Kerajinan Tenun Ikat NTT Mampu Tingkatkan Ekonomi Rakyat

0

Pelita.online – Kerajinan tenun ikat Nusa Tenggara Timur (NTT) membuat para perempuan penenun mampu membantu perekonomian rumah tangga. Jika kerajinan masyarakat lokal NTT ini bisa berkembang maka akan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat lokal.

Kenyataan itulah yang membuat Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Dekranasda NTT), Julie Laiskodat berkomitmen mengembangkan kerajinan tenun ikat buatan masyarakat lokal.

Kerajinan kain tenun ikat asli NTT bernilai jual tinggi dan tidak kalah berkualitas dengan kain tenun dari daerah lain. Terdapat sekurangnya 800 motif dari 22 wilayah kabupaten kota di NTT.

“Tenunlah yang membuat para perempuan (bisa) membantu perekonomian rumah tangga,” kata Julie Laiskodat dalam wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Beritasatu Media Holdings, Primus Dorimulu, baru-baru ini di NTT.

Julie yang merupakan anggota Komisi IV DPR ini menuturkan, sebagian besar desa di NTT masih membawa tradisi, yakni perempuan yang belum bisa menenun dia belum bisa menikah.

Pada saat pernikahan secara adat pun, suka tidak suka pasti ada kain tenunnya.

Menurutnya, kain tenun asli NTT memiliki makna yang sangat mendalam dan tidak bisa digantikan dengan kain tenun buatan mesin.

Selain digunakan dalam tradisi, saat ini kain tenun buatan tangan masyarakat NTT juga sudah digunakan sebagai fashion.

Lulusan Arlington Bachelor Businees Of Administration, Universitas Of Texas ini menuturkan, rata-rata masyarakat NTT memiliki mata pencarian sebagai petani atau nelayan.

Namun bila musim tidak bagus, maka para nelayan tidak bisa melaut. Begitu juga ketika musim kering datang maka mereka tidak bisa bercocok tanam.

“Tapi dapur tidak bisa musiman, harus ada sesuatu pekerjaan itu yang tanpa musim. Menurut saya, tenunlah yang membuat para perempuan bisa membantu perekonomian rumah tangga,” ujarnya.

Kendati demikian, diakui Julie bahwa untuk menciptakan kain tenun ikat asli, para penenun membutuhkan waktu yang cukup lama.

Hal ini terjadi karena masyarakat NTT hanya menjadikan kerajinan tenun sebagai usaha sampingan.

“Mama-mama penenun itu tidak menjadikan menenun itu sebagai pekerjaan pokok. Mereka (kaum perempuan) tidak hanya mengurus rumah tangga, suami, anak, tapi juga harus berkebun. Pada saat tidak ada pekerjaan keseharian itu, barulah mereka menenun,” ucapnya.

Untuk menyiasatinya, Julie mengaku saat ini sudah membentuk kelompok-kelompok binaan masyarakat penenun di NTT. Mereka memiliki target bekerja agar mampu menghasilkan tenunan yang cepat dan berkualitas.

“Saat ini saya sudah ada binaan-binaan kelompok yang saya bikin seperti kerja, 6 sampai 8 jam wajib menentun sehingga dalam jangka waktu sekian lama sudah selesai, tidak perlu memakan waktu berbulan-bulan atau tahunan,” katanya.

Terkait dengan kecepatan dan konsistnsi produksi, Julie mengakui saat ini keberadaan kain tenun ikat asli masyarakat NTT terancam dengan keberadaan kain printing atau buatan mesin meski kedua jenis kain tersebut memiliki kualitas yang sangat berbeda.

“Saya bukan antiprinting karena kalau printing merajalela di Indonesia, khususnya di NTT, itu berarti mematikan mata pencarian mama-mama penenun,” ujarnya.

Dijelaskannya, selama ini di NTT mempunyai tiga teknik menenun. Teknik pertama, kain tenun satu ikat, tidak timbul. Kedua teknik soti, timbul di satu sisi. Kemudian yang ketiga teknik buna, yakni timbul di dua sisi.

“Kalau printing tidak akan dapat kita punya tiga teknik itu. Yang kita dapat sebatas ikat. Jadi menurut saya dengan variasi dan budaya akan sulit sekali printing,” kata Julie.

Sumber: BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY