ke Surabaya.

Pertama, alasan kesehatan karena di Batavia banyak sumber penyakit. Kedua, alasan pertahanan, di Surabaya terdapat benteng dan pelabuhan. Namun rencana itu gagal di tengah jalan

“Batavia sempat dijuluki sebagai Koningin van den Oost (Ratu dari Timur), namun kemudian terkenal sebagai kuburan orang Belanda karena banyaknya penyakit malaria dan kolera,” kata Sunjayadi

Sorotan lain terhadap Jakarta datang dari Hendrik Freek Tillema, seorang ahli kesehatan dari Belanda. Hendrik saat itu telah menyatakan Batavia sebagai tempat yang tak layak sebagai pusat pemerintahan.

Kritik Hendrik berdasarkan fakta bahwa Jakarta sebagai salah satu kota pelabuhan. Bagi Hendrik kota pelabuhan pada umumnya berhawa panas, tidak sehat, mudah terjangkit wabah.

Dia lantas mengusulkan Bandung sebagai ibu kota Hindia Belanda, yang kemudian mulai dilaksanakan oleh Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum (1916-1921) pada 1920.

Polemik Jakarta sebagai pusat pemerintahan berlanjut di masa kemerdekaan.

Pada 1947 pemerintah membentuk Panitya Agung yang bertugas menyelidiki dan merencanakan penempatan ibu kota negara. Presiden Sukarno termasuk salah satu anggota Panitya Agung.

Panitya Agung dibentuk di tengah kekacauan yang terjadi di Jakarta akibat pendudukan oleh pasukan Belanda. Saat itu, posisi Jakarta sebagai pusat pemerintahan telah bergeser ke Yogyakarta.

Dari Panitya Agung inilah muncul sejumlah daerah selain Jakarta yang ditimbang layak menjadi ibu kota negara. Daerah itu antara lain Bandung, Malang, Surabaya, Surakarta, hingga Kabupaten Temanggung dan Magelang.

Ibu kota juga sempat berpindah-pindah secara rahasia pada masa pemerintahan darurat Republik Indonesia (PDRI). Tetapi Historia menulis hingga revolusi selesai dan pemerintahan kembali ke Jakarta, tak ada kejelasan terkait rencana penetapan ibu kota negara yang baru.

Ketidakjelasan itu tak menyurutkan wacana pemindahan ibu kota. Pada tahun 1950-an, nama Palangka Raya di Kalimantan Tengah mencuat sebagai ibu kota alternatif. Adalah Sukarno yang menggagas mimpi Palangka Raya sebagai ibu kota negara.

Palangka Raya dipandang lebih tepat sebagai pusat pemerintahan ketimbang kota Jakarta yang sudah jadi, terbentuk, terlalu penuh dengan simbol-simbol kolonial.

Saat itu Palangka Raya belum terbentuk. Dia baru eksis ketika Sukarno melakukan pemancangan tiang pertama pada 17 Juli 1957.

Sukarno memilih nama Palangka Raya untuk kota baru itu, yang berarti “tempat suci, mulia, dan agung”.

Namun belakangan, Sukarno sendiri pula yang menutup kemungkinan menjadikan Palangka Raya sebagai ibu kota. Dalam pidato peringatan ulang tahun ke-437 Jakarta tanggal 22 Juni 1964, Sukarno akhirnya menetapkan Jakarta sebagai ibu kota negara lewat Undang Undang Nomor 10 Tahun 1964.

Jakarta telah resmi menjadi ibu kota negara, tetapi wacana pemindahan ibu kota kembali bergulir. Pada era Soeharto, sempat muncul gagasan menjadikan daerah Jonggol, Bogor, sebagai ibu kota negara.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melangkah lebih maju dengan membentuk sebuah tim khusus yang bertugas mengkaji pemindahan ibu kota. Namun, selama dua periode pemerintahannya, hasil kajian tak pernah diungkap menyeluruh ke publik.

Rencana pemindahan ibu kota di era SBY pun tak jelas muaranya.

Pemindahan ibu kota Jakarta semakin mendapat sorotan setelah era reformasi. Ini disebabkan kian beratnya beban yang dipikul Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan pusat ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Jakarta telah menyedot jutaan orang dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal. Alhasil, Jakarta yang pada era kolonial dirancang hanya untuk 600 ribu jiwa, hari ini dipadati oleh 10 juta penduduk.

Kepadatan penduduk membuat Jakarta tak lagi ramah. Polusi, kemacetan, banjir, hingga kemiskinan jadi persoalan yang tak hanya mengancam warganya, namun juga menguras keuangan pemerintah provinsi dan pusat.

Pada 2017, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro bahkan menyebut kemacetan di Jakarta mengakibatkan kerugian Rp67,5 triliun.

Beban berat Jakarta inilah yang mungkin menjadi alasan Presiden Jokowi kembali mewacanakan pemindahan ibu kota. palangka raya kembali menjadi daerah yang digadang bakal menggantikan posisi Jakarta.

Hari ini Presiden telah mengagendakan rapat terbatas membahas rencana pemindahan ibu kota ke luar Jawa.

Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Adita Irawati  bahkan menyebut rencana pemindahan ibu kota saat ini bukan sekadar wacana, tetapi sudah menjadi isu strategis karena dibawa ke rapat terbatas.

“Sudah masuk Ratas (rapat terbatas) berarti sudah jadi isu strategis,” kata Adita saat dikonfirmasi, Senin (29/4).

Menurutnya, beberapa waktu lalu pemerintah sudah membahas cukup mendalam terkait rencana pemindahan ibu kota, namun sempat terhenti.

Seperti pemerintahan sebelumnya, rencana pemindahan ibu kota pun menuai pro dan kontra. Kalangan yang setuju pada umumnya melihat pemindahan ibukota sebagai upaya menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa.

Di sisi lain, mereka yang tak setuju menilai pemindahan ibu kota hanya akan memindahkan beban dan persoalan Jakarta ke daerah.

Salah satu daerah yang menjadi kandidat kuat pemindahan ibu kota negara adalah Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah, yang juga sempat menjadi kandidat ibu kota pada era Presiden Sukarno.

 

Sumber: cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY