Pahlawan Nasional untuk Prof Lafran Pane: Sepeda Ontel , Penginapan Melati hingga Tak Punya Rumah

0

Publik di Tanah Air mungkin saja belum begitu familiar dengan nama Lafran Pane. Mungkin akan berbeda bila “marga” Pane lain yang disebut, seperti Armin Pane atau Sanusi Pane. Dua nama terakhir sangat dikenal sebagai pujangga atau penyair kenamaan Indonesia di masa lalu. Siapa sangka jika para bujang Padang Sidenpuan  ini adalah saudara kandung dan orang-orang terkenal. Bedanya, Armin dan Sanusi lebih banyak berjibaku pada ceruk sastra dan kebudayaan, sedangkan Lafran, lebih dikenal sebagai aktifis mahasiswa dan intelektual murni. Lafran  yang lahir  5 Februari 1922 dikenang sebagai tokoh yang paling berjasa memunculkan sebuah organisasi mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang terlahir kurang dua tahun setelah Indonesia merdeka, tepatnya  5 Februari 1947.Organisasi mahasiswa yang eksis hingga kini tersebut telah melahirkan sedikitnya 6 juta kader dengan ribuan tokoh daerah hingga nasional . Tak heran jika HMI kemudian dikenal sebagai organisasi ekstra kampus tertua dan terbesar di Tanah Air.  Nama Lafran Pane, kini kembali dicuatkan, setelah Korp Alumni HMI dan sejumlah pihak kini sedang mendorong  agar mantan Guru Besar dan anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) ditetapkan sebagai pahlawan nasional.  Lalu, dibentuklah satu kepanitian khusus. Akbar Tandjung  didapuk sebagai  ketua Steering Commite (SC).

“Sosialiasi sudah dilakukan cukup lama, di antaranya melalui seminar. Sudah ada 22 kali seminar dilakukan di 18 provinsi,” terang Akbar  yang juga mantan Ketua Umum PB HMI, saat memimpin  upacara ziarah dan  tabur bunga di makam Lafran Pane di Kompleks Makam Islam, Karangkajen, Yogjakarta, Jumat (5/2) lalu.  Di luar dugaan dukungan terhadap Lafran Pane sangat besar. Saat  seminar di Manado, mantan aktifis mahasiswa dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) ikut mendesak agar pemerintah menyematkan gelar pahlawan kepada Lafran Pane.

Mahfud MD menyebut, dia meyakini Lafran Pane sendiri tidak menginginkan gelar pahlawan itu.  “Kitalah yang merasa perlu membalas pengabdian Lafran. Indonesia bias utuh hingga sekarang, saah satunya karena semangat keindonesiaan dan keislaman yang dirintis setelah kemerdekaan Indonesia oleh Lafran Pane,” ujar Mahfud  saat memberi sambutan dalam Seminar Nasional “Jejak Hayat dan Pemikiran Lafran Pane”, di Kampus Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, November 2015 lalu.

Hariqo Wibawa  Satria penulis biografi Lafran Pane menyebut, ada banyak tokoh sekaliber Lafran pada masanya. “Bedanya adalah, Lafran Pane mampu melembagakan pikirannya itu dalam sebuah wadah bernama HMI dengan tujuan mempertahankan Indonesia, mempertinggi derajat rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam,” ujar Hariqo. Lafran juga dikenal sebagai sosok sederhana.  Soal kesederhanaan ini, Sulastomo, mantan Ketua Umum PB HMI pernah menceritakan, meski menjadi guru besar, Lafran tetap setia dengan sepeda pancalnya atau di Yogja terkenal dengan nama sepeda onthel hingga akhir hayatnya. Saat akan dilantik di Jakarta sebagai anggota DPA, Lafran dipesankan kamar hotel berbintang layaknya pejabat namun, Lafran makah memilih mengungsi dan tidur  di penginapan melati Perjalanan Haji Indonesia di kawasan Kwitang, Jakarta.  Inilah “rumah singgah”  favoritnya saat bertandang ke Jakarta. Tak sampai di situ, saat akan dibuatkan jas baru sebagai pejabat DPA oleh Akbar, Lafran justru menolaknya. “Buat apa jas baru bagi saya, saya membawa jas dari Yogja, ini saja sudah cukup,” tegas Lafran kepada Akbar seperti yang diceritakan Sulastomo. Tak habis di situ, Akbar harus berjuang meyakinkan seniornya itu  saat menjelaskan soal tunjangan resmi sebesar Rp1 juta setelah selesai pada sebuah sidang DPA sebelum akhirnnya uang tersebut diterima dengan  berat hati. Soal kezuhudan Lafran, Chumaidy, Syarief Romas mantan ketua umum PB HMI lainnya mengenang. “Saya kenal benar Lafran Pane, ia senior yang jujur dan zuhud dan saya kira  Lafran bisa saja kaya raya dengan memanfaatkan jaringan dan pengaruhnya, namun sampai akhir hayatnya, rumah pribadipun dia tidak punya,” ujar Chumaidy dalam sebuah seminar. HMI lanjut dia bukan tidak boleh kaya, namun kayalah dengan tidak merugikan orang lain dan Negara. Dan Chumaidy sepertinya benar, tampaknya memperjuangkan Lafran yang wafat pada 24 februari 1991  sebagai pahlawan nasional adalah penting, tapi jauh lebih penting meneladani sikap sederhana dan jujurnya sebagai formulasi jitu menjadikan Indonesia berdaulat dan bebas korupsi. Terutama bagi kader HMI. (esa)

LEAVE A REPLY