Mengenal Buoy, Alat Deteksi Tsunami yang Diduga Dinonaktifkan BRIN

0

Pelita.Online – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) diduga menghentikan program pemantauan Tsunami (Ina-Tews) yang menggunakan alat yang disebut buoy. Bagaimana cara kerja alat tersebut?
Sebelumnya, pemberitaan salah satu media menyinggung ketiadaan aktivitas di ruangan pemantau Indonesia Tsunami Observation Center (Ina-TOC) di Gedung Soedjono Poesponegoro, di Jalan M.H Thamrin, Jakarta Pusat. Hal tersebut sudah berlangsung selama satu tahun.

Padahal, keberadaan Ina-TOC merupakan amanat dari Peraturan Persiden Nomor 93 Tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami.

Pemantauan tsunami di Ina-TOC dilakukan lewat pengumpulan data yang dikirim alat pendeteksi tsunami di tengah laut yakni alat apung (Ina-Buoy), kabel optik (Ina-CBT), dan rambatan gelombang suara (Ina-Cat).

Ketiadaan aktivitas itu pun terasa ironis. Pasalnya, ruangan tersebut pada Mei 2021 sempat dipantau Kepala BMKG Dwikorita Karnawati bersama Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang kini dicaplok BRIN, Hammam Riza.

Dwikorita bahkan memuji kecanggihan alat deteksi tsunami BPPT termasuk buoy. Pasalnya, Buoy tsunami BPPT dilengkapi teknologi Ocean Bottom Unit (OBU) yang diletakkan di dasar laut sehingga mampu mendeteksi ada atau tidaknya gelombang tsunami.

“Alat ini merupakan verifikator terhadap model peringatan dini tsunami yang dimiliki oleh BMKG. Saat gempabumi M6,1 di Malang tanggal 10 April yang lalu, Buoy di selatan Malang mendeteksi adanya perubahan tekanan hidrostatis bawah laut sesaat setelah BMKG mengeluarkan informasi gempabumi,” kata Dwikorita.

Di luar Indonesia, Buoy juga antara lain digunakan oleh Badan Meteorologi Australia (BoM). Mengutip situs resmi BoM, buoy bekerja dengan dua komponen: sensor tekanan yang ada di bawah laut dan di permukaan.

Sensor di bawah laut berguna untuk mengukur perubahan ketinggian kolom air dengan cara mendeteksi perubahan pada tekanan air.

Perubahan itu lalu diteruskan ke buoy yang ada di permukaan lewat telemetri akustik sebelum diteruskan lagi via satelit ke pusat pemantauan tsunami.

Dalam menempatkan buoy di lautan, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan. Buoy misalnya, harus ditempatkan cukup jauh dari episenter gempa untuk memastikan tidak ada gangguan antara sinyal gempa di buoy, dengan sinyal level air laut dari tsunami.

Buoy juga harus ditempatkan di dalam air dengan kedalaman lebih dari 3000 meter. Hal itu berguna untuk memastikan sinyal tidak terkontaminasi tipe gelombang lain yang berada di ketinggian yang lebih dangkal.

Efektivitas buoy dalam mendeteksi tsunami pun telah terbukti di beberapa peristiwa. Mengutip artikel pakar Tiongkok, Lianda Zhao di Elsevier, buoy antara lain sudah terbukti mendeteksi tsunami di Jepang pada 2011 silam.

“Peran penting tsunami buoy telah terbukti dalam beberapa peristiwa tsunami di beberapa tahun belakangan. Sistem ini secara akurat memprediksi hasil dari tsunami Jepang 11 Maret 2011,” tulis pakar tersebut.

“State Oceanic Administration (SOA) China juga menempatkan dua buoy di Laut China Selatan, yang juga berperan penting dalam peringatan terhadap tsunami tersebut,” lanjut tim ahli.

sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY