Kembangkan Green Pharmacy, ITB Jadi Mitra Pemerintah untuk Riset Farmasi dan Kesehatan

0

Pelita.Online – Guna mengurangi ketergantungan obat obatan impor, pemerintah terus mengembangkan riset dan inovasi bidang farmasi dan kesehatan bersama perguruan tinggi. Salah satu di antaranya adalah Institut Teknologi Bandung (ITB).

Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Dr Lucia Rizki Andalucia menjelaskan alasan mengapa ITB menjadi bagian project Green Pharmacy.

“Salah satu yang berkaitan erat dengan ITB ini adalah kemandirian di bidang kesehatan dan kefarmasian, bagaimaina kita memiliki produk inovatif, bagaimana Indonesia memiliki kemandirian di bidang kefarmasian dan tidak tergantung dari produk impor,” katanya seusai acara Seminar bertajuk Green Pharmacy: From Innovation Towards Development and Applications for The Bright Future pada Lustrum ke-15 sekaligus ulang tahun ke-75 Sekolah Farmasi ITB pada Selasa, 11 Oktober 2022.

Lucia mengatakan, perkembangan teknologi kefarmasian saat ini sudah bergeser dari produk kimia ke arah biologis atau biofarmasi. Ini karena hal itu mampu memberikan kecepatan dalam pengembangan industri obat obatan dan aspek pencemaran terhadap lingkungan juga lebih rendah.

“Kalau kimia kan kita tahu sendiri, dari mulai bahan baku kimianya saja, di Petrokimia sangat sulit untuk mendapatkan reduksi cemarannya, kemudian mendapatkan kemurniannya juga sulit. Nah sekarang di seluruh dunia itu sudah bergeser ke arah biofarmasi produk,” ucapnya.

Demikian pula, pengembangan produksi Biofarmasi ini bukan hanya untuk obat saja melainkan juga untuk vaksin, obat yang berbasis pada bahan alam, maupun untuk alat diagnostik.

“Nah, inilah yang kami harapkan ada kemandirian. Di Kemenkes kami ada program namanya BGSI (Bio, Genom, Sains, Inisiatif) kami akan melakukan pengembangan obat-obatan, vaksin yang berbasis genomic, karena memang sekarang eranya preseseur medicine, tujuannya untuk meningkatkan kualitas dan keberhasilan terapi-terapi,” ujarnya

Lucia juga mengatakan di Kemenkes tidak dilakukan penelitian dasar mengenai program ini. Untuk itu, pihaknya bekerjasama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan ITB untuk melakukan hal tersebut.

“Manakala sudah menjadi penelitian terapan yang ke pasien itu tugas kami, karena melibatkan rumah sakit yang ada di bawah kemenkes. Makanya kami tadi mengajak para peneliti dari ITB mau mahasiswa ataupun dosennya, untuk ikut berpartisipasi dalam pengembangan biofarmasi,” ucapnya.

Berkenaan dengan kucuran anggaran dari Pemerintah sebesar Rp 400 miliar lebih yang dinilai terlalu kecil untuk membiayai riset, Lucia mengaku sumber pendanaan tidak sepenuhnya mengandalkan anggaran pemerintah. Sebab konsep kolaborasi dengan organisasi Internasional seperti Bank Dunia, yang juga konsen terhadap pengembangan program tersebut.

“Tapi bisa kolaborasi dengan organisasi internasional yang bergerak dalam pengembangan obat, itu semua akan mensupport, Bank Dunia sendiri juga punya program untuk pengembangan obat maupun vaksin. Apalagi kemarin belajar dari pandemi yah,” ucapnya.

Di tempat yang sama, Deputi Bidang Fasilitas Riset dan Inovasi BRIN, Agus Haryono menambahkan, sesuai dengan arahan Presiden Jokowi, skema riset dan inovasi program Indonesia Maju difokuskan pada tiga bidang.

“Pertama kesehatan, kedua pangan, kemudian energi. Jadi tiga itu yang difokuskan, jadi kalau kesehatan terkait obat juga,” ucap Agus

Agus menambahkan, salah satu strategi BRIN di penguatan SDM dalam kurun waktu setahun sampai lima tahun yang akan datang, yaitu mengirimkan 250 peneliti mereka ke luar negeri.

“Kami akan mengirim 250 Phd ke luar negeri di bidang biodiversitas. Karena kami mengharapkan biodiversitas kita bisa dimanfaatkan, termasuk untuk kesehatan,” ujarnya.

Mengenai bahan baku obat yang menjadi sumber daya di Indonesia, Agus mengatakan sangat melimpah. Bahkan sangat ironis, bahan baku obat obatan tersebut justru bersumber dari kekayaan alam Indonesia.

“Sekarang obat kita itu 70 persen diproduksi dalam negeri, hanya bahannya diimpor dari luar, dan ironisnya bahan itu sebenarnya dari Indonesia dikirim keluar, diproses, dan kita beli lagi, nah ini yang sekarang coba kami perbaiki agar kita bisa memproses sendiri,” kata Agus.

Ia mengambil contoh, garam farmasi misalnya, bahan bakunya justru bersumber dari Indonesia. Namun hingga kini Indonesia belum memiliki kemampuan untuk memproses garam tersebut menjadi garam farmasi.

“Kita kan punya banyak garam, tapi kita belum punya kemampuan untuk memproses garam itu menjadi level garam farmasi, nah sekarang peneliti BRIN bekerjasama dengan Kimia Farma menghasilkan garam farmasi,” ujarnya.

“Demikian juga dengan obat tradisional yang bisa membantu mengurangi ketergantungan dari obat dari luar. Termasuk jejamuan,” ucapnya.

Berkenaan dengan kebijakan Pemerintah yang akhirnya memutuskan untuk mengembangkan Green Pharmacy, Agus menegaskan banyak hal positif yang bisa diambil dari kebijakan tersebut. Satu diantaranya, mampu meminimalisir dampak industri farmasi terhadap lingkungan.

“Dia lebih ramah lingkungan karena memperhatikan limbahnya lebih sedikit, kemudian pacakaging nya ramah lingkungan, supaya tidak ada proses kimia yang berlebihan. Intinya dampak terhadap lingkungan bisa diminimalkan,” ujarnya. (Mochamad Iqbal Maulud).

sumber : pikiran-rakyat.com

LEAVE A REPLY