KPK Jangan Lupakan Kasus Besar yang Jadi Perhatian Masyarakat

0
Walikota Cimahi Ajay Muhammad Priatna mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (28/11/2020). KPK resmi menetapkan dan menahan dua orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi penambahan gedung Rumah Sakit Kasih Bunda yaitu Walikota Cimahi Ajay Muhammad Priatna dan Komisaris Rumah Sakit Kasih Bunda Hutama Yonathan. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/hp.

Pelita.online – Keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo serta Wali Kota Cimahi, Jawa Barat, Ajay M Priatna hendaknya tak membuat lembaga antirasuah itu melupakan kasus besar lain yang menjadi perhatian masyarakat.

KPK yang berhasil mengungkap kasus korupsi yang diduga dilakukan Edhy Prabowo menuai apresiasi. Bahkan, tidak berselang lama kemudian, KPK kembali mengungkap dugaan kasus korupsi Wali Kota Cimahi.

Peneliti senior Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Oce Madril, mengakui, pengungkapan dua kasus terakhir yang dilakukan KPK cukup mengagetkan banyak pihak. Mengingat, sejak revisi UU KPK diberlakukan, praktis selama satu tahun KPK sangat minim prestasi.

“Fakta yang terjadi belakangan mengagetkan kita semua. Berita baik, sebab KPK mampu mengungkap perkara yang cukup strategis. Ada wali kota cimahi, ada menteri. Tentu saja ini capaian tersendiri,” kata Oce Madril, dalam webinar LP3ES bertema “Evaluasi dan Prospek Hukum Demokrasi: Mungkinkah KPK Bangkit Kembali?”, di Jakarta, Minggu (29/11/2020).

Menurut Oce, dalam revisi UU KPK banyak sekali catatan yang diberikan berbagai pihak, termasuk Pukat UGM sendiri. Persoalan-persoalan revisi membuat banyak pihak pesimistis terhadap kinerja KPK.

“Satu tahun belakangan praktis tidak ada kinerja yang bisa dikatakan capaian luar biasa. Selama hampir satu tahun tidak banyak perkara yang menarik perhatian publik yang diungkap KPK,” ucapnya.

Dirinya pun melihat dari berbagai perspektif terhadap KPK yang terkesan mengalami penurunan kinerja. Pertama, yaitu dari perspektif pimpinan KPK, Pukat UGM melihat pada 2019 saat seleksi ada banyak sekali catatan.

“Ketua KPK ada persoalan etik dengan lembaganya. Kandidat lain juga diragukan pada waktu itu. Saat fit and proper, tidak ada satupun calon pimpinan KPK yang menegaskan memperkuat OTT dan tidak menjadi fokus KPK k edepan” ujarnya.

Begitu pula dari sisi penindakan, catatan Pukat UGM menunjukkan kelima pimpinan KPK tidak punya komitmen yang kuat di penindakan. Namun demikian, dirinya pun melihat ada dinamika di internal KPK yang ingin menunjukkan bahwa KPK masih ada dan bisa mengungkap kasus besar.

“Kita lihat ada dinamika yang sedang bergerak di KPK. Pada titik tertentu ada beberapa orang di KPK sedang mencari cara untuk bagaimana membuat KPK punya peran yang lebih kuat,” ujarnya.

Dirinya mengingatkan, ketika berbicara revisi UU, maka tentunya akan berbicara pada level kelembagaan, bukan orang perorang atau personal. Revisi UU KPK tentunya akan mempengaruhi kinerja KPK secara lembaga kedepannya.

“Problem kelembagaan adalah problem kewenangan, terutama di bidang penindakan. Yang disasar revisi adalah pasal penindakan, penyadapan, yang memakai izin. Secara kelembagaan KPK sedikit mengalami perubahan karena ada dewas dan status kepegawaian. Revisi UU KPK bagi kami adalah problem kelembagaan,” ucapnya.

Jika tidak diperbaiki, maka tentunya akan sangat berpengaruh pada kinerja jangka panjang KPK dan sama sekali tidak terkait langsung dengan kasus yang belakangan diungkap.

“Kita belum tahu bagaimana arahnya ke depan, seperti apa model kinerja KPK ke depan. Saat ini masih ada banyak kasus menumpuk, kasus-kasus lama menumpuk dan tidak diselesaikan pimpinan KPK yang sekarang,” kata Oce.

Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES, Wijayanto, mengakui, ada banyak hal yang dikhawatirkan pascarevisi UU KPK. Kekhawatiran tersebut sedikit terobati dengan adanya pengungkapan kasus Menteri KKP.

“Kita nyaris tidak pernah mendengar kaus besar yang diungkap KPK. Tiba-tiba seperti mimpi di siang bolong, ada kasus besar yang diungkap,” kata Wijayanto.

Dalam kesempatan itu, Wijayanto juga menjelaskan, sedikitnya ada sembilan poin yang dinilai berisiko melumpuhkan KPK. Yaitu terancamnya independensi KPK, penyadapan dipersulit dan dibatasi, pembentukan Dewas yang dipilih DPR, sumber penyelidik dan penyidik yang dibatasi.

Kemudian penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas, kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, dan kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.

Dalam kesempatan itu, Wijayanto juga mengingatkan ada kasus besar yang menjadi perhatian masyarakat justru berjalan di tempat. Salah satunya adalah mandeknya kasus politisi PDIP, Harun Masiku.

“Untuk penangkapan Edhy Prabowo, saya sampaikan apresiasi. Ternyata masih ada secercah embun di tengah kemarau panjang. Tapi kenapa kader Gerindra, partai-partai lain tidak terungkap. Harun Masiku tidak pernah terungkap?” ucap Wijayanto.

Sumber:BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY