Jokowi Didesak Cabut Aturan Diskriminatif Orba bagi Korban HAM 65

0

Pelita.Online – Korban pelanggaran HAM berat 1965 Bedjo Untung mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mencabut sejumlah aturan perundang-undangan warisan Orde Baru yang diskriminatif terhadap korban 65.
Menurut Bedjo langkah itu seharusnya dilakukan jika Jokowi benar-benar ingin memulihkan hak korban.

“Jokowi harus segera cabut, evaluasi UU warisan Orba, kalau tidak dilakukan, jadi omong kosong penyelesaian 65,” kata Bedjo kepada CNNIndonesia.com, Rabu (11/1).

Beberapa aturan yang dimaksud Bedjo salah satunya Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 28/1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat Gerakan 30 September (G30S) Golongan C.

Pasal 1 Kepres tersebut berbunyi golongan C adalah mereka yang terlibat atau diduga terlibat secara tidak langsung dalam peristiwa pemberontakan G30S. Orang yang dikategorikan ini dicabut beberapa haknya, termasuk hak bekerja.

Lalu, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) Nomor 25 Tahun 1966. Salah satu isinya, melarang menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.

Menurut Bedjo, larangan tersebut tak seharusnya ada. Apalagi, dilanggengkan lewat Kitab Undang-undan Hukum Pidana (KUHP).

“Ada juga surat Mendagri. Sampai sekarang masih ada larangan enggak boleh masuk ABRI, dokter, guru, ini belum dicabut. Harusnya kan adil, fair,” kata dia.

Bedjo ingin peristiwa 1965 diadili di pengadilan. Menurutnya, ada ribuan orang yang tidak bersalah menjadi korban dalam kejahatan kemanusiaan itu.

“Artinya persoalan 65 khususnya yang saya alami harus dibuka sejelas-jelasnya agar tidak ada fitnah, labelisasi, stigmatisasi dan diskriminasi kepada kami,” ujarnya.

Dia mendesak Jokowi untuk mengeluarkan surat keputusan presiden terkait rehabilitasi umum.

“Kami para korban sudah mengalami penderitaan disiksa, ditahan, kerja paksa, supaya mengeluarkan surat keputusan presiden tentang rehabilitasi umum,” ujarnya.

“Untuk memulihkan kondisi para korban semacam seperti sebelum terjadi peristiwa karena kami tidak bersalah tapi hak-hak kami diambil. Hak ekonomi, politik, sosial, masa muda kami habis,” imbuhnya.

Sebelumnya, Jokowi menyatakan ia mengakui adanya kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Tanah Air. Ia pun menyesalkan berbagai pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam berbagai peristiwa.

“Dengan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara RI mengakui bahwa pelanggaran HAM berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” kata Jokowi dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Rabu (11/1).

Dalam kesempatan itu, Jokowi menyebutkan 12 kasus pelanggaran HAM berat terjadi di Indonesia.

Ia menyebut antara lain peristiwa 1965-1966, penembakan misterius tahun 1982-1985, tragedi Rumah Geudong di Aceh tahun 1989, penghilangan orang paksa di tahun 1997-1998, dan kerusuhan Mei 1998.

sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY