KPK Sebut Politik Berbiaya Tinggi Faktor Utama Korupsi di Indonesia

0
Pimpinan KPK Nurul Ghufron menyampaikan keterangan pers tentang penahanan mantan mantan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara periode 2009-2014 dan 2014-2019 di gedung KPK, Jakarta, Rabu (22/7/2020). KPK menahan 11 orang tersangka yang merupakan mantan anggota DPRD Sumut yaitu Sudirman Halawa, Rahmad Pardamean Hasibuan, Megalia Agustina, Ida Budiningsi, Syamsul Hilal, Robert Nainggolan, Ramli, Layani Sinukaban, Jamaluddin Hasibuan dan Irwansyah Damanik terkait kasus suap dari mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc.

Pelita.online –  Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron menyatakan korupsi yang masih menjadi persoalan di Indonesia bukan hanya persoalan orang per orang atau personal melainkan persoalan sistemik. Ghufron menyebut persoalan korupsi disebabkan terutama karena sistem politik di Indonesia yang masih berbiaya tinggi.

“Bacaan KPK saat ini bahwa tindak pidana korupsi bukan penyakit personal, bukan hanya penyakit personal orang perorang tetapi masalah sistemik. Faktor yang paling menentukan lahirnya tindak pidana korupsi adalah faktor politik karena politik di Indonesia berbiaya tinggi,” kata Ghufron dalam Anti-Corruption Summit-4 yang disiarkan di kanal YouTube KPK, Rabu (18/11/2020).

Ghufron mengatakan, politik berbiaya tinggi mengakibatkan penyelenggara negara yang terpilih melalui pemilihan umum berupaya mengembalikan “modal” yang dikeluarkannya saat proses pemilihan. Akibatnya, para penyelenggara negara tidak fokus melayani masyarakat, melainkan sibuk memperjualbelikan kewenangan, fasilitas dan keuangan negara agar dapat “balik modal”.

“Ketika menjabat pada jabatan-jabatan politik karena berbiaya tinggi maka kemudian dia termotivasi untuk mengembalikan modalnya pada saat termotivasi untuk mengembalikan modal maka yang terjadi adalah menjualbelikan jabatannya wewenangnya dan fasilitas dan keuangan negaranya,” kata Ghufron.

Hal ini menjadi ironis lantaran tingkat demokrasi Indonesia relatif baik. Seharusnya, semakin demokratis suatu negara semakin transparan tata kelola pemerintahannya yang berdampak pada rendahnya tingkat korupsi. Namun, nyatanya, tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi hingga saat ini.

“Idealnya demokrasi semakin bagus, rakyat semakin menemukan pemimpin-pemimpin yang baik berintegritas maka kemudian harapannya tindak pidana korupsi semakin rendah.” katanya.

Ghufron memaparkan, berdasar data penanganan perkara korupsi yang dilakukan selama ini, kejahatan korupsi terjadi hampir merata di seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Latar belakang pelaku kejahatan luar biasa ini berasal dari berbagai partai politik, suku bangsa atau agama.

Dari basis profesi, pelaku korupsi juga relatif sama di setiap daerah maupun di tingkat pusat, yakni swasta kepala daerah dan anggota dewan serta pejabat di pusat maupun daerah. Dikatakan Ghufron, sektor yang kerap menjadi bancakan pelaku yakni pengadaan barang dan jasa, perizinan dan sumber daya manusia. Modus pelaku yang paling banyak ditangani KPK, yakni suap, oemerasan dan gratifikasi dengan metode secara tunai, transfer rekening atau menggunakan mata uang asing serta transaksi di luar negeri.

Ghufron mengungkapkan, ironisnya sebagian besar atau tepatnya 64 persen pelaku korupsi yang dijerat KPK merupakan orang berpendidikan dan banyak juga pelaku yang masih berusia muda.

“Bacaan KPK, korupsi bukan penyakit partai, agama, dan suku bangsa karena hampir sama, partainya warna warni merah kuning hijau tetapi perilaku korupsinya sama. Ketiga, tingkat pendidikannya ternyata tidak linier dengan kesadaran antikorupsinya. Harapannya tingkat pendidikan tinggi maka tingkat korupsinya rendah, mestinya berbanding terbalik. Ternyata ini enggak, makin tinggi ternyata semakin inovasi dalam berkorupsi itu. Mari kita kemudian bacaan ini perlu kita kritisi,” katanya.

Sumber:BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY