Hingga Oktober, Penerbitan Obligasi Naik 28% Jadi Rp 144,9 T

0

Pelita.Online – Sepanjang Januari hingga Oktober 2022, PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) mencatat penerbitan obligasi korporasi mencapai Rp 144,9 triliun naik 28,23% dari tahun lalu mencapai Rp 113 triliun.

Fixed Income Analyst Pefindo Ahmad Nasrudin mengatakan, angka tersebut melebihi surat utang yang jatuh tempo sehingga outstanding meningkat dari Rp 493,5 triliun menjadi Rp 520,5 triliun. Meningkatnya penerbitan obligasi korporasi sejalan pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat. Selain itu, didukung kebutuhan refinancing dan memanfaatkan suku bunga rendah di awal tahun untuk mengganti surat utang mahal dengan yang lebih murah.

“PDB (produk domestik riil) riil tumbuh 5,72% year on year (YoY) pada kuartal III 2022 dan secara kumulatif 5,3% YoY selama tiga kuartal pertama 2022, lebih tinggi daripada 3,69% pada tahun 2021. Sementara surat utang jatuh tempo untuk tahun 2022 mencapai Rp 157,04 triliun, 25,2% lebih tinggi dibandingkan dengan Rp 125,41 triliun pada tahun 2021,” jelasnya kepada Investor Daily.

Ia menjelaskan secara keseluruhan penerbitan sektor non-keuangan melampaui sektor keuangan. Sementara sektor keuangan menghadapi likuiditas yang melimpah meski baru-baru ini mulai mengetat seiring kebijakan moneter yang lebih ketat. Hal ini membuat sektor ini mengurangi kebutuhan untuk menerbitkan obligasi. Sementara sektor non-keuangan menghadapi peningkatan permintaan seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. “Mereka membutuhkan lebih banyak dana untuk investasi dan modal kerja mereka,” ujarnya.

Lebih lanjut, institusi bank dan perusahaan pembiayaan meningkatkan penerbitan setelah sebelumnya mengurangi di tengah lemahnya permintaan jasa dan tingginya likuiditas selama 2 tahun terakhir. Perusahaan pembiayaan menerbitkan Rp 41,90 triliun selama Januari-Oktober 2022, meningkat 6,7% dibandingkan Rp 39.26 triliun pada tahun 2021.

Kemudian, penerbitan perbankan meningkat 83,6% dari Rp 7,68 triliun menjadi Rp 14,09 triliun untuk periode perbandingan yang sama. Lonjakan penerbitan juga dibukukan emiten di industri pertambangan mencapai Rp 13,23 triliun, lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2022.

Risiko default
Tren peningkatan suku bunga semakin menguatkan beban perusahaan yang memiliki utang. Kenaikan suku bunga juga meningkatkan cost of fund penerbitan obligasi.

Menurut Ahmad, dengan kenaikan suku bunga akan meningkatkan risiko keuangan. Hal ini tergambar dari kenaikan premi yang diminta investor, serta spread antara yield obligasi korporasi dan yield obligasi pemerintah.

Namun, secara historis Ahmad melanjutkan, kenaikan ini dinilai wajar dan mendekati level sebelum pandemi atau level normal. “Kita tahu bahwa penurunan suku bunga di awal 2021 telah memicu penurunan beban bunga,” tutur Ahmad.

Untuk terhindar dari risiko gagal bayar, emiten bisa melakukan beberapa strategi khusus. Pada sektor industri komoditas, beberapa emiten mulai buyback, dengan demikian emiten mendapatkan berkah dari kenaikan harga komoditas. Sehingga, aliran dana cash bisa lebih besar sebagai bentuk antisipasi atau untuk melunasi utang.

Di sisi lain, beberapa perusahaan terutama terkait sektor komoditas, mengambil keuntungan dari koreksi pasar obligasi global untuk membeli kembali utang berdenominasi dolar. Emiten dengan neraca dan saldo kas kuat melihat ini sebagai peluang melakukan de-leverage dengan biaya lebih rendah.

Salah satunya yakni PT Indika Energy Tbk (INDY) yang telah membayar lebih dari US$ 300 juta melalui tender obligasi dan pembelian pasar terbuka pada 2022. Lebih lanjut, PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) membeli kembali US$ 20 juta dari US$ 750 juta obligasi 2024 di pasar terbuka pada September.

Contoh lainya, yakni PT ABM Investama Tbk (ABMM) membeli kembali US$ 40 juta dalam tender pada obligasi US$ 200 juta yang jatuh tempo pada 2026. Sementara PT Bumi Resources Tbk (BUMI) melunasi US$ 1,2 miliar pada utang 2022 pada November.

sumber : beritasatu.com

LEAVE A REPLY