Kesejahteraan & Kompetensi Guru Masih Jadi PR Pemerintah

0
Guru dan siswa melakukan kegiatan belajar mengajar luar jaringan (luring) dengan metode "home visit" di rumah siswa di Tulungagung, Jawa Timur, Senin (27/7/2020). Pembelajaran luring dengan protokol kesehatan di rumah murid dalam kelompok-kelompok kecil itu dilakukan guru setempat untuk membantu siswa menyerap dan memahami mata pelajaran tertentu yang tidak bisa mereka akselerasi melalui pembelajaran daring selama pandemi COVID-19. ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko/wsj.

Pelita.online – Hari Guru Nasional (HGN) yang jatuh pada 25 November nanti masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah, khususnya perihal kesejahteraan dan sejumlah persoalan teknis dalam sertifikasi maupun kompetensi guru dalam menghasilkan generasi muda berkualitas.

Pengamat Pendidikan, Andreas Tambah mengatakan bila dilihat dari tingkat kesejahteraannya, guru pada umumnya terbagi menjadi tiga kelompok utama.

Kelompok pertama adalah guru negeri yang pada umumnya kesejahteraannya cukup baik, khususnya guru berstatus ASN berada di kota besar yang mendapatkan Tunjangan Kinerja Daerah (TKD).

Kelompok kedua adalah guru honorer di negeri yang gajinya hanya sebesar upah minimum provinsi dan belum mendapatkan sertifikasi. Tentunya menjadi beban tersendiri, sulit untuk meningkatkan kompetensi dan kinerjanya.

Kelompok ketiga adalah guru tetap yayasan yang biasanya sudah mendapat gaji tetap dan sertifikasi, tapi tanpa TKD.

Dan yang terakhir adalah kelompok keempat, yaitu guru honorer di swasta. Kelompok inilah yang harus diperhatikan betul oleh pemerintah, mereka hanya mendapat honor dari yayasan yang besarnya tidak seberapa.

“Secara umum kondisi kesejahteraan guru sudah membaik, namun demikian nasib guru honorer, dan honorer swasta harus diperhatikan, mereka hanya mendapat honor dari yayasan yang tidak seberapa sesuai kemampuan yayasan, sementara tanggung jawab mereka sama dengan guru yang mengajar di sekolah negeri,” ujar Andreas Tambah, Selasa (24/11/2020).

Sementara itu, Koordinator Nasional Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim mengungkapkan catatan sekaligus rekomendasi dari perhimpunan guru dalam memperingati HGN 2020.

“Kesejahteraan bagi guru khususnya guru honorer di sekolah swasta dan negeri perlu ditingkatkan. Perhimpunan Guru mendorong Pemda memberikan upah guru honorer minimal setara UMP/UMR, sehingga kisah guru honorer yang tragis sebab kesejahteraannya sangat minim tidak terjadi lagi. Sebagai organisasi guru, P2G banyak diisi oleh guru-guru honorer, yang upahnya hanya Rp 500.000-Rp 700.000/bulan. Di sisi lain mereka tetap dituntut sempurna dan profesional dalam melaksanakan tugas,” ujar Satriwan Salim.

“Kami sangat sedih ‘honor guru honorer ini horor’, ini sangat tidak manusiawi. Oleh karena itu kami mengapresiasi Pemerintah Pusat, Kemdikbud, dan Kempan RB serta Komisi X DPR yang membuat kebijakan membuka lowongan seleksi guru honorer menjadi Guru P3K sebanyak 1 juta lowongan tahun depan. Kebijakan strategis yang akan sangat membantu kekurangan guru di tanah air. Sampai 2024 Indonesia kekurangan 1,3 juta guru. Dengan dibukanya lowongan 1 juta guru, diharapkan akan menaikkan kesejahteraan para guru honorer dengan menjadi ASN ke depan,” tambah Satriwan Salim.

Lebih lanjut ia melihat diperlukannya pembenahan dalam rekrutmen guru dan disain pengembangan kompetensi guru ke depan.

“Dalam konteks rekrutmen guru, persoalannya sebenarnya sudah muncul di level hulu yakni ketika mahasiswa calon guru masuk kampus LPTK (Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan). Harus ada pembenahan seleksi masuk LPTK bagi calon guru, termasuk revitalisasi pengelolaan LPTK secara nasional. Bagaimanapun juga LPTK masih menjadi ‘pabrik’ calon guru. Rendahnya kompetensi guru Indonesia hingga sekarang, tak lepas dari buruknya pengelolaan guru mulai dari hulunya yakni LPTK tersebut. Pemerintah harusnya juga melaksanakan perintah Pasal 22-23 UU No. 14 Tahun 2005 Guru dan Dosen, bahwa ‘Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi calon guru untuk memenuhi kepentingan pembangunan pendidikan nasional atau kepentingan pembangunan daerah’ (Pasal 22 ayat 1) dan ‘Pemerintah mengembangkan sistem pendidikan guru ikatan dinas berasrama di lembaga pendidikan tenaga kependidikan untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan’ (Pasal 23 ayat 1),” jelas Satriwan Salim.

Pola rekrutmen seperti ini belum terwujud hingga sekarang. Padahal rekrutmen guru pola ikatan dinas ini memberikan setidaknya dua manfaat sekaligus. Pertama, guru yang direkrut adalah benar-benar guru pilihan dan memiliki kompetensi sejak mulai kuliah di LPTK yang berstatus PNS; dan kedua, rekrutmen guru pola ikatan dinas sejak di LPTK ini dapat memenuhi kekurangan guru secara nasional.

“Pengembangan dan peningkatan kompetensi guru adalah keharusan yang mesti dipenuhi oleh negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. P2G sangat kecewa melihat fakta, masih banyaknya daerah provinsi dan kota/kabupaten yang anggaran pendidikannya dalam APBD masih jauh di bawah 20%, padahal adalah menjadi kewajiban daerah (dan pusat) untuk mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD. Sudahlah anggaran pendidikan daerah kecil -bahkan P2G menemukan ada yang di bawah 5% APBD- belum lagi berapa persen yang bisa kita harapkan alokasinya untuk pelatihan dan pengembangan kompetensi guru. Padahal salah satu pokok pangkal persoalan guru nasional hingga sekarang adalah rendahnya kompetensi (kualitas) guru kita. Pemda jangan lepas tanggungjawab dalam hal ini. Politik anggaran pendidikan khususnya untuk peningkatan kompetensi guru adalah kebutuhan mendesak dilakukan, jika tidak guru-guru kita masih berkutat di urusan kompetensi yang rendah,” tutur Satriwan Salim.

Di era digital dan revolusi industri 4.0 ini, Satriwan Salim melihat keterampilan digital menjadi sebuah kebutuhan guru masa kini dan masa mendatang.

“Kami berharap guru-guru terus meng-upgrade dirinya, agar meningkatkan kemampuan dalam menggunakan perangkat teknologi digital dalam pembelajaran. Pemerintah wajib memberikan pelatihan dan sarana-prasarana penunjang digitalisasi pendidikan bagi guru. Rencana Kemdikbud melakukan ‘digitalisasi sekolah’ harus dibarengi dengan pemenuhan kebutuhan dasar infrastruktur penunjangnya seperti listrik dan sinyal internet dan terpenting memberikan pelatihan penggunaan teknologi digital dalam pembelajaran, sehingga SDM guru benar-benar siap melaksanakan yang disebut ‘cyber pedagogy’. Bahkan rasanya perlu Pemerintah menyiapkan laptop bagi setiap guru. Satu guru satu laptop. Agar kesenjangan digital seperti yang saat ini nampak selama PJJ tidak terus-menerus menjadi momok kualitas pendidikan nasional,” tambah Satriawan Salim.

Catatan terakhir dari P2G yakni menghadapi Pilkada Serentak Desember 2020 di beberapa daerah. P2G meminta dengan sangat para guru jangan mau terjebak dan terbuai dengan politik praktis, bahkan ikut memobilisasi atau dimobilisasi oleh para kandidat calon kepala daerah yang bertarung.

“Apalagi memengaruhi para siswa seperti kelas XI dan XII yang secara usia berpotensi menjadi pemilih pemula dalam Pilkada. Apalagi bagi guru berstatus ASN, yang terikat oleh Disiplin PNS dalam PP No. 53 Tahun 2010. Guru-guru hendaknya melakukan pendidikan politik dan pendidikan demokrasi yang tetap memegang tegus independensi,” tandas Satriwan Salim.

Sementara itu, Ikatan Guru Indonesia (IGI), Ramli Rahim menyebutkan harapan dari IGI ada upaya pemerintah menyederhanakan mata pelajaran dan membuat efektivitas dalam kegiatan belajar mengajar

“Untuk kesejahteraan Guru non-ASN, pemerintah perlu membantu meningkatkan status mereka sehingga pendapatan yang mereka dapatkan lebih layak. Mengurangi beban administrasi guru, selama ini guru lebih terfokus pada administrasi dibandingkan kualitas pendidikan siswa. Soal akses internet pembelajaran jarak jauh, kita harapkan semua sekolah di daerah sudah ter-cover sinyal ataupun koneksi internet,” ujar Ramli.

Sumber:BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY