Kominfo Khawatirkan Ada Titipan Parpol

0

Pelita.Online – Staf Ahli Menteri Kominfo, Henri Subiakto, mengakui masih ada perbedaan pendapat antara DPR dengan pemerintah terkait lembaga pengawas pelaksanaan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). DPR ingin lembaga pengawas independen, sementara pemerintah ngotot di bawah Kominfo.

Henri mengatakan, jika memang ada badan baru sebagai pengawas, harus disesuaikan dengan sistem presidensial, bukan parlementer. Pemerintah juga masih khawatir soal keberadaan lembaga pengawas independen ini bakal diisi komisioner titipan partai politik.

“Sementara yang kita inginkan adalah yang betul-betul clear dia adalah independen dalam artian secara pribadi profesional tidak terkait dengan partai politik,” ujarnya, Selasa (23/11).

Henri menjelaskkan, lembaga pengawas independen juga memunculkan ketidakjelasan sistem penegakan hukum. Ia mencontohkan independensi lembaga KPK yang tidak bisa diperintah Presiden.

“Kalau ada katakanlah persoalan dalam KPK misalnya, persoalan KPK yaitu korupsi itu tinggi, itu kesalahan presiden atau tanggung jawab KPK? Karena presiden tidak bisa menyuruh KPK. KPK independen,” ujarnya.

Dalam konteks seperti ini, menurut pemerintah, badan independen diturunkan di bawah presiden sesuai dengan sistem presidensial. Selain itu, Henri mengeklaim, Kominfo sudah berpengalaman mengurusi siber. Termasuk regulasinya, tata kelola, hingga sanksi.

Kominfo juga diklaim memiliki sumber daya yang bertanggung jawab terhadap persoalan transformasi digital. Menurut Henri, nantinya persoalan perlindungan data pribadi kerap terjadi di luar negeri. “Maka di situlah negara sudah terbiasa ketemu dengan asosiasi-asosiasi internasional termasuk negara-negara lain menghadapi problem global yang namanya Google, Facebook dan lain-lain,” tegasnya.

Juru Bicara Badan Siber Sandi Negara (BSSN) Anton Setiawan mengakui, perdebatan RUU PDP masih seputar posisi lembaga pengawas. Anton mengatakan sampai saat ini DPR dan pemerintah masih mencari jalan tengah yang terbaik.

“Komisi ini sangat vital bagi penerapan dan penegakan hukum RUU PDP. Independensi dan kekuatan dalam operasional pengawasan harus proporsional,” kata Anton kepada Republika, Selasa (23/11).

Anton menilai berbagai kebocoran data yang terjadi membuat pemerintah memandang RUU PDP urgen untuk segera disahkan. Perbaikan terhadap sistem elektronik di seluruh instansi makin kuat dilakukan melalui Peraturan BSSN Nomor 8 Tahun 2020 tentang Sistem Pengamanan Pada Penyelenggaraan Sistem Elektronik.

“Kemampuan tanggap insiden siber juga dibangun secara bertahap melalui pembentukan CSIRT di berbagai instansi,” ujarnya.

Anton menjelaskan sejumlah pertimbangan pemerintah sepakat lembaga pengawas berada di pemerintahan. Pertama, pemerintah tidak ingin membentuk institusi baru atau memanfaatkan instiusi yang sudah ada dengan penambahan fungsi.

Kedua, fleksibilitas dalam operasionalisasi UU ini melalui pembentukan aturan di bawahnya.

Pendapat pakar

CEO Digital Forensic Indonesia, Ruby Alamsyah menegaskan, Kominfo merupakan entitas yang juga perlu diawasi sesuai dengan RUU PDP. Kominfo tidak dapat menjadi lembaga pengawas PDP.

“Logikanya adalah kok yang diawasi juga ikutan ngawasi. Artinya akan terjadi conflict of interest. Jadi, kita sih kalau dari sisi profesional logikanya itu yang masuk dan mestinya tetap Komisi Pengawas PDP ini harus dibuat dari independen, tanpa ada unsur pemerintah. Apalagi unsur pemerintah yang badannya juga diawasi,” tegas Ruby, Selasa (23/11).

Menurutnya, pakar keamanan siber juga tidak setuju dengan pandangan Kominfo yang menyangsikan kinerja lembaga independen. Ruby menyebut, pemerintah seharusnya berkaca dari berbagai kasus kebocoran data yang terjadi itu dan memberikan kesempatan kepada pihak independen untuk menjadi Komisi Pengawas yang benar-benar profesional.

Pakar Keamanan Siber Communication and Information System Security Research Center (Cissrec) Pratama Persadha menilai, pengawasan PDP semestinya dilakukan lembaga independen. “Sudah jelas harusnya (lembaga) independen langsung di bawah Presiden karena pengumpul dan pemroses data pribadi itu bukan hanya pihak swasta. Lebih banyak dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik di pemerintahan,” kata Pratama saat dihubungi Republika, Selasa (23/11).

Ia menjelaskan, keberadaan Komisi Perlindungan Data Pribadi (Komisi PDP) memang sangat krusial. Sebab, DPR dan berbagai elemen masyarakat, termasuk Cissrec menginginkan Komisi PDP berada langsung di bawah Presiden.

Alasan utama DPR dan elemen masyarakat, kata Pratama, sangat jelas, yakni dibutuhkan Komisi Pengawas PDP yang benar-benar kuat. “Karena UU PDP sendiri berbicara soal penguasa data pribadi masyarakat bukan hanya sektor swasta, namun juga lembaga negara. Artinya UU PDP ini juga menyasar lembaga negara yang alpha dalam melakukan pemrosesan data pribadi masyarakat,” ujarnya.

sumber : republika.co.id

LEAVE A REPLY