Turunnya Konsumsi Premium

0
Foto: Grandyos Zafna

Pelita.online – Konsumsi Premium turun. Tahun ini turun 25% dibanding tahun lalu. Tahun lalu juga lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Faktanya, jumlah sepeda motor membengkak. Begitu juga mobil. Tak pernah ada cerita “mobil tak laku”. Apalagi sudah ada jalan tol. Banyak orang yang menjajal jalan bebas hambatan yang bisa cepat sampai tujuan. Semua kendaraan itu pasti minum bensin.

Berita peminat bensin jenis premium itu berita betulan. Bukan hoax, bukan pula sekadar tema kampanye. Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati dalam pernyataannya 19 Maret lalu memastikan adanya penurunan konsumsi premium itu. Katanya, terjadi shifting atau peralihan pola konsumsi BBM. Hal itu terjadi karena di pompa bensin Pertamina kini tersedia banyak jenis BBM.

Kalau kita memperhatikan billboard di depan setiap pompa bensin, kita bisa membaca jenis BBM produk Pertamina yang dijual. Ada Pertamax Jumbo, Pertamax, Dexlite, Dex, Pertalite, Solar, dan Premium.

Menurut data dari Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas), konsumsi premium pada 2018 sekitar 9,27 juta kilo liter (KL) atau turun 25% dibandingkan 2017 sebesar 12,3 juta KL. Secara nasional, kata Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa di depan Komisi VII DPR (18/3), realisasi volume pengaliran JBKP Premium pada 2018 adalah 78,61% atau 9,27 juta KL.

Tren turunnya konsumsi premium terjadi sejak beberapa tahun lalu. Pada 2015 misalnya, konsumsi premium 27,6 juta KL, turun menjadi 21,6 juta KL pada 2016. Seperti disebut di atas, angkanya terus anjlog drastis menjadi 12,3 juta KL pada 2017.

Bagi Pertamina, premium menjadi salah satu faktor yang menekan alias mengurangi labanya. Alasannya, Pertamina tidak boleh menaikkan harga premium yang kini dipatok Rp 6.450 per liter. Untuk itu, pemerintah menutup kerugian BUMN itu dengan subsidi. Artinya, semakin tinggi konsumsi premium, semakin tinggi pula subsidi yang mesti disediakan. Selain premium, BBM yang masih disubsidi adalah solar yang kini belum tentu dijual di setiap pompa bensin.

Selain adanya banyak pilihan BBM seperti disampaikan oleh bos Pertamina itu, tampaknya ada pula perubahan pola konsumsi masyarakat yang memilih jenis BBM beroktan lebih tinggi, yang mampu menggenjot performa kendaraan mereka lebih baik. Kini, sebagian besar pemilik sepeda motor mulai meninggalkan premium. Terlebih, sepeda motor jenis matik, yang lebih jreng dengan Pertalite atau Pertamax. Selain itu, bisa jadi telah terjadi perubahan perilaku di kalangan pemilik mobil dan sepeda motor. Mereka “malu” membeli BBM bersubsidi seperti Premium.

Kenapa ada kecenderungan malu menggunakan Premium? Kini, sebagian pesepeda motor memilih mengantre untuk membeli Pertamax yang harganya Rp 9.250 per liter atau Pertamax Turbo (Rp 11.200). Paling tidak mereka membeli jenis Pertalite. Soalnya, sepeda motor matik akan “mbrebet” kalau diberi minum premium. Bayangkan, kalau pemilik sepeda motor saja sudah meninggalkan Premium, mestinya orang bermobil Fortuner atau Alphart akan (lebih) malu mengisi tangkinya dengan bensin bersubsidi seperti Premium atau Solar.

Apalagi setelah Presiden Joko Widodo merombak sistem harga bensin. Harga BBM dibuat sama di seluruh Indonesia. Dulu, harga Premium di Jakarta atau Jawa dan Bali (Jamali) jauh lebih murah daripada Papua atau daerah luar Jawa lainnya. Ketika harga Premium di Jakarta Rp 5.000, di Papua harganya bisa tembus sampai Rp 60.000 per liter. Sudah mahal, belum tentu ada lagi.

Kalau harga bensin sudah seragam di seluruh Indonesia seperti sekarang, orang kaya atau orang bermobil di Jawa dan Bali selayaknya malu membeli bensin subsidi yang sama dengan saudara kita di daerah terpencil atau pedalaman. Perubahan perilaku ini berbalik seratus delapan puluh derajat dibandingkan sebelum empat tahun silam.

Pemerintah sebelum ini mengalokasikan subsidi BBM rata-rata sekitar Rp 300 triliun tiap tahun. Pemerintah hampir 40 tahun seolah disandera oleh konsumen karena harus menyediakan bensin subsidi agar harga bensin tidak naik. Pemerintah dipaksa menyediakan subsidi BBM yang jumlahnya semakin besar tiap tahunnya.

Kalau pemerintah menaikkan atau menyesuaikan harga BBM, demonstrasi pun marak di mana-mana. Para demonstran, atas nama rakyat, biasanya memrotes keputusan kenaikan harga BBM yang dianggap menyengsarakan rakyat. Padahal, siapa sih sebenarnya yang terkena dampak kenaikan BBM? Pertama, yang paling terkena dampak kenaikan harga BBM adalah masyarakat bermobil atau dari kalangan kelas menengah dan atas. Kelompok ini biasanya berteriak paling keras. Yang kedua adalah para pengusaha yang menghidupkan mesin-mesin pabrik, truk-truk dan bus angkutannya dengan Solar bersubsidi.

Ada pemandangan menarik di masa lalu. Setiap ada pengumuman kenaikan harga BBM, Jakarta atau kota-kota besar lainnya dilanda kemacetan akut di sekitar pompa bensin. Mobil-mobil menyerbu pompa bensin untuk mengisi full tank sebelum harga naik. Memang sih, yang mengantre bensin belum tentu si pemilik mobil yang kaya raya. Mereka bisa menyuruh sopirnya. Tapi, duitnya pasti dari si kaya itu kan?

Yang paling mengerikan, bukan hanya gerakan memborong bensin. Kenaikan harga BBM sering menyulut gerakan massa yang lebih luas. Demonstrasi menyerang kenaikan harga BBM ini gampang disulut untuk mengguncang pusat kekuasaan. Puncak dari demo BBM adalah tuntutan untuk melengserkan Presiden. Tema orasi dan demo BBM selalu diarahkan ke Istana.

Maka, hampir semua presiden sangat berhati-hati melakukan penyesuaian harga bensin. Untuk tetap menyediakan harga bensin yang murah, pemerintah harus menyediakan subsidi ratusan triliun rupiah. Boleh dikata, subsidi BBM adalah instrumen untuk menjaga kestabilan politik atau mengamankan kekuasaan.

Kini, subsidi BBM memang masih ada. Namun, dengan harga seragam di seluruh Indonesia, terasa bahwa subsidi itu bisa dinikmati oleh masyarakat lebih luas. Bayangkan, sudah puluhan tahun masyarakat di Papua atau di daerah lain tak pernah menikmati bensin dengan harga semurah di Jamali. Di Papua, harga Premium sering menembus Rp 60.000 per liter atau sepuluh kali lipat dari harga di Jakarta atau Jamali.

Presiden Jokowi suka menyitir ucapannya sendiri setelah memberlakukan harga BBM seragam di seluruh Indonesia. Kira-kira begini kata-katanya, “Kalau ada kenaikan harga BBM sedikit saja, demonya berhari-hari di sini (Jakarta). Tapi kalau saudara kita di Papua harus membeli bensin sepuluh kali lebih mahal, kok tak ada yang demo di sini.”

Setelah berhasil menetapkan harga sama di seluruh Indonesia, pemerintah tampaknya lebih percaya diri untuk menyesuaikan harga BBM. Apalagi kalau harga itu dikaitkan dengan harga minyak di pasar dunia. Ada kalanya naik harga, dan ada pula saatnya turun. Respons konsumen pun tidak superpanik seperti pada masa lalu manakala ada pengumuman kenaikan harga bensin. Bahkan demo anti-kenaikan harga BBM pun mulai kurang laku. Apalagi kadangkala harga suka turun.

Lihat saja turunnya harga yang ditetapkan 10 Februari lalu. Harga untuk Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, jenis Pertamax Turbo Rp 11.200 atau turun Rp 800 dari harga sebelumnya Rp 12.000. Pertamax turun Rp 350 menjadi Rp 9.850. Dexlite dari Rp 10.300 menjadi Rp 10.200 alias turun seratus rupiah. Premium sebagai BBM yang masih disubsidi harganya tetap Rp 6.450, berlaku sama di seluruh Indonesia. Kalau ada perbedaan harga di beberapa daerah, itu disebabkan adanya Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yang berbeda untuk setiap wilayah.

Dengan turunnya konsumsi premium, mestinya subsidi BBM pun mengalami penurunan. Apalagi penjualan premium juga lebih rendah dari kuota. Premium yang terjual di Jamali 2,78 juta KL. Itu sama dengan 64,61% dari koata 4,3 juta KL. Di wilayah Indonesia lainnya, total konsumsi premium 6,5 juta KL atau masih 86,63% dari 7,5 juta KL kuotanya.

Tren pemilik kendaraan menggunakan bensin atau BBM non-subsidi yang menyebabkan turunnya konsumsi premium bukannya tanpa kalkulasi. Dengan jenis BBM yang oktannya lebih tinggi, dan lebih mahal, pemakaiannya bisa lebih irit. Kenapa? Performa mesin lebih oke, dan jangkauan tempuhnya per liter pun lebih jauh.

Kian turunnya konsumsi premium pasti akan mengurangi subsidi yang mesti disediakan oleh anggaran negara. Harga bensin pun akan semakin mendekati harga wajar. Setidaknya, pemerintah kini secara bertahap bisa melepaskan diri dari sandera subsidi BBM, yang ternyata belum tentu dinikmati oleh kebanyakan rakyat.

Margana Wiratma wartawan dan dosen Fakultas Ekonomi dan Komunikasi Universitas Bina Nusantara Jakarta (mmu/mmu)

Sumber: Detik.com

LEAVE A REPLY