Uji Materiil UU BPJS, Pemerintah-DPR: Prajurit dan Pensiunan TNI Tak Dirugikan

0

Pelita.online – DPR dan Presiden memastikan tidak ada kerugian konstitusional yang dialami prajurit dan pensiunan prajurit TNI atas pengalihan Program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang ditangani PT Asabri Persero ke BPJS Ketenagakerjaan yang kini dikenal BP Jamsostek.

Keterangan ini disampaikan anggota Badan Legislasi (Baleg) sekaligus anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan dan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Haiyani Rumondang di hadapan Hakim Konstitusi saat persidangan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/7/2020). 

Arteria Dahlan hadir menyampaikan keterangan mewakili DPR dan Haiyani Rumondang mewakili Presiden/Pemerintah terkait dengan uji materiil Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) terhadap UUD 1945, perkara nomor: 6/PUU-XVIII/2020. Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan DPR dan Presiden.

Perkara ini diajukan oleh empat pemohon. Mereka yakni Mayor Jenderal TNI (Purn) Endang Hairudin, Laksamana Pertama TNI (Purn) M Dwi Purnomo, Marsma TNI (Purn) Adis Banjere, dan Kolonel CHB (Purn) Adieli Hulu. Khusus Endang, saat ini menjadi tenaga profesional Bidang Geopolitik dan Geografi Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). 

Pasal 57 huruf e UU BPJS mengatur bahwa PT Asabri Persero tetap melaksanakan kegiatan operasional penyelenggaraan program asuransi dan program pembayaran pensiun bagi pesertanya, termasuk penambahan peserta baru sampai dengan dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan. Pasal 65 ayat (1) UU BPJS, berbunyi, “PT Asabri Persero menyelesaikan pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 2029.”

Saat persidangan Rabu ini, hadir tim kuasa pemohon yakni Bayu Prasetyo dkk. Selain itu turut hadir Endang Hairudin sebagai pemohon I atau prinsipal.

Arteria Dahlan membeberkan, Pasal 5 UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) telah mengamanahkan bahwa BPJS harus dibentuk dengan UU sendiri. Sejak berlakunya UU SJSS maka badan penyelenggara jaminan sosial yang ada dinyatakan sebagai BPJS.

Masih dalam pasal tersebut, tutur Arteria, BPJS yang dimaksud adalah PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek, Persero), PT Dana tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen, Persero), PT Asabri Persero, dan PT Asuransi Kesehatan Indonesia (Askes, Persero). Jika diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain dimaksud pada ayat (3), maka dapat dibentuk yang baru dengan UU.

Lebih lanjut tutur Arteria, untuk pembentukan BPJS maka DPR bersama pemerintah telah membahas UU-nya yang kemudian disahkan menjadi dan berlaku UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS atau UU BPJS. Dengan berlakunya UU BPJS kemudian terdapat dua badan yakni BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. BPJS Ketenagakerjaan merupakan hasil peleburan PT Jamsostek Persero dan BPJS Kesehatan hasil peleburan PT Askes Persero.

Arteria menggariskan, sejak berdiri BPJS Kesehatan dan berjalannya program pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia termasuk telah meleburnya program layanan kesehatan bagi TNI/Polri, PNS Kementerian Pertahanan (Kemhan), pensiunan TNI/Polri, pensiunan Kemhan, dan keluarganya, kecuali dalam program/manfaat tertentu. Karenanya program dan manfaat asuransi PT Asabri Persero harus juga dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan.

Dia membeberkan, sebagaimana perkara a quo yang diujikan jelas sekali diamanahkan bahwa PT Asabri Persero dan programnya harus dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 2029. Menurut DPR, pada prinsipnya pengalihan program peserta asuransi PT Asabri ke BPJS Ketenagakerjaan sama sekali tidak akan menghilangkan atau mengurangkan manfaat bagi para peserta asuransi PT Asabri Persero yang dalam hal ini prajurit TNI dan PNS Kemhan serta pensiunan prajurit TNI dan pensiunan PNS Kemhan.

Artinya manfaat yang diterima empat pemohon perkara a quo yang merupakan pensiunan prajurit TNI tidak akan atau berkurang. “Dengan demikian kerugian konstitusional yang didalilkan para pemohon tidak berdasar,” tegas Arteria di hadapan Hakim Konstitusi.

DPR berpandangan, lanjut Arteria, kerugian konstitusional dan kerugian manfaat yang didalilkan para pemohon merupakan perhitungan yang sangat subjektif dan mengacu pada ketentuan yang tidak tepat. Bagi DPR, seluruh rakyat Indonesia telah mendapatkan hak konstitusional sesuai dengan Sistem Jaminan Sosial sesuai dengan martabat kemanusiaan yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan seluruh warga negara Indonesia. ”DPR berpandangan bahwa sama sekali tidak ada alasan bagi PT Asabri (Persero) untuk tidak melakukan pengalihan program ke BPJS Ketenagakerjaan,” ucapnya.

Haiyani Rumondang menegaskan, sejak berlakunya UU BPJS serta ada dan berjalannya BPJS Kesehatan maka program pelayanan kesehatan bagi TNI/Polri, PNS Kemhan, pensiunan TNI/Polri dan PNS Kemhan, dan keluarganya telah melebur ke dalam BPJS Kesehatan. Sehingga seharusnya program yang diselenggarakan oleh PT Asabri Persero harus juga melebur ke dalam BPJS Ketenagakerjaan.

Menurut pemerintah, tutur Haiyani, peleburan atau pengalihan program PT Asabri Persero tidak akan menghilangkan dan mengurangi manfaat yang didapat oleh TNI/Polri, PNS Kemhan serta pensiunan TNI/Polri dan PNS Kemhan, termasuk empat pemohon perkara a quo. “Ketentuan pasa a quo yang diuji pada dasarnya tidaklah bertentangan dengan UUD 1945,” tegas Haiyani.

Ketentuan pengalihan program PT Asabri Persero ke BPJS Ketenagakerjaan sebelum 2029, kata Haiyani, pun berlaku bagi program PT Taspen Persero ke BPJS Ketenagakerjaan sebelum 2029. Pengalihan program PT Taspen Persero pun tidak akan mengurangi dan menghilangkan manfaat yang didapatkan para peserta program PT Taspen Persero.

“Ketentuan pengalihan paling lambat 2029 tersebut memberikan persiapan bagi PT Asabri Persero dan PT Taspen Persero melakukan pengalihan program tersebut. Pengalihan program tersebut pada dasarnya telah ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 98/PUU-XV/2017,” ucapnya.

Pada bagian akhir keterangan DPR dan pemerintah, Arteria dan Haiyani meminta di antaranya agar MK menerima seluruhnya keterangan DPR dan pemerintah sebagai bahan pertimbangan. Kemudian DPR dan pemerintah juga meminta MK menolak seluruhnya permohonan dari empat pemohon.

 

Sumber : Sindonews.com

LEAVE A REPLY