Babak Belur Ekonomi Dihajar 1,5 Tahun Pandemi

0

Pelita.Online – Peringatan kemerdekaan RI ke-76 tahun pada 2021 masih diwarnai masalah. Salah satunya, Indonesia belum bisa melepaskan diri dari ‘jajahan’ pandemi corona.
Selama 18 bulan lamanya, virus corona ‘menjajah’ Indonesia. Penjajahan tak hanya dilakukan dari sisi kesehatan tapi juga ekonomi.

Pandemi berhasil membuat perekonomian Indonesia terguncang. Semua indikator yang mencerminkan kondisi ekonomi makro, mulai dari pertumbuhan ekonomi, konsumsi rumah tangga, inflasi, pengangguran, tingkat kemiskinan, hingga Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur anjlok.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menjelaskan perekonomian pada dasarnya bergantung dari mobilitas penduduk. Sementara, demi menekan penularan virus corona, pemerintah membatasi mobilitas masyarakat, sehingga tak ayal ekonomi terdampak.

“Semua kegiatan harus dikurangi, dihentikan, dan secara psikologis masyarakat juga terpengaruh, sehingga otomatis ekonomi mengalami shock,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com belum lama ini.

Redaksi mengulas kembali kondisi ekonomi makro selama pandemi dari beberapa indikator. Secara garis besar, ekonomi jatuh paling dalam pada kuartal II 2020, bertepatan dengan kemunculan awal pandemi di Indonesia.

Selanjutnya, semua indikator pulih secara perlahan hingga kuartal II 2021 ini. Namun, Tauhid melihat ancaman pelemahan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2021 karena PPKM darurat sejak 3 Juli 2021 lalu.

“Semua kegiatan harus dikurangi, dihentikan, dan secara psikologis masyarakat juga terpengaruh, sehingga otomatis ekonomi mengalami shock,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com belum lama ini.

Redaksi mengulas kembali kondisi ekonomi makro selama pandemi dari beberapa indikator. Secara garis besar, ekonomi jatuh paling dalam pada kuartal II 2020, bertepatan dengan kemunculan awal pandemi di Indonesia.

Selanjutnya, semua indikator pulih secara perlahan hingga kuartal II 2021 ini. Namun, Tauhid melihat ancaman pelemahan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2021 karena PPKM darurat sejak 3 Juli 2021 lalu.

“Bisa kita lihat, tampaknya tidak ada yang kebal dengan covid-19. Jadi covid-19 tidak kenal negara maju berkembang semua kena dampaknya tak terkecuali Indonesia,” ujar Kepala BPS saat itu, Suhariyanto.

Struktur Produk Domestik Bruto (PDB) berdasarkan pengeluaran kompak lesu. Konsumsi rumah tangga sebagai komponen dengan sumbangan terbesar pada PDB (58,14 persen), hanya tumbuh 2,84 persen, anjlok dari 5,02 persen di kuartal I 2019.

Struktur PDB menurut lapangan usaha, mayoritas melambat. Dari 17 sektor lapangan usaha, hanya tiga yang menguat meliputi jasa keuangan dan asuransi, informasi dan komunikasi, jasa kesehatan dan kegiatan sosial.

Perlambatan itu hanya sinyal awal. Pada kuartal selanjutnya, pertumbuhan ekonomi ‘berdarah’ hingga minus 5,32 persen. Ini merupakan kejatuhan paling dalam selama pandemi. Angka ini berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2019, yakni 5,05 persen.

“Pandemi menimbulkan efek domino dari kesehatan menjadi masalah sosial dan ekonomi. Dampaknya menghantam lapisan masyarakat di rumah tangga sampai korporasi,” jelas Suhariyanto saat pengumuman Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II 2020.

Kontraksi ekonomi memang tidak bisa dihindari lantaran pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai 10 April 2020. Pengetatan pembatasan diperpanjang beberapa kali hingga akhirnya dilonggarkan menjadi PSBB transisi pada awal Juni 2020.

Semua kelompok pengeluaran mengalami kontraksi. Konsumsi rumah tangga sebagai penyumbang terbesar pada PDB (57,85 persen) minus 5,51 persen (yoy), berbanding terbalik dengan kuartal II 2019 yang tumbuh 5,18 persen.

Sebanyak 10 dari 17 lapangan usaha tercatat minus. Tiga sektor yang terjerembab paling dalam yakni transportasi dan pergudangan minus 30,84 persen (yoy), akomodasi dan makan minum minus 22,02 persen, dan jasa lainnya 12,6 persen.

Melangkah ke kuartal III/2020, RI resmi masuk jurang resesi ekonomi. Kondisi resesi ditandai dengan kontraksi pertumbuhan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut. Indonesia mengalami resesi ekonomi bersama sejumlah negara lain di dunia seperti AS, Jerman, Italia, Perancis, Korea Selatan, Malaysia, Thailand, dan lainnya.

Pertumbuhan ekonomi kuartal III/2020 kembali minus 3,49 persen, meski membaik dari tiga bulan sebelumnya. Penopang pemulihan ekonomi sepanjang Juli-Agustus adalah konsumsi pemerintah yang tumbuh 9,76 persen.

Seperti diketahui, pemerintah menggelontorkan bantuan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) bagi masyarakat kurang mampu hingga dunia usaha. Sementara, konsumsi rumah tangga masih kontraksi, 4,04 persen, membaik dari kuartal II, yakni minus 5,51 persen.

Menutup 2020, pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi 2,07 persen. Angka ini berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi sepanjang 2019 yakni 5,02 persen. Berdasarkan catatan BPS, ini merupakan pertama kalinya Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi setelah krisis moneter 1998.

Konsumsi rumah tangga belum pulih sepenuhnya karena masih minus 2,63 persen. Berbanding terbalik dengan capaian selama 2019 yakni tumbuh 5,04 persen.

Selanjutnya, kontraksi pertumbuhan ekonomi berhasil ditekan ketika memasuki 2021. Hal ini sejalan dengan penurunan jumlah kasus covid-19 serta pelonggaran pembatasan sosial.

Pada awal tahun, pemerintah mengganti PSBB dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Bedanya, PPKM menyasar pada pembatasan kegiatan masyarakat secara terbatas berbasis pada kota dan kabupaten, bukan pada lingkup provinsi. Dengan demikian, daerah yang berada di zona hijau bisa beraktivitas lebih longgar sehingga mendorong pemulihan ekonomi.

Pada kuartal I 2021, pertumbuhan ekonomi tercatat minus 0,74 persen. Konsumsi rumah tangga yang menyumbang 56,93 persen PDB belum pulih, sehingga tercatat negatif 2,23 persen.

Sebanyak 11 sektor masih ‘berdarah’, namun membaik ketimbang kondisi 2020. Sementara, enam sektor berhasil tumbuh positif dipimpin kenaikan sektor informasi dan komunikasi 8,72 persen.

Pada kuartal II 2021, pertumbuhan ekonomi berhasil balik arah dengan mencatatkan pertumbuhan 7,07 persen. Raihan ini sekaligus menandai RI lepas dari jerat resesi ekonomi.

Konsumsi rumah tangga dengan kontribusi 55,07 persen terhadap PDB, tumbuh 5,93 persen. BPS merekam sejumlah fenomena yakni kenaikan penjualan eceran 11,62 persen serta penjualan wholesale mobil dan motor melesat masing-masing 904,32 persen dan 268,64 persen. Pelonggaran pembatasan juga mengerek penumpang transportasi kereta api 114,18 persen, laut 173,56 persen, dan udara 456,51 persen.

Semua sektor tumbuh positif, dipimpin lonjakan sektor transportasi dan pergudangan sebesar 25,10 persen. Disusul, akomodasi dan makan minum sebesar 21,58 persen, jasa lainnya 11,97 persen dan jasa kesehatan 11,62 persen.

Namun, Tauhid menilai lonjakan pertumbuhan ekonomi itu hanya semu, karena berangkat dari basis rendah yakni minus 5,32 persen pada periode yang sama tahun lalu. Sebaliknya, ia memprediksi pertumbuhan ekonomi kembali melambat di kuartal III 2021 karena terjadi lonjakan kasus akibat varian delta.

“Masyarakat kelompok menengah atas dengan varian delta justru akan mengurangi aktivitas belanja, terutama untuk konsumsi. Ini yang akan membuat pertumbuhan ekonomi tidak stabil di angka 5 persen dalam jangka panjang. Tetap akan ada pertumbuhan ekonomi tapi tidak stabil, dia akan mudah sekali up and down,” tuturnya.

Inflasi
Salah satu indikator yang bisa digunakan untuk mengukur kemampuan daya beli masyarakat adalah tingkat inflasi. Imbas pandemi, Indonesia mengalami deflasi tiga bulan berturut-turut terjadi yakni minus 0,1 persen pada Juli 2020, minus 0,05 persen pada Agustus 2020, dan minus 0,05 persen pada September 2020.
BPS merekam kejadian itu merupakan deflasi berturut-turut pertama kalinya sejak 1999 lalu. BPS juga mengkonfirmasi bahwa catatan itu menunjukkan daya beli masyarakat Indonesia melemah akibat pandemi.

“Ini menunjukkan daya beli kita masih sangat-sangat lemah. Selama kuartal III 2020, daya beli masih lemah. Bahkan, inflasi April-Mei yang ada Ramadan dan Idul Fitri lemah,” ujar Suhariyanto.

Inflasi perlahan merangkak mulai akhir 2020 lalu. Memasuki 2021, inflasi cenderung fluktuatif dengan catatan tertinggi pada Mei 2021 sebesar 0,32 persen dan terendah pada Juli 2021 0,08 persen.

Melihat angkanya, Tauhid menilai tingkat inflasi masih relatif rendah, sehingga belum kembali ke titik normal. Hal ini didasari fakta bahwa permintaan barang kebutuhan pokok dan non pokok dari masyarakat belum stabil karena kasus covid-19 juga masih naik turun.

“Ketika permintaan bahan pokok dan bahan makanan yang biasanya rutin tinggi, lalu turun, sementara supply tetap, maka otomatis inflasi akan turun, ini yang terjadi di kita. Sebaliknya, jika ada perbaikan ekonomi maka permintaan barang dan jasa kembali naik, otomatis inflasi mengikuti. Tetapi, inflasi akan turun lagi jika pandemi bertambah, karena masyarakat terpaksa kurangi konsumsinya,” ujarnya.

PMI Manufaktur
Dunia usaha juga tidak luput dari terjangan badai pandemi. Untuk menggambarkan kondisinya, dapat digunakan Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur karena sektor ini menyerap banyak tenaga kerja sekaligus memberikan efek pengganda (multiplier effect) kepada sektor lainnya.

Faktanya, PMI manufaktur langsung nyungsep pada April 2020 ke level 27,5 ketika PSSB mulai diberlakukan. Bulan sebelumnya, PMI manufaktur masih bertengger di posisi 45,3.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan angka tersebut merupakan yang terburuk sejak 2011, sekaligus terparah di Asia pada periode yang sama.

“Angkanya (turun) paling dalam dibandingkan negara Asia, lebih dalam dari Jepang dan Korea Selatan,” ungkap Sri Mulyani dalam video conference.

Sebagai catatan, PMI di atas 50 mencerminkan sektor industri berada dalam kondisi ekspansi. Sebaliknya, PMI 50 ke bawah menggambarkan sektor industri mengalami kontraksi.

Pada Mei 2020, PMI manufaktur juga masih terperosok di posisi 28,6. Sektor manufaktur kembali stabil di level ekspansi pada November 2020 yakni 50,6, berlanjut pada tahun ini.

Sepanjang 2021, sektor manufaktur menunjukkan tren pemulihan. Bahkan, pada Mei 2021, PMI manufaktur mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah yakni 55,3. Rekor itu ditopang oleh kenaikan dari permintaan barang dan produksi.

Sayangnya, tak selang lama usai mencetak rekor baru, PMI manufaktur kembali jatuh pada level kontraksi, yakni 40,1 pada Juli 2021. Kejatuhan manufaktur dipicu oleh pengetatan mobilitas melalui PPKM darurat karena varian delta mengerek jumlah kasus covid-19.

Pengangguran dan Kemiskinan
Terpuruknya kondisi perekonomian berimbas pada dunia usaha sehingga memaksa sejumlah perusahaan mengurangi karyawan agar bisa bertahan. Banyak pekerja mengalami pemotongan gaji, dirumahkan tanpa upah (unpaid leave), hingga PHK.
BPS mencatat penduduk usia kerja yang terdampak pandemi covid-19 sebanyak 29,12 juta per Agustus 2020. Pada periode yang sama, jumlah pengangguran naik 2,67 juta (yoy) menjadi 9,77 juta orang, dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) 7,07 persen. Angka ini merupakan jumlah pengangguran tertinggi selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2014 lalu.

Padahal, tepat sebelum pandemi yakni Februari 2020 jumlah pengangguran bisa ditekan ke level 6,88 juta orang, dengan TPT 4,99 persen. Berbanding terbalik, angka justru posisi TPT terendah selama kepemimpinan Jokowi. Sayangnya, capaian tersebut tidak bisa dipertahankan akibat terjangan pandemi.

Ironi lain pada sektor tenaga kerja adalah kenaikan pekerja informal 4,59 persen (yoy) menjadi 60,47 persen, atau 77,68 juta orang pada Agustus 2020.

“Pekerja yang kehilangan pekerjaan di sektor formal biasanya akan mencari pekerjaan seadanya di sektor informal,” ujar Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Akhmad Akbar Susamto.

Namun, sejalan dengan pemulihan ekonomi, jumlah pekerja terdampak pandemi pun berkurang 10,02 juta orang menjadi 19,10 juta pada Februari 2021. Sementara, jumlah pengangguran juga turun menjadi 8,75 juta, dengan TPT 6,26 persen pada periode yang sama. Jumlah pekerja informal juga berkurang 0,85 persen menjadi 59,62 persen atau 78,14 juta orang.

Namun, Akhmad memperkirakan angka pengangguran kembali meningkat pada Agustus 2021 disebabkan oleh implementasi PPKM darurat dan level selama lebih dari sebulan terakhir.

Perkiraannya, jumlah pengangguran bertambah menjadi 9,98 juta – 10,28 juta jiwa dengan TPT 7,15 persen-7,35 persen. Sementara, proporsi tenaga kerja pada sektor informal diperkirakan naik ke 60 persen-61 persen

“Perkiraan saya, tingkat pengangguran pada Agustus 2021 dan tingkat pengangguran pada September 2021 akan meningkat,” ujarnya.

Bertambahnya jumlah pengangguran memberikan dampak lanjutan pada kenaikan jumlah penduduk miskin.

Padahal, Kepala Negara pernah membanggakan bahwa Indonesia berhasil mencetak rekor persentase penduduk miskin satu digit sejak krisis moneter 1998, yakni pada September 2018. Kala itu, BPS mencatat tingkat kemiskinan 9,66 persen, setara 25,67 juta orang.

Sayangnya, tingkat kemiskinan kembali ke dua digit pada September 2020, yakni 10,19 persen setara 27,55 juta orang akibat pandemi. Memasuki 2021, jumlah penduduk miskin bisa berkurang yakni 27,54 juta orang pada Maret 2020. Namun, tingkat kemiskinan belum kembali ke satu digit, yakni 10,14 persen.

Serupa dengan kondisi pengangguran, Akhmad memperkirakan jumlah penduduk miskin kembali naik pada September 2021 mendatang menjadi 27,84 juta- 28,38 juta jiwa, dengan tingkat kemiskinan 10,25 persen-10.45 persen.

“Tingkat kemiskinan dan jumlah penduduk miskin ini lebih tinggi dari tingkat kemiskinan pada September 2020 dam Maret 2021,” pungkasnya.

sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY