Maulud, Maulid dan Habaib

0

Pelita.Online – Habib Utsman bin Yahya, Mufti Betawi, dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, lebih memilih kata maulud dari pada maulid. Maulud artinya yang dilahirkan, orang yang terlahir, seperti bunyi sebuah hadits riwayat Imam Muslim: kullu mauludin yuuladu `alal fithrah, setiap orang yang terlahir dilahirkan dalam keadaan fithrah.

Sedangkan kata maulid merupakan ism az-zaman, kata yang menunjukan waktu, yaitu waktu kelahiran. Tentu ada alasan yang bukan semata-mata alasan semantik, makna bahasa,  mengapa Habib Ustman bin Yahya lebih memilih kata maulud dari pada kata maulid.

Ada alasan yang menurut saya lebih pada maksud agar peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW tidak dibatasi oleh waktu. Kapan pun, di mana pun, kita bisa memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW; tidak harus pada tanggal 12 Rabiul Awwal saja.

Selain itu, dengan memilh kata maulud, maka dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW kita tidak terfokus pada waktu kelahirannya, melainkan fokus kepada sosok, pribadi manusia agung, manusia paripurna atau insan kamil yang terlahir, yaitu Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan suri tauladan olah umatnya sampai akhir zaman dan juga ketadanan dari keluarga dan keturunan Nabi Muhammad SAW yang terus terlahir dari jalur ahlul bait, Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein, yang tersebar sampai di Nusantara, di Indonesia sampai hari ini yang prianya yang mewarisi keilmuan Rasulullah SAW dikenal dengan sebutan habib atau hababib untuk bentuk jamaknya.

Arti habib sendiri secara bahasa adalah yang dicintai.  Mereka, habaib, adalah orang-orang yang dicintai oleh kaum Muslimin karena bukan sekadar memiliki darah Rasulullah SAW. Tetapi, menurut Habib Hamid Ja`far Alqodri dalam kegiatan FGD  riset habib di Jakarta yang diselenggarakan oleh Jakarta Islamic Centre (JIC), karena mereka juga memiliki ilmu dan keteladanan dalam kapasitasnya sebagai ulama. Karenanya, menurut Habib Hamid Ja`far Alqodri, walau ada seseorang yang nasabnya tersambung kepada Rasulullah SAW, tetapi kalau tidak memiliki ilmu dan keteladanan sebagai ulama, maka belum pantas menyandang gelar habib.

Jakarta Islamic Centre (JIC) telah melakukan riset awal terhadap habib-habib yang berpengaruh di Jakarta, dan baru tersusun 27 habib yang memang memiliki kapasaitas keilmuan dan keteladanan sebagai ulama. Peran dan kiprah mereka dalam membina dan membimbing umat Islam, khsusunya di Jakarta, begitu besar. Mereka tidak hanya memiliki karya intelektual yang sampai saat ini masih dapat dinikmati dan dijadikan rujukan umat Islam untuk beribadah, seperti Habib Utsman bin Yahhya dengan karyanya yang masih populer sampai hari ini, seperti kitab Sifat Dua Puluh, Irsyadul Anam, Adabul Insan, dan lain-lain.  Tetapi juga karya sosial, seperti Jamiat Kheir, sebuah  lembaga swasta yang bergerak pada bidang pendidikan dan berperan penting dalam sejarah perjuangan Indonesia. Berpusat di jalan KH Mas Mansyur 17, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Jamiat Kheir merupakan perkumpulan yang dibentuk sebelum tahun 1919 dan bermula berada di Pekojan, suatu yayasan atau perkumpulan sosial dan menampung semua aspirasi baik Al-Alawiyyin, Al Masyaikh dan Al-Ajami, kemudian tanggal 27 Desember 1928 izin pertama berdirinya Al Arabithah Al iniAlawiyyah dari pemerintah Belanda, dan izin kedua 27 November 1929. Pada awal mula didirikan tahun 1901 M, Organisasi Jamiat Kheir lebih bersifat organisasi sosial kemasyarakatan, Tujuan awalnya, yaitu: Pertama, membantu fakir miskin, baik dalam segi material maupun spiritual; kedua, mendidik dan mempersiapkan generasi muda Islam untuk mampu berperan pada masa depan; dan yang ketiga, menolong umat yang lemah dalam sektor ekonomi. Berdirinya madrasah Jamiat Kheir berdasarkan akta notaris J.W.Roeloffs Valks Notaris Batavia, nomor 143 tertanggal 17 Oktober 1919 dalam akta STICHTINGSBRIEF der STICHTING “SCHOOL DJAMEAT GEIR” dengan susunan pengurus pertamanya, sebagai ketua Said Aboebakar bin Alie bin Shahab dan sebagai anggota-anggota pengurus lainnya adalah: Said Abdulla bin Hoesin Alaijdroes, Said Aloei bin Abdulrachman Alhabsi, Said Aboebakar bin Mohamad Alhabsi, Said Aboebakar bin Abdullah Alatas, Said Aijdroes bin Achmad bin Shahab dan Sech Achmad bin Abdulla Basalama (semua dalam ejaan aslinya dalam akta tersebut). Peranan Jamiat Kheir dalam mengkader ulama sangat besar, banyak ulama Betawi yang merupakan lulusan Jamiat Kheir, bahkan KH Ahmad Dahlan dalam mendirikan Muhammadiyah juga terinspirasi dari Jamiat Kheir.

Karya sosial lain dari habib di Betawi adalah Majelis Taklim Kwitang yang dididirikan oleh Habib Ali Kwitang dengan persetujuan dari gurunya, yaitu Habib Utsman bin Yahya yang masih eksis dan terus membina umat Islam sampai hari ini. Dan dari Majelis Taklim Kwitang ini juga lahir banyak ulama Betawi.

Karenanya, peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang akan diadakan oleh Jakarta Islamic Centre (JIC) pada hari Ahad, 16 Oktober 2022 ini juga menampilkan sosok habib sebagai salah satu penceramahnya, yaitu Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan, da’i, ulama, dan pimpinan Yayasan Al Fachriyah, Tangerang, Banten, cucu dari Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, seorang pejuang dakwah di Betawi pada tahun 1906-1969 yang berjuluk “Singa Podium”,  sebagai bentuk mahabbah, kecintaan, terhadap keturunan Nabi Muhammad SAW yang mewarisi ilmu dan keteladanannya untuk kemashlahatan dan keselamatan umat, bangsa dan negara. Sholluu `alannabi! 

sumber : republika.co.id

LEAVE A REPLY