5 Persoalan Hukum Qurban yang Penting untuk Diketahui

0

Pelita.Online – Ibadah qurban merupakan ibadah istimewa yang khusus dilakukan pada Dzulhijjah.

Ada beberapa persoalan hukum dan tata cara pelaksanaan qurban menurut aspek fiqih Islam dan penyelenggaraannya dalam konteks pandemi Covid-19. Berikut ini lima persoalan seputar pelaksanaan ibadah qurban:

1. Memotong kuku

Bagi yang ingin dan berniat berqurban maka disunnahkan untuk tidak memotong kuku dan rambutnya berdasarkan hadits yang terdapat pada bahasan renungan subuh sebelumnya (hadits yang digunakan sebagai argument pendapat tiga imam mazhab tentang hukum berqurban).

Hanya kemudian ada yang berpendapat makruh hukumnya bagi yang berqurban bila memotong kuku dan rambut sebelum hewan qurbannya disembelih. Bahkan sebagian dari Mazhab Hanbali (Imam Ahmad bin Hanbal) dan ada yang berpendapat hukumnya haram bila memotong rambut dan kuku. (Baca al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Syekh Wahbah al-Zuhailiy, juz 3, Dar al-Fikr, 2008, hal 624).

2. Kapan qurban berubah wajib?

Dalam berqurban, hewan qurban bisa berubah status hukumnya dari yang semula hewan qurban sunnah menjadi hewan qurban wajib. Hal ini disebabkan karena kita bernazar misalnya dengan mengatakan: “Kalau anak saya diterima di PTKIN (UIN misalnya) saya akan berqurban.”Alhamdulillah anaknya lulus dan diterima, maka qurban bagi yang bernazar menjadi wajib.

Atau dengan sebab memberi isyarat, contohnya, perkataan seseorang (setelah membeli kambing), Kambing ini qurban saya atau kambing ini aku jadikan sebagai qurban”,maka hewan qurban tersebut menjadi qurban wajib, meskipun orang tersebut tidak menyadari bahwa kata-kata itu menjadikan qurban wajib. Solusinya agar tidak menjadi qurban wajib, hendaknya dia mengatakan:”Ini hewan qurbanku yang sunnah.” Atau “Saya akan melakukan sunnah qurban.”

Yang perlu diperhatikan dalam kaitan qurban wajib dan sunnah adalah konsekuensi saat hewan telah disembelih, dimana bagi qurban wajib tidak boleh orang yang berqurban dan keluarganya serta orang-orang menjadi tanggung jawab dalam kehidupannya menikmati daging qurban wajib ini.

Jadi daging qurban wajib, harus disedekahkan semuanya kepada mustahik. Berbeda dengan qurban sunnah, dimana yang berqurban atau kelurganya boleh menikmati daging qurban sunnahnya tersebut.

Bahkan bagi qurban wajib, bila yang berqurban atau keluarganya memakan daging qurban tersebut maka wajib menggantinya (Baca: Syekh Dr Musthafa al-Bugha, al-fiqh al-Manhaji ‘ala al-Mazhab al-Imam al-Syafii, Juz 1, Dar al-‘Ulum al-Insaniyah, 1989, hal 235).

3. Qurban untuk orang lain

Berqurban untuk orang lain bisa dua kondisi. Pertama, orang yang akan dihadiahkan atau diniatkan qurban untuknya masih hidup, maka boleh berqurban untuknya asalkan mendapat izin dari yang bersangkutan.

Kedua, bila telah wafat, maka tidak boleh berniat qurban untuknya kecuali almarhum/almarhumah pernah berwasiat agar yang masih hidup berqurban untuknya. (Baca: Kifayatul Akhyar Juz 2, Maktab Imaratullah, hal 236).

Lalu bagaimana bila kita ingin berqurban untuk yang sudah wafat bila dia tidak berwasiat? Solusinya dengan niat  berqurban untuk dirinya dan diikutsertakan pahalanya atau dihadiahkan pahalanya untuk orang yang telah wafat.

Untuk masalah berqurban bagi yang sudah wafat memang ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Pendapat Mazhab Syafii sebagaimana yang sudah diuraikan di atas.

Dalam pandangan Mazhab Maliki, hukumnya makruh bila si mayit tidak menetapkan hewan tertentu sebagai qurban sebelum wafatnya. Tapi bila ditetapkan sebelum ia wafat dan bukan dalam bentuk (qurban) nazar, disunnahkan bagi ahli warisnya merealisasikan qurban tersebut.

Sementara Mazhab Hanafi dan Hanbali dibolehkan berqurban atas nama orang yang sudah wafat dan perlakuan daging qurbannya sama seperti qurban orang yang masih hidup dalam hal menyedekahkan dan memakannnya. (Baca: al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Syekh Wahbah al-Zuhailiy, juz 3, Dar al-Fikr, 2008, hal 631).

4. Akikah atau qurban?

Yang perlu kita pahami, akikah dan qurban hukumnya sama-sama sunnah muakkadah. Terkait mana yang harus didahulukan, kita hendaknya bijak dengan melihat waktunya. Kapan kita akan akikah dan berqurban.

Akikah sejatinya disunnahkan pelaksanaannya pada hari setelah anak dilahirkan dan sangat dianjurkan pada hari ketujuh. Anjuran akikah memang diperintahkan untuk orang tua si anak yang memiliki kelapangan rezeki.

Dan akikah bisa dilakukan orang tua hingga anak tumbuh dewasa/balligh. Setelah si anak dewasa, akikah tidak lagi dibebankan kepada orang tua. Dalam kondisi seperti ini yang lebih bagus  adalah si anak melakukan akikah untuk dirinya sendiri. (Baca: Syekh Dr Musthofa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala al-Mazhab al-Imam al-Syafii, Juz 3, Dar al-‘Ulum al-Insaniyah, 1989, hal 6).

Masalah kemudian muncul bila rezekinya baru ada bersamaan waktunya dengan pelaksanaan qurban saat Idul Adha, harus bagaimana?

Dalam hal ini hendaknya kita melihat momentumnya, mengingat amaliah ibadah yang terbaik saat Idul Qurban adalah berqurban, alangkah baiknya yang kita dahulukan adalah berqurban daripada akikah.

Bagaimana kalau digabung, boleh tidak? Kalau kita mau mengikuti pendapat Imam Muhammad Ramli sebagaimana terdapat dalam kitab Bugyah al-Mustarsyidin, disebutkan sebagai berikut:

لَوْ ذَبِحَ شَاةً وَنَوَى بِهَا الْاُضْحِيَّةَ وَالْعَقِيْقَةَ أَجْزَأَهُ عَنْهُمَا قَالَهُ م ر وَقَالَ ابْنُ حَجَرٍ لَا تَتَدَاخُلَانِ  “Kalau menyembelih satu ekor kambing dan berniat untuk qurban dan akikah maka hal tersebut mencukupi/terealisasi sebagaimana dikatakan   Imam Muhammad Ramli, sementara Imam Ibnu Hajar berpendapat tidak cukup/tidak terealisasi.” (Baca al-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husen bin Umar, Bughyah al-Mustarsyidin, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah Indonesia, hal 257).

Dalam masalah ini memang terdapat perbedaan di antara ulama. Ulama lain yang membolehkan seperti pendapat Imam Muhammad Ramli, misalnya Imam Hasan al-Bishri (Lihat kitab Mushannaf Abi Syaibah, juz 5 hal 116, nomor 24267).

Lalu pendapat mana yang kita ikuti? Silakan saja mengambil salah satu dari dua pendapat tersebut. Terlebih ijtihad seorang ulama tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad yang lainnya sebagaimana kaidah:

اَلْلإجْتِهَادُ لاَ يُنْقَضُ بِالْإِجْتِهَادِ “Ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad lain.”

Namun untuk kehati-hatian (ihtiyath), sekadar saran alangkah baiknya kita mengikuti pendapat yang tidak boleh menggabungkan niat akikah dan qurban. Oleh karenanya jika akikah waktunya bertepatan dengan qurban pada Idul Adha, maka sebaiknya dipisah antara akikah dan qurban.

Bila mampu laksanakan kedua-duanya, yaitu akikah dan qurban dengan hewan yang berbeda tentunya.

Dan bila tidak mampu, karena amaliyah ibadah yang terbaik saat idul adha adalah berqurban, maka langkah baiknya kita berqurban dahulu, dan bila ada kelapangan rezeki,  barulah kita melakukan akikah.

Tentu saja opsi ini dengan tetap menghormati pendapat yang berbeda. Dan saya kira tidak perlu diperselisihkan. Itulah indahnya fiqh dan sudah sepatutnya kita bersikap dewasa dalam menyikapi perbedaan yang ada.

5. Dalam penyembelihan harap memperhatikan Fatwa MUI Nomor 36 Tahun 2020 tentang shalat Idul Adha dan Penyembelihan Hewan Qurban saat Wabah Covid-19, yaitu  pelaksanaan penyembelihan hewan qurban harus tetap menjaga protokol kesehatan untuk mencegah dan meminimalisir potensi penularan:

a.   Pihak yang terlibat dalam proses penyembelihan saling menjaga jarak fisik (physical distancing) dan meminimalisir terjadinya kerumunan

b. Selama kegiatan penyembelihan berlangsung, pihak pelaksana harus menjaga jarak fisik (penyembelihan, setiap akan mengantarkan daging kepada penerima, dan sebelum pulang ke rumah)

c. Penyembelihan qurban dapat dilaksanakan bekerja sama dengan rumah potong hewan dengan menjalankan ketentuan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal

d. Dalam hal ketentuan pada huruf c tidak dapat dilakukan, maka penyembelihan dilakukan di area khusus dengan memastikan pelaksanaan protokol kesehatan, aspek kebersihan, dan sanitasi serta kebersihan lingkungan

e. Pelaksanaan penyembelihan qurban bisa mengoptimalkan keluasan waktu selama 4 (empat) hari, mulai setelah pelaksanaan shalat Idul Adha 10 Dzulhijjah hingga sebelum maghrib tanggal 13 Dzulhijjah

f. Pendistribusian daging qurban dilakukan dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan.

Sumber : Repbulika.co.id

 

LEAVE A REPLY