Cerita 8 Jam Bersama Pegawai KPK, Melawan sampai Penghabisan

0

Pelita.Online – Satu hari jelang pemberhentian dengan hormat 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), 29 September 2021.
Pukul 09.30 WIB, sebuah ruangan yang berada di lantai dasar Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dipenuhi dengan orang-orang yang hendak mengantarkan ribuan surat ke Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

Mereka terdiri dari empat pegawai KPK nonaktif yakni Tri Artining Putri (Puput), Rieswin Rachwell, Benydictus Siumlala Martin Sumarno, dan Ita Khoiriyah (Tata), serta sejumlah perwakilan dari elemen masyarakat sipil seperti buruh, mahasiswa, korban korupsi bansos Covid-19, hingga Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK).

Di atas meja cokelat, boks berisikan 1.505 surat hendak dibawa ke Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg). Surat itu terkumpul dari individu yang hadir di kantor darurat pemberantasan korupsi, Amnesty International Indonesia (AII), dan kelompok masyarakat sipil di Sumatera Barat.

Selain mengirim surat, perwakilan masyarakat ini juga menyampaikan petisi change.org yang ditandatangani 70.503 orang.

Keempat pegawai KPK nonaktif itu, mewakili 57 pegawai, masih terus berjuang menuntut haknya untuk bisa diangkat sebagai ASN di KPK di tengah ‘angin segar’ tawaran Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo yang hendak merekrut mereka sebagai ASN Polri.

Tak terlihat kecemasan di wajah para pegawai KPK nonaktif tersebut selama pertemuan berlangsung.

Sembari membereskan surat-surat yang akan dikirim, mereka terlihat menyempatkan diri ikut rapat secara daring bersama pegawai KPK nonaktif lainnya.

Rapat itu merespons niat Kapolri yang berniat merekrut puluhan pegawai KPK tak lolos TWK menjadi ASN Polri. Hasil rapat adalah para pegawai akan melakukan konsolidasi dengan Ombudsman RI dan Komnas HAM terlebih dahulu sebelum menentukan sikap.

Hal itu dilakukan karena dua lembaga negara independen tersebut menemukan malaadministrasi dan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan alih status melalui metode asesmen TWK. Dua di antara banyak rekomendasi ke Presiden Jokowi adalah memulihkan status dan mengangkat pegawai KPK tak lolos TWK menjadi ASN di KPK.

Waktu menunjukkan pukul 13.00 WIB. Mereka mulai bergerak menuju kantor Kemensetneg. Matahari di ubun-ubun kepala mengiringi perjalanan mereka mencari keadilan.

Sekitar 20 menit kemudian, tiga mobil tiba di kantor Kemensetneg yang berlokasi di Jalan Veteran, Jakarta Pusat. Iktikad baik mereka tidak mendapat respons positif dari petugas kantor kementerian tersebut.

Para petugas sempat keberatan dengan kehadiran koalisi masyarakat sipil karena terganggu dengan atribut yang dibawa seperti replika surat berukuran besar. Petugas juga sempat melarang pengambilan dokumentasi.

“Mas, jangan ambil-ambil gambar,” ujar salah seorang petugas.

“Kenapa pak, apa ada aturan yang melarang pengambilan dokumentasi. Bisa tunjukkan ke saya?” jawab pengacara publik dari LBH Jakarta, Shaleh Al Ghifari.

“Ini [replika surat] sudah terlihat di dalam, nanti dikiranya ada demo,” lanjut petugas tersebut.

“Enggak, Pak. Kita mau antar surat aja sesuai prosedur yang ada. Dokumentasi juga jangan dilarang,” timpal Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana.

Peristiwa itu setidaknya memakan waktu sekitar 20 menit sebelum datang salah seorang petugas akhirnya memberi izin pengambilan dokumentasi. Satu per satu surat dimasukkan ke dalam kotak bertuliskan ‘Surat Presiden RI’.
Pesan umum yang ada di setiap surat adalah permintaan pembatalan pemecatan 57 pegawai KPK yang disebut tidak lolos asesmen TWK. Sementara satu pesan lainnya meminta Presiden Jokowi memperhatikan hidup rakyat terutama di masa pandemi Covid-19.

“Kami hidup di masa pandemi sudah sangat sulit, Pak, masa maling yang malah didukung dengan pelemahan KPK,” tulis seorang warga bernama Seva dalam sebuah surat.

Proses administrasi mengirim ribuan surat dan petisi ke Presiden Jokowi menghabiskan waktu sekitar 45 menit.

Para pegawai KPK nonaktif dan elemen masyarakat sipil itu kemudian bergegas ke kantor darurat pemberantasan korupsi yang berada tepat di depan Gedung Edukasi Antikorupsi KPK, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan.

Kantor darurat ini bukan tandingan KPK, melainkan simbol dan semangat masyarakat agar pemberantasan korupsi terus ada meskipun KPK terus dilemahkan.

Puput, Rieswin, Beny, dan Tata tidak pernah absen sejak kantor darurat pemberantasan korupsi dibuka pada Jumat, 17 September 2021.

Sejak menerima Surat Keputusan (SK) Nomor 652 Tahun 2021 tentang penonaktifan pegawai tak lulus TWK, keempat orang tersebut mempunyai tugas untuk melakukan kampanye mengenai permasalahan alih status pegawai KPK menjadi ASN ke sejumlah elemen masyarakat.

“Sejak SK 652, kami sudah berkeliling bersama dengan kawan-kawan masyarakat sipil untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi pada masyarakat. Kami ke Karawang menemui buruh, kami ke teman-teman jurnalis, terakhir kami ke Bandung menemui buruh-buruh perempuan dan kawan-kawan Kamisan Bandung,” tutur Beny.

Dari serangkaian agenda kampanye tersebut, masyarakat memberikan respons yang luar biasa. Dia spesifik menyoroti dukungan masyarakat di Bandung yang menurutnya membangkitkan semangat pegawai KPK nonaktif untuk melawan ketidakadilan.

“Dukungan masyarakat atas kantor darurat pemberantasan korupsi dan pemecatan kami membuktikan bahwa masyarakat Indonesia itu logis dan jernih dalam berpikir. Rakyat mampu membedakan benar dan salah,” ucap Beny.

Orasi, aksi teatrikal, hingga pertunjukan musik mengisi agenda kantor pemberantasan darurat sore itu. Perlawanan terus digaungkan meski Presiden Jokowi belum menyampaikan sikap secara resmi terkait polemik peralihan status pegawai KPK menjadi ASN. Agenda itu berakhir tepat pada pukul 17.30 WIB.

Pemecatan dan angin segar yang dilontarkan oleh Kapolri tak lantas membuat mereka berhenti berjuang merebut haknya yang telah dirampas melalui asesmen TWK yang sarat dengan masalah.

“Inisiatif pengangkatan sebagai ASN di instansi selain KPK tidak menggugurkan rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman tentang TWK yang bermasalah,” demikian sikap resmi 57 pegawai KPK yang disingkirkan tersebut.

“Sehingga, kami berharap pelanggaran HAM dan cacat prosedur yang terjadi dalam pelaksanaan TWK tetap harus ditindaklanjuti.”

sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY