Usulan Penundaan Pilkada Dinilai Bentuk Kepasrahan

0
Komisioner KPU Kota Palu menghadiri acara peluncuran pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palu di Lapangan Vatulemo, Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (8/11/2019). KPU Kota Palu resmi memulai tahapan pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palu yang akan digelar pada 23 September 2020. ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/aww.

Pelita.online – Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow menilai usulan penundaan Pilkada Serentak 2020 sebagai bentuk kepasrahan menghadapi pandemi Covid-19. Penundaan pilkada tidak akan mengatasi persoalan Covid-19, tetapi lebih kepada sikap lari dari kenyataan.

“Terlalu cepat kita menuntut penundaan pilkada, tanpa melihat seberapa serius upaya kita dalam mengantisipasi dampak Covid-19. Cara ini terkesan terlalu pasrah dan ingin menghindar dari kenyataan,” kata Jeirry di Jakarta, Selasa (22/9/2020).

Jeirry sependapat bahwa keselamatan rakyat menjadi perhatian utama saat ini. Namun perhatian terhadap keselamatan rakyat belum dilaksanakan dengan baik. Karena itu, perlu ada evaluasi untuk melihat letak persoalannya, bukan dengan buru-buru mengusulkan penundaan pilkada.

“Penundaan pilkada boleh saja, baik saja, tetapi melakukan itu tanpa melakukan evaluasi mendalam dan memetakan letak persoalannya, merupakan sikap dan tindakan yang terlalu terburu-buru,” ujar Jeirry.

Jeirry menyebut cara bangsa ini melihat persoalan cenderung mencari gampang. Artinya bukan melihat dan mendalami persoalan lalu hingga menemukan solusi, tetapi cenderung mencari kambing hitam. Cara inilah yang terjadi dalam desakan agar pilkada ditunda.

Menurut Jeirry, tidak tepat jika pilkada dijadikan kambing hitam kegagalan dalam menangani penyebaran Covid-19. Sebab, tidak ada bedanya kumpulan orang yang setiap hari beraktivitas di pasar tanpa protokol Covid-19 yang ketat dengan kumpulan massa saat pilkada.

“Dalam rangka penanganan Covid-19, mestinya sama saja, tetapi yang disalahkan adalah kumpulan massa dalam pilkada. Kerumunan yang di pasar dianggap ok saja, tak masalah,” tukas Jeirry.

Terkait maraknya kerumunan massa pada tahap pendaftaran tanggal 4-6 September lalu, Jeirry melihat ada ketidakberesan dari penyelenggara pilkada. Ketakberdayaan terhadap pandemi Covid-19 seolah dijadikan tameng untuk membenarkan kinerja penyelenggara yang tidak becus.

Jeirry meminta penyelenggara tak boleh pasrah dan membiarkan seolah memang sudah begitu keadaannya pilkada dalam suasana pandemi Covid-19. Dikatakan, penyelenggara tidak boleh merasa bahwa karena Pandemi Covid-19 maka tak punya kuasa apa-apa untuk mengatasinya. Tanpa berupaya serius memikirkan bagaimana agar tahapan tidak menjadi klaster penularan Covid-19.

Dalam rangka pilkada dimasa Covid-19, lanjut Jeirry, penyelenggara mesti menyesuaikan hal-hal dalam tahapan yang berpotensi menjadi media penularan Covid-19. Mekanisme teknis dalam setiap tahapan harus disederhanakan. Tak boleh persis sama dengan pada masa normal. Jika ada hal yang bisa menjadi media penularan, maka itu bisa saja ditiadakan.

“Itu bagian dari resiko yang harus diambil demi kebaikan dan keselamatan bersama. Tak boleh takut untuk melakukan hal itu. Misalnya, dalam tahapan penetapan calon nanti atau kampanye. Pengerahan massa harus dilarang dan jika terjadi harus ditindak dengan tegas. Berikan sanksi sesuai dengan regulasi yang ada,” tutur Jeirry.

Jeirry mempertanyakan jika memang harus ditunda, kapan waktu ideal bagi pelaksanaan pilkada? Pasalnya tidak ada yang tahu kapan Covid-19 akan berakhir.

“Bisa satu, dua atau bahkan 5 tahun lagi. Apakah kita harus menunggu selama itu dalam ketidakpastian? Karena tidak ada yang bisa memberikan kepastian, maka bukankah lebih baik kita lanjutkan dengan penerapan protokol kesehatan Covid-19 yang lebih ketat dan penerapan sanksi yang lebih tegas?,” demikian Jeirry.

Sumber:BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY